Menyoal KTP
Beragama
Jobpie Sugiharto ;
Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
18 Desember 2013
Saya tiba-tiba teringat kegundahan ibu
sahabat saya. Dokter ahli THT itu datang dengan wajah marah, suatu sore.
Saya yang sedang mengobrol di ruang tengah kediamannya jadi tak enak hati.
Untung, situasi jengah tak berlangsung lama. Beliau lantas mencurahkan
unek-uneknya.
Dia
mengaku jengkel betul karena ada mahasiswinya yang tak mau memegang tubuh
pasien dalam sebuah praktikum. Tentu kami, yang kala itu masih mahasiswa,
tertarik mendengarkan kelanjutan ceritanya. Rupanya, si mahasiswi berkeras
tak mau menyentuh pasien dengan alasan bukan muhrimnya. "Memangnya,
mau menyelamatkan nyawa orang harus lihat KTP-nya?" katanya.
Ia
memandang merawat pasien adalah urusan kemanusiaan. Lantaran calon dokter
tadi berkukuh, ibu dosen mempersilakan dia meninggalkan kelas. Ibunda teman
saya tak menceritakan apakah mahasiswinya memilih keluar dari kelas atau
bertindak normal, seperti rekan-rekannya. Saya juga tak pernah bertanya
lagi kemudian apakah mahasiswi yang sealmamater dengan saya itu akhirnya
benar-benar lulus menjadi dokter.
Cerita
"menyentuh pasien" teringat kembali setelah saya membaca berita
mengenai sosialisasi revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Aturan baru itu
sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 26 November lalu.
Dalam
acara sosialisasi, seorang pejabat kementerian menjelaskan bahwa pencatatan
kependudukan tak diskriminatif terhadap agama dan keyakinan tertentu. Kalau
memang bukan pemeluk satu dari enam agama resmi, boleh saja seseorang mengosongkan
kolom isian agama. Dia juga meyakinkan masyarakat agar tidak khawatir soal
keterangan identitas agama ketika mengisi formulir untuk kartu tanda
penduduk elektronik (e-KTP). Sistem pencatatan tetap berjalan walau kolom
agama dikosongkan.
Membaca
penjelasan itu, pada dasarnya adalah kolom agama dalam daftar isian
formulir pendataan kependudukan harus diisi, kecuali jika memang tak
memilikinya. Sudah seharusnya keyakinan seseorang tak boleh menghalangi
haknya sebagai warga negara. Berkaitan dengan agama dan keyakinan individu,
muncul penafsiran bahwa sila pertama Pancasila menginginkan setiap orang
Indonesia agar bertuhan, bukan harus beragama.
Dalam
kehidupan sehari-hari, tak pernah kita berurusan dengan agama di KTP. Tak
pernah ada pemeriksaan agama sesuai dengan KTP jika kita akan memasuki
tempat ibadah.
Dalam
urusan administrasi di keseharian, nama dan alamat sesuai dengan KTP lebih
diperlukan ketimbang agama. Kalau mau lebih sahih, seperti dalam urusan
perbankan, digunakan nomor identitas tunggal (single identity number) kependudukan di e-KTP dan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Kalau untuk laporan dan pendataan kematian, informasi
dari KTP hanya menjadi pelengkap karena data lengkap ada di kartu keluarga.
Data yang sama, malah mungkin lebih komplet, juga disimpan pengurus
lingkungan dan kelurahan.
Data
hasil sensus dan e-KTP, yang pembuatannya memakan biaya triliunan rupiah,
sudah lebih dari cukup menggambarkan identitas seseorang. Data e-KTP juga
menjadi acuan Komisi Pemilihan Umum dalam menyusun Daftar Pemilih Tetap
Pemilihan Umum 2014. Dan, dalam urusan sehari-hari, identitas agama
seseorang sama sekali tak diperlukan. Kalau sudah begini, masihkah perlu
kolom agama di KTP? ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar