Kegagalan Indonesia sebagai negara agraris
yang tidak mampu berswasembada pangan sedikit-banyak dipengaruhi skema
liberalisasi perdagangan organisasi perdagangan dunia (WTO) yang telah
terdistorsi sebagai alat kendali negara-negara maju terutama Amerika
Serikat dan Uni Eropa. Mereka mengupayakan agar negara-negara berkembang
tetap dalam kendali.
Lihat
saja The UN Development Programme's Human Development Report 1999 hal 31 "The top fifth of the world's
people in the richest countries enjoy 82 percent of the expanding export
trade and 68 percent of foreign direct investment --- the bottom fifth,
barely more than 1 percent.
These trends reinforce economic stagnation and
low human development. Only 33 countries managed to sustain 3 percent
annual growth during 1980-96. For 59 countries (mainly in Sub-Saharan
Africa and Eastern Europe and the CIS) GNP per capita declined. Economic
integration is thus dividing developing and transition economies into those
that are benefiting from global opportunities and those that are not."
Di
hampir semua negara berkembang, sebagian besar penduduknya hidup dari
sektor pertanian. Kehidupan mereka semakin terancam setelah ratifikasi
liberalisasi pertanian seperti yang direkomendasikan WTO. Produk pertanian
mereka terusir dari pasar lokal karena desakan impor. Negara berkembang
semakin lebih bergantung pada impor dalam memenuhi pasokan pangan, tak
terkecuali Indonesia.
Indonesia
pernah berusaha mengatasi persoalan ini bersama India, Mesir, Sri Lanka,
Uganda, Zimbabwe, dan El Salvadaor agar diberi flekslibilitas dalam
melaksanakan kewajiban WTO tanpa mengganggu keamanan pangan nasional.
Sebaliknya, melindungi ekonomi untuk masyarakat miskin serta mengurangi
jumlah penduduk miskin.
Perjanjian
pertanian (agreement on agriculture/AoA)
menjadi masalah utama WTO karena negara maju tidak memberi tawaran baru
kepada kelompok negara lain yang lebih kecil seperti G-33 dan G-90.
Indonesia dan Filipina menjadi motor menolak proposal negara-negara maju
yang ingin mendomininasi akses pasar, dengan tetap melakukan subsidi domestik
dan subsidi ekspor. Sayang, Indonesia tidak konsisten. India dan Brasil
menolak kebijakan pertanian WTO melalui konferensi tingkat menteri di
Cancun, 10 tahun lalu. Indonesia justru memperkenalkan program absurd,
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Progam
itu merupakan turunan dari kerangka penataan ulang geografis di
wilayah-wilayah utama Asia Tenggara. Penataan ini dibuat dengan
mengandalkan integrasi fungsi-fungsi ekonomi dan pembagian kerja
antarwilayah demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia yang pada
dasarnya merupakan turunan dari pemikiran ekonomi neoliberal.
Di
samping itu, program tersebut semakin menguatkan struktur ekonomi kolonial
yang sejak Indonesia merdeka belum berubah. Di sini konsentrasi penguasaan
tanah dilakukan perusahaan-perusahaan pemegang lisensi perkebunan,
kehutanan, dan pertambangan. Rakyat Indonesia hanya menjadi tenaga kerja.
Program berorientasi pertumbuhan ekonomi, namun tidak berpengaruh positif
pada kesejahteraan rakyat. Pembangunan perdesaan tidak diperhatikan.
Sebelum
krisis moneter 1997, Indonesia telah menjadi salah satu negara berkembang
yang dengan cepat mengurangi jumlah orang miskin dan jumlah rumah tangga
(RT) yang rawan pangan. Antara kemiskinan dan risiko rawan pangan
berkorelasi erat karena di dalamnya terkandung daya jangkau RT miskin
terhadap pangan. Pada tahun 1996, BPS melaporkan bahwa jumlah orang di
bawah garis kemiskinan masih 22,5 juta orang atau sekitar 11 persen dari
penduduk karena kebijakan kemandirian pangan yang konsisten.
Sebaliknya,
era pemerintahan sekarang, sektor pertanian tidak mendapat perhatian
semestinya. Sepanjang tahun 2012, impor produk pangan Indonesia telah
menyedot anggaran lebih dari 125 triliun rupiah seperti daging sapi,
gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan lainnya. Ini jelas
semakin mematikan pertanian Indonesia. Tahun 1990 impor kedelai 541 ton,
sedang Januari-Juli 2013 sudah 1,1 juta ton senilai 6,7 triliun rupiah.
Jika
dikaitkan dengan amanat UU No 18 tentang Pangan, pemerintah sepertinya
mengingkari terutama Pasal 15 Ayat 1 yang berbunyi, "Pemerintah mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan." Lalu, Pasal 17 "Pemerintah dan pemerintah daerah
berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani, nelayan, pembudi daya ikan,
dan pelaku usaha pangan sebagai produsen pangan."
Pertumbuhan
produk domestik bruto (GDP) nasional 10 tahun terakhir memang tumbuh 3 kali
lipat dan melahirkan banyak kelas menengah. Namun pertumbuhan ekonomi yang
rata-rata sekitar 6 persen per tahun tidak digerakkan sektor produksi,
tetapi lebih didorong konsumtif. Sektor manufaktur sudah lama menurun,
demikian juga sektor pertanian.
Di
sinilah masalah utama yang menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada
impor. Ada yang salah pada perencanaan pembangunan! Bila perencanaan
pembangunan dilakukan secara benar dengan mengutamakan kepentingan
nasional, khususnya industri pangan pertanian, seharusnya Indonesia bisa
melepaskan diri dari ketergantungan impor.
Dengan
demikian, pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan lahirnya banyak kelas
menengah akan sekaligus membuat negara ini semakin kuat dan mandiri. Hal
itu tidak terjadi. Berarti ada yang salah dan harus diperbaiki!
Membangun
perekonomian nasional, kemandirian pangan dan pertanian yang tangguh
membutuhkan perspektif yang ideologis. Diperlukan ekonomi pasar dan pasar
bebas yang memunyai arti secara sosial. Dalam demokrasi, ekonomi pasar dan
pasar bebas adalah keniscayaan, namun harus diikuti dengan keadilan di
dalam negeri dan luar. Bila tidak, penindasan yang kuat terhadap si lemah
akan terjadi atas nama kebebasan. Di sinilah peranan negara diperlukan
untuk menjamin pertumbuhan yang menguntungkan kepentingan nasional dan
berkeadilan. Negara harus menjamin kebebasan dan keadilan sosial ekonomi
sesuai dengan amanat UU Dasar 1945.
Sejak
29 November Masyarakat Agribisinis dan Agroindustri Indonesia (MAI)
menyelenggarakan Agri & Agro Festival, Jambore Krida Agribisnis dan
Agroindustri Indonesia. Tanggal 3-6 Desember 2013 ini, di Bali, berlangsung
Pertemuan IX Tingkat Menteri WTO. Lewat kesempatan ini secara tegas
Indonesia harus menolak kebijakan pertanian WTO karena tidak memihak
petani.
Kita
perlu juga mempertimbangkan kembali Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia. Negara harus berani mulai mengurangi
kebergantungan pangan pada impor. Manfaatkan keunggulan domestik. Bangun
tata kelola pangan yang lebih baik agar petani berpendapatan secara pantas.
Semoga negeri ini mampu membangun kemandirian pangan dan menyejahterakan
rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar