Jumat, 06 Desember 2013

Menyikapi Sidang WTO

Menyikapi Sidang WTO
Fadel Muhammad  ;   Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
KORAN JAKARTA,  05 Desember 2013

  

Kegagalan Indonesia sebagai negara agraris yang tidak mampu berswasembada pangan sedikit-banyak dipengaruhi skema liberalisasi perdagangan organisasi perdagangan dunia (WTO) yang telah terdistorsi sebagai alat kendali negara-negara maju terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa. Mereka mengupayakan agar negara-negara berkembang tetap dalam kendali. 

Lihat saja The UN Development Programme's Human Development Report 1999 hal 31 "The top fifth of the world's people in the richest countries enjoy 82 percent of the expanding export trade and 68 percent of foreign direct investment --- the bottom fifth, barely more than 1 percent. 

These trends reinforce economic stagnation and low human development. Only 33 countries managed to sustain 3 percent annual growth during 1980-96. For 59 countries (mainly in Sub-Saharan Africa and Eastern Europe and the CIS) GNP per capita declined. Economic integration is thus dividing developing and transition economies into those that are benefiting from global opportunities and those that are not."

Di hampir semua negara berkembang, sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian. Kehidupan mereka semakin terancam setelah ratifikasi liberalisasi pertanian seperti yang direkomendasikan WTO. Produk pertanian mereka terusir dari pasar lokal karena desakan impor. Negara berkembang semakin lebih bergantung pada impor dalam memenuhi pasokan pangan, tak terkecuali Indonesia.

Indonesia pernah berusaha mengatasi persoalan ini bersama India, Mesir, Sri Lanka, Uganda, Zimbabwe, dan El Salvadaor agar diberi flekslibilitas dalam melaksanakan kewajiban WTO tanpa mengganggu keamanan pangan nasional. Sebaliknya, melindungi ekonomi untuk masyarakat miskin serta mengurangi jumlah penduduk miskin.

Perjanjian pertanian (agreement on agriculture/AoA) menjadi masalah utama WTO karena negara maju tidak memberi tawaran baru kepada kelompok negara lain yang lebih kecil seperti G-33 dan G-90. Indonesia dan Filipina menjadi motor menolak proposal negara-negara maju yang ingin mendomininasi akses pasar, dengan tetap melakukan subsidi domestik dan subsidi ekspor. Sayang, Indonesia tidak konsisten. India dan Brasil menolak kebijakan pertanian WTO melalui konferensi tingkat menteri di Cancun, 10 tahun lalu. Indonesia justru memperkenalkan program absurd, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. 

Progam itu merupakan turunan dari kerangka penataan ulang geografis di wilayah-wilayah utama Asia Tenggara. Penataan ini dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi-fungsi ekonomi dan pembagian kerja antarwilayah demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia yang pada dasarnya merupakan turunan dari pemikiran ekonomi neoliberal. 

Di samping itu, program tersebut semakin menguatkan struktur ekonomi kolonial yang sejak Indonesia merdeka belum berubah. Di sini konsentrasi penguasaan tanah dilakukan perusahaan-perusahaan pemegang lisensi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Rakyat Indonesia hanya menjadi tenaga kerja. Program berorientasi pertumbuhan ekonomi, namun tidak berpengaruh positif pada kesejahteraan rakyat. Pembangunan perdesaan tidak diperhatikan.

Sebelum krisis moneter 1997, Indonesia telah menjadi salah satu negara berkembang yang dengan cepat mengurangi jumlah orang miskin dan jumlah rumah tangga (RT) yang rawan pangan. Antara kemiskinan dan risiko rawan pangan berkorelasi erat karena di dalamnya terkandung daya jangkau RT miskin terhadap pangan. Pada tahun 1996, BPS melaporkan bahwa jumlah orang di bawah garis kemiskinan masih 22,5 juta orang atau sekitar 11 persen dari penduduk karena kebijakan kemandirian pangan yang konsisten. 

Sebaliknya, era pemerintahan sekarang, sektor pertanian tidak mendapat perhatian semestinya. Sepanjang tahun 2012, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari 125 triliun rupiah seperti daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan lainnya. Ini jelas semakin mematikan pertanian Indonesia. Tahun 1990 impor kedelai 541 ton, sedang Januari-Juli 2013 sudah 1,1 juta ton senilai 6,7 triliun rupiah.

Jika dikaitkan dengan amanat UU No 18 tentang Pangan, pemerintah sepertinya mengingkari terutama Pasal 15 Ayat 1 yang berbunyi, "Pemerintah mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan." Lalu, Pasal 17 "Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan sebagai produsen pangan."

Pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) nasional 10 tahun terakhir memang tumbuh 3 kali lipat dan melahirkan banyak kelas menengah. Namun pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sekitar 6 persen per tahun tidak digerakkan sektor produksi, tetapi lebih didorong konsumtif. Sektor manufaktur sudah lama menurun, demikian juga sektor pertanian. 

Di sinilah masalah utama yang menyebabkan Indonesia sangat bergantung pada impor. Ada yang salah pada perencanaan pembangunan! Bila perencanaan pembangunan dilakukan secara benar dengan mengutamakan kepentingan nasional, khususnya industri pangan pertanian, seharusnya Indonesia bisa melepaskan diri dari ketergantungan impor. 

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan lahirnya banyak kelas menengah akan sekaligus membuat negara ini semakin kuat dan mandiri. Hal itu tidak terjadi. Berarti ada yang salah dan harus diperbaiki!

Membangun perekonomian nasional, kemandirian pangan dan pertanian yang tangguh membutuhkan perspektif yang ideologis. Diperlukan ekonomi pasar dan pasar bebas yang memunyai arti secara sosial. Dalam demokrasi, ekonomi pasar dan pasar bebas adalah keniscayaan, namun harus diikuti dengan keadilan di dalam negeri dan luar. Bila tidak, penindasan yang kuat terhadap si lemah akan terjadi atas nama kebebasan. Di sinilah peranan negara diperlukan untuk menjamin pertumbuhan yang menguntungkan kepentingan nasional dan berkeadilan. Negara harus menjamin kebebasan dan keadilan sosial ekonomi sesuai dengan amanat UU Dasar 1945.

Sejak 29 November Masyarakat Agribisinis dan Agroindustri Indonesia (MAI) menyelenggarakan Agri & Agro Festival, Jambore Krida Agribisnis dan Agroindustri Indonesia. Tanggal 3-6 Desember 2013 ini, di Bali, berlangsung Pertemuan IX Tingkat Menteri WTO. Lewat kesempatan ini secara tegas Indonesia harus menolak kebijakan pertanian WTO karena tidak memihak petani. 

Kita perlu juga mempertimbangkan kembali Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Negara harus berani mulai mengurangi kebergantungan pangan pada impor. Manfaatkan keunggulan domestik. Bangun tata kelola pangan yang lebih baik agar petani berpendapatan secara pantas. Semoga negeri ini mampu membangun kemandirian pangan dan menyejahterakan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar