Bijak
Mendiversifikasi Pangan
Edy Purwo Saputro ;
Mahasiswa Program Doktor, Dosen FEB Univ Muh Solo
|
KORAN
JAKARTA, 04 Desember 2013
Refleksi dari kebutuhan pangan di tahun 2013 mengindikasikan
pentingnya membangun komitmen diversifikasi tahun depan. Bahkan, penduduk
yang tidak bisa terpisah dari kebutuhan pangan menjadi faktor terpenting
membangun diversifikasi pangan yang juga sudah menjadi isu global.
Alasan yang mendasari keterbatasan bahan
pangan dan tuntutan kebutuhan pangan cenderung meningkat sebagai dampak
ledakan penduduk. Problem lain, keterbatasan bahan dan areal tanam yang
semakin menyusut. Ini semua dapat memengaruhi kuantitas dan kualitas
produksi.
Maka, diversifikasi jelas terkait banyak
aspek, bukan sekadar upaya mengalihkan masyarakat dari konsumsi nasi ke
pangan lainnya.
Diversifikasi juga tidak bisa terlepas dari
beban alokasi anggaran untuk impor bahan pangan yang terus meningkat setiap
tahun. Belum lagi fluktuasi harga karena nilai tukar rupiah yang tertekan.
Maka, kedelai merupakan salah satu contoh dampak negatif kebergantungan
pada impor bahan pangan. Kedelai antara lain menjadi bahan tahu dan tempe
yang merupakan lauk pauk favorit di Republik ini.
Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi
sangat besar untuk diversifikasi pangan karena banyak suku bangsa dan
budaya sehingga tiap daerah memiliki produk makanan unik dan berbeda dari
daerah lain. Keberagaman ini bisa untuk mengembangkan berbagai kuliner sehingga
menjadi nilai jual kepariwisataan nasional. Diversifikasi sebetulnya
tinggal menindaklanjuti keberagaman kuliner tersebut.
Hanya, pemerintah harus bisa mengerem
kebergantungan masyarakat pada konsumsi beras yang terus meningkat. Pola
konsumsi ini memang sudah turun-temurun. Orde Baru juga ambil peran atas
situasi tersebut karena memasyarakatkan nasi dari Sabang sampai Merauke.
Maka, lama-lama orang yang contohnya dulu mengonsumsi sagu menjadi pindah
ke nasi. Nah, di saat seluruh rakyat lidahnya sudah enak makan nasi,
produksi beras tak mencukupi sehingga terus impor.
Bahkan, di Jawa muncul istilah semego, yaitu
kondisi masyarakat yang belum merasa kenyang kalau belum makan nasi
sehingga semua menu makanan lain dianggap sebagai makanan sekunder. Konsekuensi
realitas ini menjadikan kebutuhan terhadap konsumsi nasi terus meningkat.
Padahal, jumlah petani yang tetap bersedia untuk menggarap sawah makin
mengecil.
Ketimpangan antara permintaan dan penawaran
beras pada akhirnya harus ditutup pemerintah dengan impor. Bahkan,
pemerintah tahun depan diprediksi akan mengimpor beras 250.000 ton. Di satu
sisi, impor pangan jelas menekan neraca perdagangan yang terus defisit
karena daya saing produk lemah dibanding kompetitor sehingga pasar ekspor
tidak mau menyerap produk Indonesia. Di sisi lain, impor pangan juga bisa
memicu ketimpangan harga pangan di tingkat petani.
Ketidakimbangan terlihat ketika hasil panen
melimpah, harga jual rendah, pendapatan petani tidak seberapa, tak sesuai
dengan kerja keras selama musim tanam dan panen. Ironisnya, ketika harga
pangan naik, petani juga tidak menikmatinya karena pasokan hasilnya ditutup
dengan impor bahan pangan.
Kondisi ini akhirnya menjadikan petani
beralih profesi ke bidang nonpertanian karena dirasakan lebih menjanjikan.
Maka, wajar jika setiap akhir hari besar keagamaan, terutama Lebaran,
terjadi migrasi dari desa ke kota. Ini menjadi pilihan logis karena mereka
mencari harapan hidup baru yang dianggap lebih baik dari sektor pertanian.
Kemandirian
Ancaman serius terhadap diversifikasi pangan
dan juga peralihan profesi petani ke bidang nonpertanian, pemerintah perlu
lebih arif menyikapi persoalan ini. Tidak ada salahnya pemerintah memberi
insentif kepada petani supaya tetap tertarik menggarap lahan sawah untuk menghasilkan
beras atau bahan pangan lainnya. Mereka tidak perlu beralih profesi.
Jika ini tidak menjadi prioritas pemerintah,
kecenderungan impor bahan pangan akan meningkat tiap tahun dan
konsekuensinya menyerap devisa dan mungkin ancaman terhadap laju defisit
anggaran dan defisit neraca perdagangan.
Selain itu, harus juga ada kesadaran
kolektif masyarakat bahwa konsumsi pangan tidak hanya nasi, tetapi juga
bisa lainnya. Alternatif pangan berbasis ketela juga perlu lebih
dikembangkan untuk mereduksi kebergantungan pada impor beras dan lainnya.
Meski demikian, juga dimungkinkan diversifikasi berbasis umbi-umbian karena
ketersediaan bahan pangan ini cukup melimpah. Harganya juga relatif lebih
murah.
Artinya, tidak ada alasan bagi pemerintah
untuk tidak segera menciptakan kesadaran kolektif diversifikasi pangan demi
kemandirian nasional. Upaya itu juga harus didukung dengan pemberian
insentif kepada daerah yang mampu mempertahankan predikat swasembada
pangan.
Dengan kata lain, pemerintah harus memetakan
daerah-daerah potensial yang memiliki lahan subur untuk bisa ditetapkan
sebagai sawah abadi yang tidak bisa dialihfungsikan menjadi permukiman.
Daya tarik permukiman memang menjadi alasan nyata peralihan fungsi lahan
pertanian.
Kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia,
tapi juga global sehingga sangat beralasan jika Bank Pembangunan Asia
mengingatkan kemandirian pangan dalam laporannya tentang "Global Food
Price Inflation and Developing Asia" pada 26 April 2011 lalu. Dalam
laporan itu, ADB menegaskan ancaman kenaikan harga pangan berpengaruh
terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin karena tidak bisa mengonsumsi
pangan secara layak. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar