Jumat, 06 Desember 2013

Menyikapi Hasil PISA 2012

Menyikapi Hasil PISA 2012
Elin Driana  ;   Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta; Salah Seorang Koordinator Education Forum
KOMPAS,  06 Desember 2013

  

Hasil  Programme for International Student Assessment 2012 dalam matematika, sains, dan membaca—yang diselenggarakan Organisation for Economic Co-operation and Development—baru saja dirilis. Hasilnya? Indonesia di peringkat ke-64 dari 65 negara yang disurvei.
Asesmen internasional tersebut mengukur kecakapan siswa berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata. Tahun ini, siswa dari 65 negara, dengan ukuran sampel antara 4.500 dan 10.000 berpartisipasi dalam Programme for International Student Assessment (PISA).
Seperti hasil-hasil siklus tiga tahunan PISA sebelumnya, capaian siswa Indonesia masih terpuruk di peringkat bawah. Secara statistik, nilai rata-rata matematika siswa Indonesia (375) tidak berbeda daripada Qatar dan Kolombia yang memiliki nilai rata-rata lebih tinggi (376), ataupun Peru (368) yang ada di urutan terbawah. Untuk sains, nilai rata-rata siswa Indonesia (382) tidak berbeda secara signifikan dari Qatar (384) dan Peru (372), yang lagi-lagi berada di urutan terbawah. Sementara untuk membaca, nilai rata-rata siswa Indonesia (396) tidak berbeda secara signifikan dari Tunisia, Kolombia, Jordania, dan Malaysia yang memiliki nilai rata-rata lebih tinggi ataupun Argentina, Albania, Kazakhstan, Qatar, dan Peru yang memiliki nilai lebih rendah. Adapun nilai rata-rata negara-negara OECD dalam matematika, sains, dan membaca berturut-turut 494, 501, dan 496.
Informasi mengenai nilai rata-rata dan ranking tentunya hanya memberikan sedikit gambaran tentang capaian siswa sehingga analisis yang lebih mendalam atas informasi data PISA akan lebih bermanfaat. Sebagai contoh, PISA membagi capaian siswa dalam enam tingkatan kecakapan, mulai level 1 (terendah) sampai level 6 (tertinggi) untuk matematika dan sains. Sementara untuk membaca, level 1 dibagi menjadi level 1a dan 1b.
Level-level tersebut menggambarkan tingkat penalaran dalam menyelesaikan masalah. Level terendah terkait penggunaan perhitungan sederhana dan prosedur rutin, penggunaan pengetahuan sains yang terbatas, ataupun pencarian informasi tunggal dari bacaan yang pendek dan sederhana. Level tertinggi terkait kemampuan menyintesis berbagai pengetahuan yang dimiliki maupun informasi yang dinyatakan secara implisit untuk menyelesaikan masalah yang kompleks ataupun mengambil keputusan.
Mayoritas siswa Indonesia belum mencapai level 2 untuk matematika (75,7%) dan sains (66,6%). Yang memprihatinkan, 42,3% siswa bahkan belum mencapai level kecakapan terendah (level 1)  untuk matematika dan 24,7% untuk sains.  Dalam kecakapan membaca, 55,2% siswa Indonesia belum berhasil mencapai level 2 dan masih ada 4,1% yang belum mencapai level terendah (level 1b).
Faktor yang berkontribusi
Kondisi ini tentunya butuh perhatian sungguh-sungguh, mengingat makin kompleksnya tantangan dan masalah yang akan dihadapi generasi muda kita di masa mendatang. Tanpa mengabaikan prestasi anak-anak Indonesia yang mengukir kemenangan dalam sejumlah olimpiade internasional ataupun melalui karya-karya penelitian mereka, kita membutuhkan lebih banyak lagi anak-anak muda yang akan berperan dalam membangun kemandirian bangsa di berbagai bidang.
Hasil-hasil  PISA 2012  pun kembali menegaskan keterkaitan antara kondisi sosial ekonomi  siswa dan pencapaian mereka.  Selain itu, keeratan hubungan antara kondisi sosial ekonomi siswa dan pencapaian siswa dipengaruhi juga oleh kualitas sekolah dan guru. Siswa yang berasal dari kelompok sosial ekonomi lebih rendah berpeluang lebih besar memaksimalkan potensi mereka jika berada di sekolah yang lebih baik dengan guru-guru yang lebih berkualitas. Indonesia saat ini menyeleksi siswa ke jenjang pendidikan lebih tinggi dengan nilai ujian nasional (UN) sehingga siswa dengan nilai UN lebih tinggi berpeluang lebih besar pula dapat layanan pendidikan lebih baik. Suharti (2013), peneliti dari Bappenas, juga mengonfirmasi keterkaitan antara status sosial ekonomi siswa dan hasil UN. Jika kebijakan menyeleksi siswa ke jenjang lebih tinggi tidak dievaluasi dengan cermat, kesenjangan capaian akademis berdasarkan status sosial ekonomi berpotensi semakin melebar.   
Hasil PISA juga menunjukkan bahwa siswa di negara-negara yang mengerahkan sumber daya pendidikan secara lebih merata, sehingga mengurangi kesenjangan kualitas layanan antarsekolah, cenderung memiliki nilai yang tinggi.  Selain itu, negara-negara dengan capaian siswa yang lebih tinggi menggaji guru dengan lebih baik dibandingkan dengan negara-negara dengan capaian siswa yang lebih rendah. Dengan memberikan gaji yang relatif tinggi, peluang untuk menarik minat lulusan terbaik untuk menjadi guru menjadi lebih besar karena profesi guru menjadi semakin kompetitif.  Temuan lain, otonomi yang lebih luas yang diberikan kepada setiap sekolah atas kurikulum dan penilaian disertai pertanggungjawaban atas otonomi tersebut ternyata berkontribusi positif terhadap pencapaian siswa.
Penyelenggaraan PISA tentu tak lepas dari kontroversi dan kritik. Perankingan berdasarkan alat ukur yang sama dipandang mengabaikan perbedaan-perbedaan mendasar penyelenggaraan pendidikan di berbagai negara. Aspek metodologi lain, seperti pengambilan sampel dan analisis data yang digunakan, pun menuai kritik.
Kebijakan berbasis bukti
PISA, seperti halnya penilaian-penilaian lainnya, tidak akan pernah mampu memberikan gambaran yang akurat tentang pencapaian siswa karena tak ada alat ukur yang sempurna sehingga perlu dikombinasikan juga dengan informasi-informasi lain sebelum digunakan dalam mengambil keputusan. Meski demikian, tanpa mengabaikan berbagai kelemahan yang senantiasa menyertai setiap pengukuran pendidikan, kekayaan informasi yang tersedia dalam data PISA memungkinkan untuk digali dan dimanfaatkan untuk mendiagnosis kondisi pendidikan di Indonesia dan sebagai tambahan informasi dalam mengevaluasi dan merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan berbasiskan data dan hasil penelitian.
Beberapa temuan ataupun ”resep” yang dapat dipelajari dari negara-negara dengan prestasi tinggi sebetulnya bukanlah sesuatu hal yang baru bagi Indonesia. Di samping itu, regulasi di Indonesia telah memberikan jaminan bagi penyelenggaraan pendidikan yang menjamin kesetaraan layanan yang berkualitas bagi semua warga negara.
Terpuruknya capaian siswa kita, yang akan jadi generasi emas di masa mendatang, mestinya membangunkan kita semua, termasuk para pengambil kebijakan, agar segera menentukan langkah-langkah strategis. Termasuk pemenuhan delapan standar nasional pendidikan secara menyeluruh dan konsisten untuk menjamin pendidikan bermutu bagi semua warga negara. Masa depan bangsa taruhannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar