Hasil Programme for International Student Assessment 2012 dalam
matematika, sains, dan membaca—yang diselenggarakan Organisation for
Economic Co-operation and Development—baru saja dirilis. Hasilnya?
Indonesia di peringkat ke-64 dari 65 negara yang disurvei.
Asesmen internasional tersebut
mengukur kecakapan siswa berusia 15 tahun dalam mengimplementasikan
pengetahuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia
nyata. Tahun ini, siswa dari 65 negara, dengan ukuran sampel antara 4.500
dan 10.000 berpartisipasi dalam Programme for International Student
Assessment (PISA).
Seperti hasil-hasil siklus tiga
tahunan PISA sebelumnya, capaian siswa Indonesia masih terpuruk di
peringkat bawah. Secara statistik, nilai rata-rata matematika siswa
Indonesia (375) tidak berbeda daripada Qatar dan Kolombia yang memiliki
nilai rata-rata lebih tinggi (376), ataupun Peru (368) yang ada di urutan
terbawah. Untuk sains, nilai rata-rata siswa Indonesia (382) tidak berbeda
secara signifikan dari Qatar (384) dan Peru (372), yang lagi-lagi berada di
urutan terbawah. Sementara untuk membaca, nilai rata-rata siswa Indonesia
(396) tidak berbeda secara signifikan dari Tunisia, Kolombia, Jordania, dan
Malaysia yang memiliki nilai rata-rata lebih tinggi ataupun Argentina,
Albania, Kazakhstan, Qatar, dan Peru yang memiliki nilai lebih rendah.
Adapun nilai rata-rata negara-negara OECD dalam matematika, sains, dan
membaca berturut-turut 494, 501, dan 496.
Informasi mengenai nilai
rata-rata dan ranking tentunya hanya memberikan sedikit gambaran tentang
capaian siswa sehingga analisis yang lebih mendalam atas informasi data
PISA akan lebih bermanfaat. Sebagai contoh, PISA membagi capaian siswa
dalam enam tingkatan kecakapan, mulai level 1 (terendah) sampai level 6
(tertinggi) untuk matematika dan sains. Sementara untuk membaca, level 1
dibagi menjadi level 1a dan 1b.
Level-level tersebut
menggambarkan tingkat penalaran dalam menyelesaikan masalah. Level terendah
terkait penggunaan perhitungan sederhana dan prosedur rutin, penggunaan
pengetahuan sains yang terbatas, ataupun pencarian informasi tunggal dari
bacaan yang pendek dan sederhana. Level tertinggi terkait kemampuan
menyintesis berbagai pengetahuan yang dimiliki maupun informasi yang
dinyatakan secara implisit untuk menyelesaikan masalah yang kompleks
ataupun mengambil keputusan.
Mayoritas siswa Indonesia belum
mencapai level 2 untuk matematika (75,7%) dan sains (66,6%). Yang
memprihatinkan, 42,3% siswa bahkan belum mencapai level kecakapan terendah
(level 1) untuk matematika dan 24,7% untuk sains. Dalam
kecakapan membaca, 55,2% siswa Indonesia belum berhasil mencapai level 2
dan masih ada 4,1% yang belum mencapai level terendah (level 1b).
Faktor yang berkontribusi
Kondisi ini tentunya butuh
perhatian sungguh-sungguh, mengingat makin kompleksnya tantangan dan
masalah yang akan dihadapi generasi muda kita di masa mendatang. Tanpa
mengabaikan prestasi anak-anak Indonesia yang mengukir kemenangan dalam
sejumlah olimpiade internasional ataupun melalui karya-karya penelitian
mereka, kita membutuhkan lebih banyak lagi anak-anak muda yang akan
berperan dalam membangun kemandirian bangsa di berbagai bidang.
Hasil-hasil PISA 2012
pun kembali menegaskan keterkaitan antara kondisi sosial
ekonomi siswa dan pencapaian mereka. Selain itu, keeratan
hubungan antara kondisi sosial ekonomi siswa dan pencapaian siswa
dipengaruhi juga oleh kualitas sekolah dan guru. Siswa yang berasal dari
kelompok sosial ekonomi lebih rendah berpeluang lebih besar memaksimalkan
potensi mereka jika berada di sekolah yang lebih baik dengan guru-guru yang
lebih berkualitas. Indonesia saat ini menyeleksi siswa ke jenjang
pendidikan lebih tinggi dengan nilai ujian nasional (UN) sehingga siswa
dengan nilai UN lebih tinggi berpeluang lebih besar pula dapat layanan
pendidikan lebih baik. Suharti (2013), peneliti dari Bappenas, juga
mengonfirmasi keterkaitan antara status sosial ekonomi siswa dan hasil UN.
Jika kebijakan menyeleksi siswa ke jenjang lebih tinggi tidak dievaluasi
dengan cermat, kesenjangan capaian akademis berdasarkan status sosial
ekonomi berpotensi semakin melebar.
Hasil PISA juga menunjukkan
bahwa siswa di negara-negara yang mengerahkan sumber daya pendidikan secara
lebih merata, sehingga mengurangi kesenjangan kualitas layanan
antarsekolah, cenderung memiliki nilai yang tinggi. Selain itu,
negara-negara dengan capaian siswa yang lebih tinggi menggaji guru dengan
lebih baik dibandingkan dengan negara-negara dengan capaian siswa yang
lebih rendah. Dengan memberikan gaji yang relatif tinggi, peluang untuk
menarik minat lulusan terbaik untuk menjadi guru menjadi lebih besar karena
profesi guru menjadi semakin kompetitif. Temuan lain, otonomi yang
lebih luas yang diberikan kepada setiap sekolah atas kurikulum dan
penilaian disertai pertanggungjawaban atas otonomi tersebut ternyata
berkontribusi positif terhadap pencapaian siswa.
Penyelenggaraan PISA tentu tak
lepas dari kontroversi dan kritik. Perankingan berdasarkan alat ukur yang
sama dipandang mengabaikan perbedaan-perbedaan mendasar penyelenggaraan
pendidikan di berbagai negara. Aspek metodologi lain, seperti pengambilan
sampel dan analisis data yang digunakan, pun menuai kritik.
Kebijakan berbasis bukti
PISA, seperti halnya
penilaian-penilaian lainnya, tidak akan pernah mampu memberikan gambaran
yang akurat tentang pencapaian siswa karena tak ada alat ukur yang sempurna
sehingga perlu dikombinasikan juga dengan informasi-informasi lain sebelum
digunakan dalam mengambil keputusan. Meski demikian, tanpa mengabaikan
berbagai kelemahan yang senantiasa menyertai setiap pengukuran pendidikan,
kekayaan informasi yang tersedia dalam data PISA memungkinkan untuk digali
dan dimanfaatkan untuk mendiagnosis kondisi pendidikan di Indonesia dan
sebagai tambahan informasi dalam mengevaluasi dan merumuskan
kebijakan-kebijakan pendidikan berbasiskan data dan hasil penelitian.
Beberapa temuan ataupun ”resep”
yang dapat dipelajari dari negara-negara dengan prestasi tinggi sebetulnya
bukanlah sesuatu hal yang baru bagi Indonesia. Di samping itu, regulasi di
Indonesia telah memberikan jaminan bagi penyelenggaraan pendidikan yang
menjamin kesetaraan layanan yang berkualitas bagi semua warga negara.
Terpuruknya capaian siswa kita,
yang akan jadi generasi emas di masa mendatang, mestinya membangunkan kita
semua, termasuk para pengambil kebijakan, agar segera menentukan
langkah-langkah strategis. Termasuk pemenuhan delapan standar nasional
pendidikan secara menyeluruh dan konsisten untuk menjamin pendidikan
bermutu bagi semua warga negara. Masa depan bangsa taruhannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar