Jumat, 06 Desember 2013

Kembali ke Rumah Besar Umat Islam

Kembali ke Rumah Besar Umat Islam
Mochtar Naim  ;   Sosiolog
KOMPAS,  06 Desember 2013

  

Sebuah bilbor besar terpampang di dekat Kampus Universitas Islam Indonesia Jakarta di kawasan Ciputat. Isinya, pesan Suryadharma Ali selaku Ketua Umum PPP: ”Kembali ke Rumah Besar Umat Islam”.

Apa maksud pernyataan itu? Apakah dia menginginkan dalam Pemilu 2014 umat Islam kembali memilih PPP, yang dalam sejarah perpolitikan di Indonesia pernah dianggap sebagai partai besar umat Islam? Ataukah ia ingin penciutan jumlah partai cukup hanya satu untuk tiap kelompok ideologi politik sehingga rumah besar politik itu hanya ada tiga: nasionalis, sosialis, dan Islam?

Maraknya gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia dewasa ini salah satu penyebabnya adalah karena begitu banyak partai, yang masing-masing dalam mengayuhkan biduknya pasti perlu dana tidak sedikit. Yang terjadi lalu perlombaan dalam mendapatkan peluang-peluang itu. Semua yang diungkapkan oleh KPK dan MA serta MK sekarang ini isinya adalah itu.

Masyarakat pada umumnya tidak tahu persis apa beda satu partai dengan partai lain, baik dalam wujud dan corak ideologinya maupun program perjuangan yang ingin dicapai.

Di tubuh umat Islam sendiri sekarang, yang terjadi adalah perpecahan demi perpecahan dan sukarnya mereka bersatu untuk tujuan yang sama. Padahal, sementara ini, dunia Islam sedang memasuki era gelombang ketiga: era kebangkitan.

Pola-pola dasar yang jadi anutan Islam—baik di bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan—saat ini sedang disimak dan dicermati banyak masyarakat dunia. Islam seperti menyelusup masuk dan menawarkan konsep-konsep alternatif di semua bidang kegiatan itu.

Siapa menyangka dan menyana, misalnya, sistem ekonomi dan perbankan syariah dapat masuk dan diterima dengan tangan terbuka, tak hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat non-Islam di sejumlah negara di dunia. Penerimaan secara terbuka konsep ekonomi dan perbankan Islam terlihat secara mencolok di Inggris, Perancis, dan negara Eropa lainnya sehingga melampaui penerimaan dari negara-negara Islam sendiri, yang lama dibentuk dan dikendalikan oleh sistem ekonomi dan perbankan liberal-kapitalistik.

Penyusupan konsep-konsep Islam ini juga terlihat melalui jalur pendidikan. Jika tadinya paralel-dualistik antara sistem pendidikan umum yang sekuler-materialistik dan pendidikan agama yang religius-spiritual, sekarang mulai menyatu menjadi sistem pendidikan yang integral: memadu antara yang sekuler-akademik-saintifik dengan yang spiritual-etikal-emosional.

Di negara-negara Islam sendiri, termasuk Indonesia yang meski bukan negara Islam, mayoritas penduduknya beragama Islam, jika tadinya hanya beberapa gelintir wanita Islam berjilbab, sekarang makin banyak dan makin dominan wanita Islam yang berjilbab. Padahal tak ada gerakan terorganisasi yang menggerakkan gelombang perubahan ini. Di dunia non-Muslim sekalipun, bahkan—baik mereka yang baru masuk maupun yang sudah lama sebagai muslimah—mereka tanpa malu-malu membanggakan diri dalam memakai pakaian muslimah itu. 

Integralisme antara hukum yang sekuler dan hukum yang religius-spiritual juga sedang terjadi di negara-negara dunia Islam, termasuk Indonesia. Dengan dicanangkannya Gerakan Ekonomi Syariah oleh SBY—dan sekian banyak ketentuan lain, termasuk makanan berlabel halal—Islam pun menyelusup ke dalam sistem kenegaraan.

Saya tak tahu, hanya menduga, Suryadharma Ali selaku tokoh politik Islam juga berpikir paralel ke sana dengan mengungkapkan dalam bilbornya itu: ”Kembali ke Rumah Besar Umat Islam”.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar