Sebuah bilbor besar terpampang di dekat Kampus
Universitas Islam Indonesia Jakarta di kawasan Ciputat. Isinya, pesan
Suryadharma Ali selaku Ketua Umum PPP: ”Kembali ke Rumah Besar Umat Islam”.
Apa maksud pernyataan itu?
Apakah dia menginginkan dalam Pemilu 2014 umat Islam kembali memilih PPP,
yang dalam sejarah perpolitikan di Indonesia pernah dianggap sebagai partai
besar umat Islam? Ataukah ia ingin penciutan jumlah partai cukup hanya satu
untuk tiap kelompok ideologi politik sehingga rumah besar politik itu hanya
ada tiga: nasionalis, sosialis, dan Islam?
Maraknya gejala korupsi, kolusi,
dan nepotisme di Indonesia dewasa ini salah satu penyebabnya adalah karena
begitu banyak partai, yang masing-masing dalam mengayuhkan biduknya pasti
perlu dana tidak sedikit. Yang terjadi lalu perlombaan dalam mendapatkan
peluang-peluang itu. Semua yang diungkapkan oleh KPK dan MA serta MK
sekarang ini isinya adalah itu.
Masyarakat pada umumnya tidak
tahu persis apa beda satu partai dengan partai lain, baik dalam wujud dan
corak ideologinya maupun program perjuangan yang ingin dicapai.
Di tubuh umat Islam sendiri
sekarang, yang terjadi adalah perpecahan demi perpecahan dan sukarnya
mereka bersatu untuk tujuan yang sama. Padahal, sementara ini, dunia Islam
sedang memasuki era gelombang ketiga: era kebangkitan.
Pola-pola dasar yang jadi anutan
Islam—baik di bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan
pendidikan—saat ini sedang disimak dan dicermati banyak masyarakat dunia.
Islam seperti menyelusup masuk dan menawarkan konsep-konsep alternatif di
semua bidang kegiatan itu.
Siapa menyangka dan menyana,
misalnya, sistem ekonomi dan perbankan syariah dapat masuk dan diterima dengan
tangan terbuka, tak hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat non-Islam
di sejumlah negara di dunia. Penerimaan secara terbuka konsep ekonomi dan
perbankan Islam terlihat secara mencolok di Inggris, Perancis, dan negara
Eropa lainnya sehingga melampaui penerimaan dari negara-negara Islam
sendiri, yang lama dibentuk dan dikendalikan oleh sistem ekonomi dan
perbankan liberal-kapitalistik.
Penyusupan konsep-konsep Islam
ini juga terlihat melalui jalur pendidikan. Jika tadinya paralel-dualistik
antara sistem pendidikan umum yang sekuler-materialistik dan pendidikan
agama yang religius-spiritual, sekarang mulai menyatu menjadi sistem
pendidikan yang integral: memadu antara yang sekuler-akademik-saintifik
dengan yang spiritual-etikal-emosional.
Di negara-negara Islam sendiri,
termasuk Indonesia yang meski bukan negara Islam, mayoritas penduduknya
beragama Islam, jika tadinya hanya beberapa gelintir wanita Islam
berjilbab, sekarang makin banyak dan makin dominan wanita Islam yang
berjilbab. Padahal tak ada gerakan terorganisasi yang menggerakkan
gelombang perubahan ini. Di dunia non-Muslim sekalipun, bahkan—baik mereka
yang baru masuk maupun yang sudah lama sebagai muslimah—mereka tanpa
malu-malu membanggakan diri dalam memakai pakaian muslimah itu.
Integralisme antara hukum yang
sekuler dan hukum yang religius-spiritual juga sedang terjadi di
negara-negara dunia Islam, termasuk Indonesia. Dengan dicanangkannya
Gerakan Ekonomi Syariah oleh SBY—dan sekian banyak ketentuan lain, termasuk
makanan berlabel halal—Islam pun menyelusup ke dalam sistem kenegaraan.
Saya tak tahu, hanya menduga,
Suryadharma Ali selaku tokoh politik Islam juga berpikir paralel ke sana
dengan mengungkapkan dalam bilbornya itu: ”Kembali ke Rumah Besar Umat
Islam”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar