Jumat, 06 Desember 2013

Babak Baru AS-Iran

Babak Baru AS-Iran
Zuhairi Misrawi  ;   Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah
The Middle East Institute
KOMPAS,  06 Desember 2013
  


Kesepakatan sementara antara Iran dan P5+1 (AS, China, Perancis, Rusia, Inggris, dan Jerman) di Geneva, Swiss, mengenai masa depan program nuklir Iran menjadi langkah awal normalisasi hubungan diplomatik AS-Iran.

Media Arab menyebut ini kesepakatan spektakuler. Di dalam kesepakatan ini, Iran dituntut membekukan program nuklirnya dalam enam bulan. Mereka hanya boleh mengembangkan program nuklirnya hingga 5 persen sebagai batas maksimal sehingga tak ada ruang bagi Iran membuat bom nuklir yang dapat mengancam negara lain di Timur Tengah.

Sebagai konsesinya, Iran akan mendapatkan kembali tabungannya, lebih kurang 7 miliar-10 miliar dollar AS di bank-bank asing yang selama ini dibekukan akibat sanksi atas program nuklir, termasuk memulihkan kembali perdagangan minyak dan gas ke negara-negara Eropa. Kenapa AS melunak dan kenapa Iran juga mau menerima uluran tangan AS yang 34 tahun, sejak revolusi Iran 1979, jadi musuh bebuyutannya?

Diplomasi

AS di bawah kepemimpinan Barack Obama telah mengambil jalan baru dalam menghadapi musuh-musuhnya di Timteng. Dalam kampanyenya, Obama berjanji akan menarik pasukan di Irak dan Afganistan, berusaha membangun sikap saling menghormati (mutual respect) dan saling menguntungkan (mutual interest). Secara khusus, dalam pidato inaugurasi, Obama berjanji mengulurkan tangan kepada Iran jika mereka mau berunding. Sayangnya, gaya kepemimpinan Ahmadinejad yang cenderung konfrontatif terhadap AS telah mengaburkan rencana membuka peta baru diplomasi AS-Iran.

Pasca-terpilihnya Rouhani sebagai Presiden Iran setelah Ahmadinejad telah membuka lembaran baru bagi hubungan AS-Iran. Komitmen Rouhani yang ingin membuka kembali hubungan dengan Barat telah meluluhkan dan membuka kembali harapan Obama untuk menggunakan jalur diplomasi sebagai instrumen memecahkan kebuntuan program nuklir Iran, termasuk dalam rangka normalisasi hubungan Washington-Teheran.

Menurut Thomas L Friedman, dalam menyikapi Iran, hendaknya AS mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan beberapa negara mitra strategisnya, seperti Israel, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk. Harus diakui, Iran, adalah pemain utama di beberapa negara Timteng, seperti Suriah, Irak, Afganistan, Lebanon, dan Palestina. Selain itu, isu sektarian Sunni-Syiah masalah serius yang harus dipecahkan sehingga perlu sebuah pendekatan baru terhadap Iran (www.iht.com, 12/11/ 2013).

Di dalam negeri AS, perang adalah isu sangat tak populer. Publik AS masih trauma dengan kebijakan luar negeri AS di Afganistan dan Irak, yang menempatkan AS sebagai musuh bersama bagi negara-negara lain. Menurut Raghada Dargham, langkah Obama menempuh jalur diplomasi dengan Iran tak lain untuk merespons keinginan mayoritas AS agar sebisa mungkin menghindari perang karena hanya membawa kerugian dan dampak negatif bagi AS.

Langkah lunak yang diambil AS sebenarnya sejalan dengan kehendak publik Iran. Kesepakatan ini dianggap kemenangan diplomasi Iran terhadap AS dan negara-negara lain. Rouhani dianggap berhasil menyalurkan aspirasi mayoritas publik Iran yang menghendaki arah baru dalam politik luar negeri, khususnya membangun keseimbangan diplomatik dengan Barat. Rouhani dianggap mampu memenuhi janjinya menyelesaikan masalah pelik perihal program nuklir Iran, yang telah menjadikan Iran terisolasi dalam pergaulan global.

Yang dicapai Rouhani saat ini pada hakikatnya jawaban atas yang diinginkan kaum reformis Iran yang mulai muncul ke permukaan pada tahun 2009. Pada saat itu, kaum reformis yang didukung sepenuhnya oleh kalangan muda kampus menghendaki Iran keluar dari kebijakan-kebijakan konservatif. Pesan utamanya, Iran harus menatap masa depan yang lebih modern, terbuka, dan membangun diplomasi dengan negara-negara Barat.

Sayangnya, faksi reformis kalah dari kubu konservatif, Ahmadinejad. Situasi kian memburuk karena sejak 2010, PBB mengeluarkan sanksi cukup berat kepada Iran atas program nuklir. Itu mengakibatkan Iran berada dalam konflik dan ketegangan dengan Barat, selain krisis ekonomi yang cukup serius karena hiperinflasi, pembekuan aset Iran di luar negeri, dan penghentian ekspor ke negara-negara Barat.

Masa depan

Iran pada masa kepemimpinan Rouhani sedang memformulasikan langkah-langkah moderat dalam rangka memenuhi tuntutan publik. Langkah ini dapat dukungan penuh dari Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Iran ingin menunjukkan kepada dunia sebagai bagian dari arus perubahan dan siap bekerja sama, baik dengan kawan maupun dengan lawan.

Sejak dicapainya kesepakatan ini, Iran melakukan langkah cepat memberikan jalan bagi badan atom internasional untuk melakukan penyelidikan terhadap pusat nuklir Iran di Arak sebagai komitmen Iran mematuhi kesepakatan. Bahkan, Iran melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab, untuk menjelaskan komitmen Iran dalam program nuklir semata-mata untuk perdamaian, bukan pengayaan bom dan persenjataan mematikan.

Dalam enam bulan yang akan datang, Iran diuji untuk mematuhi kesepakatan ini. Iran harus membuktikan kepada dunia sebagai negara terdepan mendorong perdamaian di Timteng, bukan negara yang mendukung perpecahan dan konflik sektarian.

AS harus menjadikan kesepakatan yang bersifat sementara ini pintu masuk untuk menjadikan diplomasi sebagai solusi dalam memecahkan masalah-masalah pelik di Timteng. Solusi nondiplomasi politik hanya akan menyisakan konsekuensi tak kalah pelik. Apalagi sentimen anti-AS di Timteng masih sangat kuat karena AS dianggap ”sumber masalah” daripada ”solusi” atas instabilitas politik di Tanah Para Nabi itu. Memang, kesepakatan ini tak mudah direalisasikan karena negara-negara yang selama ini jadi mitra-strategis AS, seperti Arab Saudi, Israel, dan Kuwait, tak mendukung kesepakatan sementara dengan Iran. Mereka justru mendukung sepenuhnya perang melawan Iran sebagai langkah tepat memaksa Iran menghentikan program nuklirnya. Masa depan relasi AS-Iran masih sulit ditebak. Jika kedua negara dapat membangun kesepahaman dan saling pengertian, Timteng akan mengalami perubahan ke arah tatanan baru yang damai. Tantangan selanjutnya, AS-Iran dapat melanjutkan perbincangan mencari solusi atas masalah Suriah sebagai bagian dari babak baru relasi keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar