2014 : Petruk
(Harus) Jadi Raja!
Yudhistira ANM Massardi ; Pengamat Pendidikan
|
KOMPAS,
24 Desember 2013
TAHUN 2014 tahun politik. Maka,
Petruk harus jadi raja. Sebagai wong cilik, sebagai
pemilik suara rakyat (vox populi)
yang adalah pengejawantahan dari suara Tuhan (vox Dei), dalam demokrasi Petruk adalah rakyat yang mahakuasa.
Dialah yang menentukan siapa yang akan ditetapkannya sebagai penguasa,
yang berhak atas mandat yang akan dititipkannya untuk masa lima tahun ke
depan.
Dia akan melakukan evaluasi dan
koreksi. Kelemahan, kekacauan, dan kebusukan rezim penguasa terdahulu harus
dihukum berat: tidak dipilih lagi! Dalam pewayangan, Petruk salah satu
dari—bersama Gareng dan Bagong)—punakawan, kelompok pengiring/penghibur/penasihat
para ksatria pimpinan Semar, yang diposisikan sebagai wakil kaum jelata.
Salah satu lakon carangan yang
spektakuler dalam kisah wayang adalah ”Petruk Dadi Ratu” (”Petruk Jadi
Raja”). Itu kisah revolusioner. Bukan kisah tentang si pungguk merindukan
bulan atau katak hendak jadi lembu. Tatkala pemerintahan begitu lemahnya, dan
pusaka negara yang begitu saktinya, Jamus Kalimasada, hilang dicuri Dewi
Mustakaweni dari Kerajaan Imantaka, yang menyaru sebagai Gatotkaca, itu
berarti kiamat sudah dekat. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa, koreksi
total harus dilakukan. Segera.
Ketika itu, Petruk ”terpanggil”.
Setelah operasi perebutan kembali Jamus Kalimasada dilakukan, dan jimat sakti
itu berada di tangannya, Petruk segera menaruhnya di atas kepalanya. Seketika
itu juga energi kosmik-spiritual merasuk ke tubuhnya. Ia jadi sakti
mandraguna. Bahkan, para dewa di Jonggring Salaka tak ada yang mampu
mengalahkannya. Lelaki buruk rupa yang juga disebut Dawala dan Kanthong
Bolong itu pun menobatkan diri sebagai raja di Keraton Lojitengara, bergelar
Prabu Welgeduwelbeh. Raja dan dewa tunduk dan takluk kepadanya.
Paradigma Petruk
Revolusi yang dilakukan Petruk
hanya semusim. Namun, koreksi yang dilakukannya tak hanya menimbulkan
kehebohan hebat, melainkan juga mampu mengembalikan seluruh tatanan ke relnya
yang benar. Para raja dan dewa mendapatkan pelajaran berharga.
Fenomena Jokowi-Ahok yang terpilih
menjadi pimpinan Ibu Kota, kemudian menduduki peringkat tertinggi di semua
jajak pendapat untuk calon presiden, sejenis fenomena ”Petruk Jadi Raja” yang
revolusioner dan korektif tadi.
Para (calon) pemimpin di
negeri ini seharusnya tak hanya belajar meniru langkah blusukan-nya,
tetapi juga melihat seluruh paradigmanya. Terpilih dan teridolakannya Jokowi
(-Ahok) adalah ekspresi dari perasaan rakyat yang secara fundamental telah
terzalimi oleh kedua rezim pascareformasi. Rakyat sudah letih, bosan, dan
benci melihat kinerja dan performa seluruh abdi rakyat dan abdi negara di
lembaga-lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang begitu bobrok dan
tak becus. Rakyat sudah muak pada politik pencitraan yang dhaif, palsu, dan
membodohi.
”Paradigma Petruk” adalah
paradigma paradoks: kelindan antara dekonstruksi-parodi dan semangat
antihero. Alhasil, cara-cara menjual diri para calon anggota legislatif
ataupun calon presiden yang masih bertumpu pada gebyar iklan televisi,
baliho, seremoni, dan pidato-pidato omong kosong, bukan hanya sudah basi dan
menunjukkan sikap antiperubahan, juga langkah bunuh diri yang bodoh. Rakyat tidak
akan memilih mereka, apalagi yang punya rekam jejak hitam di masa lalu yang
belum lagi jauh. Rakyat hanya akan memilih para ”Petruk buruk muka” yang
bersahaja dan kerja nyata.
Ya, rakyat yang sebelum ini—
meminjam seloroh seorang teman—mendambakan datangnya Ratu Adil, tetapi yang
muncul Ratu Atut; mendambakan Satria Piningit, tapi yang muncul Satria
Bergitar, kini mendambakan seorang Petruk for
president! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar