SEMUA diplomat RI,
khususnya para duta besar, tahu benar bahwa ketika berangkat ke negara
penempatannya pemerintah membebankan tiga tugas pokok, yang disingkat
peningkatan TTI atau trade, tourism, and investment. Tentu ini tanpa
mengabaikan tugas penting lain, seperti pelayanan konsuler dan perlindungan
WNI di wilayah negara akreditasi.
Jadi, sukses tidaknya seorang duta besar dan
staf diplomatik dalam misi sangat bergantung kepada, antara lain, semakin
banyaknya turis ke Indonesia, besaran investasi yang digaet, dan besaran
peningkatan volume perdagangan.
Selama ini masih ada yang belum bisa memahami
bahwa sejak reformasi 15 tahun lalu misi diplomatik pun harus berubah.
Sewaktu di Washington DC dan London sebagai wartawan Jawa Pos, saya
beranggapan pekerjaan diplomat di KBRI itu hanya tukang antartamu dari
Jakarta.
Karena itu, ketika di Washington DC saya
sempat kena marah "orang-orang kedutaan" karena pernah mengajak
jalan-jalan seorang menteri dengan naik subway dan mengunjungi museum.
Menteri ini kebetulan tidak hobi shopping seperti umumnya pejabat. Saya
dianggap menyalahi pakem.
Protes Pakde Karwo
Saya masih ingat, pada musim panas 2011, dalam
menyertai kunjungan Presiden SBY ke Jenewa, Gubernur Jatim Soekarwo sempat
mengajukan protes kepada seorang menteri bidang politik. Pakde Karwo dengan
tegas meminta menteri senior ini ikut memberikan arahan ke Kemenlu agar
para Dubes lebih memperhatikan program ekonomi, perdagangan, dan investasi.
Mengapa Pakde protes? Dia menjelaskan, dalam
lawatannya ke beberapa negara dirinya masih sering menemukan Dubes yang
kurang antusias membantu Jatim dalam mendekati para pengusaha setempat
dengan alasan belum ada "arahan" dari Jakarta. Tentu saja, saya
terheran-heran.
Saya memang sempat kurang senang dengan korps
diplomatik Indonesia. Karena itu, meski saya berkuliah di jurusan hubungan
internasional, saya memutuskan tidak mendaftar sebagai calon diplomat ke
Kemenlu. Ketidaksukaan saya terhadap "gaya hidup diplomat" makin
meningkat setelah saya hidup di luar negeri. Meski bergaji dolar, saya
pastikan mereka jarang membeli buku untuk menambah pengetahuan dan jarang
berusaha meningkatkan kemampuan lain.
Sewaktu di Washington DC, meski hanya sebagai
koresponden Jawa Pos, jumlah buku bacaan, majalah, dan koran saya jauh lebih
banyak daripada "orang-orang kedutaan". Ketika mulai menjabat
duta besar di Bern, saya juga menjumpai fakta, buku terakhir yang dibeli
untuk perpustakaan sudah 25 tahun lalu. Tak ada satu pun buku-buku
informasi tentang Switzerland, kecuali yang sudah berusia 30 tahun.
Mengapa buku penting? Dalam buku Negotiating
Behavior with American yang merupakan pengalaman sejumlah negosiator top
dalam berbagai perundingan, khususnya perdagangan dengan Amerika Serikat,
terungkap bahwa dalam setiap pertemuan penting, seperti KTM IX WTO di Bali
sekarang ini, AS datang dengan tim yang lengkap. Bukan hanya diplomat yang
pandai berjas dan berdasi rapi, tapi dengan penasihat hukum, tim riset, dan
data yang sangat lengkap. Belum lagi tim NSA (National Security Agency) mencuri
data melalui operasi intelijen.
Salah satu tema besar di Bali sekarang ini
adalah persoalan subsidi pertanian. Hal ini sudah menjadi perdebatan
melalui putaran Doha selama sepuluh tahun lebih, tapi tidak ada kemajuan
sama sekali. Memang salah satu tujuan WTO dengan liberalisasi perdagangan
itu adalah menghilangkan tarif dan subsidi dalam bidang pertanian.
Herannya, meski Uni Eropa dan AS serta negara
maju lain seperti Jepang dan Australia masih mengenakan subsidi untuk
melindungi industri pertaniannya, tim negosiator Indonesia sejak Uruguay
Round hampir 20 tahun lalu sudah "menyerah" dengan setuju akan
memberikan subsidi maksimum hanya 10 persen. Karena itu, Menteri Pertanian
Suswono pun mengatakan "akan berjuang" menaikkan jatah subsidi
Indonesia menjadi 15 persen.
Kendala lain adalah masih kuatnya ego sektoral
masing-masing kementerian. Sering para perunding juga datang dengan data
tidak lengkap atau mandat yang jelas. Belum lagi kalau bicara soal
keterbatasan kemampuan memahami bahasa hukum internasional. Itulah
sebabnya, beberapa waktu lalu DPR RI sempat mengajukan usul inisiatif RUU
Perjanjian Internasional, tetapi ditolak pemerintah.
Sudah saatnya sekarang ditegaskan bahwa misi
diplomatik RI memang berupa suksesnya misi dagang, investasi, dan
peningkatan turisme bagi kesejahteraan masyarakat. Mari lucuti ego
sektoral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar