Kamis, 05 Desember 2013

Menyambut KTM WTO IX di Bali

Menyambut KTM WTO IX di Bali
Djoko Susilo ;   Dubes RI di Switzerland dan Liechtenstein
JAWA POS,  03 Desember 2013
  


SEMUA diplomat RI, khususnya para duta besar, tahu benar bahwa ketika berangkat ke negara penempatannya pemerintah membebankan tiga tugas pokok, yang disingkat peningkatan TTI atau trade, tourism, and investment. Tentu ini tanpa mengabaikan tugas penting lain, seperti pelayanan konsuler dan perlindungan WNI di wilayah negara akreditasi. 

Jadi, sukses tidaknya seorang duta besar dan staf diplomatik dalam misi sangat bergantung kepada, antara lain, semakin banyaknya turis ke Indonesia, besaran investasi yang digaet, dan besaran peningkatan volume perdagangan.

Selama ini masih ada yang belum bisa memahami bahwa sejak reformasi 15 tahun lalu misi diplomatik pun harus berubah. Sewaktu di Washington DC dan London sebagai wartawan Jawa Pos, saya beranggapan pekerjaan diplomat di KBRI itu hanya tukang antartamu dari Jakarta. 

Karena itu, ketika di Washington DC saya sempat kena marah "orang-orang kedutaan" karena pernah mengajak jalan-jalan seorang menteri dengan naik subway dan mengunjungi museum. Menteri ini kebetulan tidak hobi shopping seperti umumnya pejabat. Saya dianggap menyalahi pakem. 

Protes Pakde Karwo 

Saya masih ingat, pada musim panas 2011, dalam menyertai kunjungan Presiden SBY ke Jenewa, Gubernur Jatim Soekarwo sempat mengajukan protes kepada seorang menteri bidang politik. Pakde Karwo dengan tegas meminta menteri senior ini ikut memberikan arahan ke Kemenlu agar para Dubes lebih memperhatikan program ekonomi, perdagangan, dan investasi. 

Mengapa Pakde protes? Dia menjelaskan, dalam lawatannya ke beberapa negara dirinya masih sering menemukan Dubes yang kurang antusias membantu Jatim dalam mendekati para pengusaha setempat dengan alasan belum ada "arahan" dari Jakarta. Tentu saja, saya terheran-heran. 

Saya memang sempat kurang senang dengan korps diplomatik Indonesia. Karena itu, meski saya berkuliah di jurusan hubungan internasional, saya memutuskan tidak mendaftar sebagai calon diplomat ke Kemenlu. Ketidaksukaan saya terhadap "gaya hidup diplomat" makin meningkat setelah saya hidup di luar negeri. Meski bergaji dolar, saya pastikan mereka jarang membeli buku untuk menambah pengetahuan dan jarang berusaha meningkatkan kemampuan lain.

Sewaktu di Washington DC, meski hanya sebagai koresponden Jawa Pos, jumlah buku bacaan, majalah, dan koran saya jauh lebih banyak daripada "orang-orang kedutaan". Ketika mulai menjabat duta besar di Bern, saya juga menjumpai fakta, buku terakhir yang dibeli untuk perpustakaan sudah 25 tahun lalu. Tak ada satu pun buku-buku informasi tentang Switzerland, kecuali yang sudah berusia 30 tahun. 

Mengapa buku penting? Dalam buku Negotiating Behavior with American yang merupakan pengalaman sejumlah negosiator top dalam berbagai perundingan, khususnya perdagangan dengan Amerika Serikat, terungkap bahwa dalam setiap pertemuan penting, seperti KTM IX WTO di Bali sekarang ini, AS datang dengan tim yang lengkap. Bukan hanya diplomat yang pandai berjas dan berdasi rapi, tapi dengan penasihat hukum, tim riset, dan data yang sangat lengkap. Belum lagi tim NSA (National Security Agency) mencuri data melalui operasi intelijen. 

Salah satu tema besar di Bali sekarang ini adalah persoalan subsidi pertanian. Hal ini sudah menjadi perdebatan melalui putaran Doha selama sepuluh tahun lebih, tapi tidak ada kemajuan sama sekali. Memang salah satu tujuan WTO dengan liberalisasi perdagangan itu adalah menghilangkan tarif dan subsidi dalam bidang pertanian. 

Herannya, meski Uni Eropa dan AS serta negara maju lain seperti Jepang dan Australia masih mengenakan subsidi untuk melindungi industri pertaniannya, tim negosiator Indonesia sejak Uruguay Round hampir 20 tahun lalu sudah "menyerah" dengan setuju akan memberikan subsidi maksimum hanya 10 persen. Karena itu, Menteri Pertanian Suswono pun mengatakan "akan berjuang" menaikkan jatah subsidi Indonesia menjadi 15 persen. 

Kendala lain adalah masih kuatnya ego sektoral masing-masing kementerian. Sering para perunding juga datang dengan data tidak lengkap atau mandat yang jelas. Belum lagi kalau bicara soal keterbatasan kemampuan memahami bahasa hukum internasional. Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu DPR RI sempat mengajukan usul inisiatif RUU Perjanjian Internasional, tetapi ditolak pemerintah. 

Sudah saatnya sekarang ditegaskan bahwa misi diplomatik RI memang berupa suksesnya misi dagang, investasi, dan peningkatan turisme bagi kesejahteraan masyarakat. Mari lucuti ego sektoral. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar