Kebudayaan dan
Konsumerisme
Yudhistira ANM Massardi ; Sastrawan
|
TEMPO.CO,
03 Desember 2013
Forum Budaya Dunia baru
saja digelar di Bali pada 24-27 November lalu. Di sana, Nobelis Ekonomi
Amartya Sen antara lain menyatakan pentingnya dialog budaya. "Manusia
sebagai makhluk sosial mampu saling bicara, menggantikan konfrontasi dengan
dialog," kata dia. Selain itu, ia yakin, "Budaya juga bisa
menjadi kekuatan dalam pembangunan yang berkelanjutan."
Pembicara
lain, Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova, memuji Indonesia sebagai
laboratorium kebudayaan terbesar di dunia karena memiliki kultur, etnik,
agama, dan tradisi yang sangat beragam. Jika dikelola dengan baik,
keberagaman itu akan membawa kedamaian dan manfaat bagi banyak orang.
Dua
pekan sebelumnya, dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, filsuf
dan fisikawan Karlina Supelli menyatakan, "Salah satu cita-cita
kebudayaan adalah merancang pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang
mempunyai visi mengenai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama."
Tapi, melihat kondisi bangsa dan negara hari ini, dengan getir dia menilai,
justru cita-cita luhur itu telah diam-diam dicuri oleh nalar ekonomi dan
dialihkan menjadi agenda untuk mendidik konsumerisme. "Konsumen tidak
dididik untuk mampu mengembangkan daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif
serta berpikir kritis dan rasional. Konsumen dididik hasrat (naluri, emosi)
dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar menghendaki segala yang gemerlap
yang ditawarkan pasar."
Amartya
Sen dan Irina Bokova pastilah tidak mengetahui kondisi Indonesia yang
sebenarnya sebagaimana yang dipahami Karlina Supelli. Sebab, terhadap
kedua titik itulah (pembangunan berkelanjutan dan keberagaman kultur),
Karlina memberikan kritiknya. Pembangunan di Indonesia telah salah arah dan
hanya melahirkan konsumerisme dan memacu budaya korupsi ke tingkat yang
paling edan. Di sisi lain, keberagaman kultur, etnik, dan tradisi justru
telah tumpas sejak dari akar kehidupannya (hutan binasa, lingkungan hidup
tercabik, toleransi padam) akibat kerakusan dan arogansi sekelompok orang
yang sudah meninggalkan dialog dan mengggantikannya dengan konfrontasi.
Forum
Budaya Dunia di Bali pun menjadi hajatan yang melawan realitas dan tak
lebih dari sekadar etalase elitis yang menyakitkan. Kebudayaan akhirnya
menjadi komoditas aneh di "laboratorium" yang mangkrak. Wujud
kebudayaan sebenarnya yang sedang tumbuh di seluruh Nusantara sejak sekitar
30 tahun silam adalah korupsi dan konsumerisme.
Simbol
dari semua itu adalah maraknya pembangunan mal-mal yang kini telah menjadi
"pusat-pusat kebudayaan" yang sesungguhnya, yang mencerminkan
dunia hiper-realitas publik yang sudah terdidik menjadi "konsumen yang
baik". Para budayawan idealis/romantis serta para pegiat kebudayaan
seharusnya melihat ini sebagai lahan yang menantang untuk dimasuki dan
digarap.
Kafe-kafe
dan restoran-restoran di mal-mal gemerlap itu bisa secara terprogram
dijadikan "ruang budaya" di mana publik bisa dengan bebas dan
girang bertemu, berdialog, atau sekadar minta tanda tangan atau potret
bersama dengan para seniman. Setidak-tidaknya, di situlah konfrontasi bisa
berubah menjadi dialog dan menjadi bagian dari kebudayaan baru yang harus
terus tumbuh dalam realitas bersama. Sebab, faktanya, pusat-pusat
kebudayaan yang "resmi" telah kehilangan kaum mudanya. Apa boleh
buat. Kita kini mungkin sedang memasuki fase borjuasi, menanti tibanya
sebuah "Revolusi Prancis". ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar