Kamis, 05 Desember 2013

Kebudayaan dan Konsumerisme

Kebudayaan dan Konsumerisme
Yudhistira ANM Massardi ;   Sastrawan
TEMPO.CO,  03 Desember 2013

  

Forum Budaya Dunia baru saja digelar di Bali pada 24-27 November lalu. Di sana, Nobelis Ekonomi Amartya Sen antara lain menyatakan pentingnya dialog budaya. "Manusia sebagai makhluk sosial mampu saling bicara, menggantikan konfrontasi dengan dialog," kata dia. Selain itu, ia yakin, "Budaya juga bisa menjadi kekuatan dalam pembangunan yang berkelanjutan."

Pembicara lain, Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova, memuji Indonesia sebagai laboratorium kebudayaan terbesar di dunia karena memiliki kultur, etnik, agama, dan tradisi yang sangat beragam. Jika dikelola dengan baik, keberagaman itu akan membawa kedamaian dan manfaat bagi banyak orang.

Dua pekan sebelumnya, dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, filsuf dan fisikawan Karlina Supelli menyatakan, "Salah satu cita-cita kebudayaan adalah merancang pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang mempunyai visi mengenai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama." Tapi, melihat kondisi bangsa dan negara hari ini, dengan getir dia menilai, justru cita-cita luhur itu telah diam-diam dicuri oleh nalar ekonomi dan dialihkan menjadi agenda untuk mendidik konsumerisme. "Konsumen tidak dididik untuk mampu mengembangkan daya-daya abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan rasional. Konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar menghendaki segala yang gemerlap yang ditawarkan pasar." 

Amartya Sen dan Irina Bokova pastilah tidak mengetahui kondisi Indonesia yang sebenarnya sebagaimana yang dipahami Karlina Supelli. Sebab, terhadap  kedua titik itulah (pembangunan berkelanjutan dan keberagaman kultur), Karlina memberikan kritiknya. Pembangunan di Indonesia telah salah arah dan hanya melahirkan konsumerisme dan memacu budaya korupsi ke tingkat yang paling edan. Di sisi lain, keberagaman kultur, etnik, dan tradisi justru telah tumpas sejak dari akar kehidupannya (hutan binasa, lingkungan hidup tercabik, toleransi padam) akibat kerakusan dan arogansi sekelompok orang yang sudah meninggalkan dialog dan mengggantikannya dengan konfrontasi. 

Forum Budaya Dunia di Bali pun menjadi hajatan yang melawan realitas dan tak lebih dari sekadar etalase elitis yang menyakitkan. Kebudayaan akhirnya menjadi komoditas aneh di "laboratorium" yang mangkrak. Wujud kebudayaan sebenarnya yang sedang tumbuh di seluruh Nusantara sejak sekitar 30 tahun silam adalah korupsi dan konsumerisme.

Simbol dari semua itu adalah maraknya pembangunan mal-mal yang kini telah menjadi "pusat-pusat kebudayaan" yang sesungguhnya, yang mencerminkan dunia hiper-realitas publik yang sudah terdidik menjadi "konsumen yang baik". Para budayawan idealis/romantis serta para pegiat kebudayaan seharusnya melihat ini sebagai lahan yang menantang untuk dimasuki dan digarap.

Kafe-kafe dan restoran-restoran di mal-mal gemerlap itu bisa secara terprogram dijadikan "ruang budaya" di mana publik bisa dengan bebas dan girang bertemu, berdialog, atau sekadar minta tanda tangan atau potret bersama dengan para seniman. Setidak-tidaknya, di situlah konfrontasi bisa berubah menjadi dialog dan menjadi bagian dari kebudayaan baru yang harus terus tumbuh dalam realitas bersama. Sebab, faktanya, pusat-pusat kebudayaan yang "resmi" telah kehilangan kaum mudanya. Apa boleh buat. Kita kini mungkin sedang memasuki fase borjuasi, menanti tibanya sebuah "Revolusi Prancis". 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar