Kamis, 05 Desember 2013

Tanggung Jawab Atas Keberagaman

Tanggung Jawab Atas Keberagaman
Ahmad Khotim Muzakka ;   Mahasiswa S 2 pada Sekolah Pascasarjana pada Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM Yogyakarta
KORAN JAKARTA,  03 Desember 2013

  

Piagam tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat Madura sudah jenuh dengan kondisi yang tidak menentu. Siaga setiap waktu dan terus dihantui kecemasan yang tidak berujung. Pada titik ini, piagam perdamaian menjadi solusi atas segala kondisi.

Meski telah berlalu, ada peristiwa yang patut dicermati segenap bangsa, terutama terkait jalannya toleransi yang sudah merupakan keharusan di negara serbamajemuk ini. Masyarakat harus bersatu padu mengupayakan segala usaha untuk terus mewujudkannya tanpa mengenal tempat, identitas, dan ras. Ada kejadian yang menarik disimak sebelum memasuki era pesta politik tahun 2014 terkait keberagaman.


Pertama, disepakatinya piagam perdamaian antara warga Sunni dan Syiah yang beberapa kali memanas dan meruncing. Piagam perdamaian yang diteken pada 23 September 2013 silam merupakan bukti bahwa jauh di lubuk hati terdalam, yang diinginkan kedua belah bukanlah kekerasan. Dengan demikian, kekerasan hanya semacam "solusi instan" karena tidak ditemukan alternatif yang bisa meredam keduanya.

Piagam tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat Madura sudah jenuh dengan kondisi yang tidak menentu. Siaga setiap waktu dan terus dihantui kecemasan yang tidak berujung. Pada titik ini, piagam perdamaian menjadi solusi atas segala kondisi.

Jika dirunut lebih jauh, upaya rekonsiliasi sudah diupayakan berbagai pihak. Akan tetapi, jalan buntu selalu mengadang. Sampai akhirnya, warga Sampang dan Syiah bersepakat untuk mengakhiri konflik lokal yang mengglobal itu. Langkah ini terhitung cerdas karena bisa memutus rantai permusuhan yang telanjur mengemuka. Tentu semua tidak berharap permusuhan tersebut berlanjut ke generasi berikutnya. Bagian pertama ini disebut sebagai "fase emas" pentingnya kesadaran akan pluralitas bangsa Indonesia.

Kedua, kasus Lurah Lenteng Agung, Jakarta, Susan, yang didemo warganya. Susan, yang terpilih sebagai lurah hasil seleksi lelang jabatan yang digagas Pemerintah DKI Jakarta, tidak diharapkan sebagian warga. Masyarakat setempat menolak Susan lantaran mayoritas warga beragama Islam, sementara lurah terpilih beragama nonmuslim. Hal itu ditengarai menjadi penyebab utama aksi penolakan.

Kasusu Susan menjadi paradoks jika dibandingkan dengan pencapaian yang tengah dirasakan warga Sampang yang sempat berjibaku dengan ketegangan dalam perbedaan, akhirnya lepas. Namun, di saat bersamaan, noda atas nama perbedaan justru terjadi di tempat berbeda, tempat yang seharusnya sudah merasakan budaya multikulturalisme semacam Jakarta. Ini merupakan sebuah kemunduran tersendiri jika ditilik dari segi pencapaian dan penerapan asas toleransi. Multikulturalisme belum terbukti bisa diadopsi, bahkan oleh masyarakat yang berada pada spektrum yang berwarna seperti Jakarta.

Langkah yang digagas kedua belah pihak di Sampang merupakan bukti konkret bahwa perdamaian memang menjadi kebutuhan utama. Tentu semua sepakat tidak ada satu pun golongan yang menginginkan konflik. Semua memiliki hasrat cinta damai, tentu saja dengan aneka "syarat" untuk mewujudkannya, di antaranya pengetahuan yang cukup mengenai makna perbedaan dan multikultural.

Sulit rasanya membayangkan seseorang yang "tidak terbiasa" dengan budaya multikultur bisa dan mampu berbaur di "kawasan" yang berbeda dengan area nyaman mereka. Pengalaman demi pengalaman bertemu orang berbeda akan membuka mata dan kesadaran bahwa dibutuhkan keberanian untuk membuktikannya. Toleransi tidak hanya butuh waktu, tapi juga butuh ketegasan untuk mewujudkannya.

Sudah seharusnya semua menjaga eksistensi Indonesia dari ancaman perpecahan yang datang dari segala penjuru. Perjuangan untuk menghargai perbedaan yang telah dirajut tidak boleh diletakkan begitu saja di tengah jalan. Perdamaian yang telah dicapai di Sampang ini menjadi bukti penting untuk mengangkat derajat manusia sebagai manusia.

Sudah waktunya bangsa membumikan kesadaran keberagaman di Indonesia. Yang dibutuhkan sekarang ini tidak sekadar penghargaan atas pejabat paling toleran, ataupun klaim yang menyatakan bahwa negeri ini paling toleran sedunia, tetapi bukti konkret di lapangan. Negara memerlukan pahlawan-pahlawan keberagaman yang hadir dan hidup di tiap pojok Indonesia. Andakah orangnya? Mari berjalan bersama menuju ke sana.

Fakta tadi mestinya menjadi bahan permenungan bersama bahwa meski keberagaman adalah niscaya di Indonesia, dibutuhkan pengalaman orisinal yang bisa membaurkan kesadaran bersama tentang perbedaan. Pernyataan Robert William Hefner (2000) yang memuji Indonesia sebagai tempat klasik keberagaman bisa menjadi bumerang bagi keberagaman itu sendiri. Soalnya, dalam praktiknya, banyak dijumpai aksi kekerasan tak bertanggung jawab atas nama agama.

Herry Zudianto (Kekuasaan sebagai Wakaf Politik, 2008) menjelaskan bahwa toleransi sulit dibangkitkan jika tidak didapat dari pengalaman autentik. Pengalaman berupa hidup bersama dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda, baik ras, budaya, maupun agama. Itu semua merupakan modal utama untuk menanam benih dan menumbuhkembangkan sikap toleran, sesuatu yang harus dikembangkan bangsa Indonesia secara simultan. Apalagi, sebentar lagi memasuki tahun politikyang sarat kepentingan menghalalkan segala cara. Mari waspada.

Indonesia yang dihuni beragam penganut agama dan kepercayaan merupakan bukti betapa negeri ini memiliki akar toleransi yang kuat. Bahkan, menurut Neils Mulder (Afif Muhammad: 2013), bangsa Indonesia memunyai corak kepercayaan yang monoteistis, jauh sebelum agama-agama besar datang yang menitikberatkan aspek ketenteraman batin, keselarasan dan harmoni, serta menyatu dengan alam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar