Piagam tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat
Madura sudah jenuh dengan kondisi yang tidak menentu. Siaga setiap waktu
dan terus dihantui kecemasan yang tidak berujung. Pada titik ini, piagam
perdamaian menjadi solusi atas segala kondisi.
Meski telah berlalu, ada peristiwa yang patut dicermati
segenap bangsa, terutama terkait jalannya toleransi yang sudah merupakan
keharusan di negara serbamajemuk ini. Masyarakat harus bersatu padu
mengupayakan segala usaha untuk terus mewujudkannya tanpa mengenal tempat,
identitas, dan ras. Ada kejadian yang menarik disimak sebelum memasuki era
pesta politik tahun 2014 terkait keberagaman.
Pertama, disepakatinya piagam perdamaian antara warga Sunni dan Syiah yang
beberapa kali memanas dan meruncing. Piagam perdamaian yang diteken pada 23
September 2013 silam merupakan bukti bahwa jauh di lubuk hati terdalam,
yang diinginkan kedua belah bukanlah kekerasan. Dengan demikian, kekerasan
hanya semacam "solusi instan" karena tidak ditemukan alternatif
yang bisa meredam keduanya.
Piagam tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat Madura sudah jenuh
dengan kondisi yang tidak menentu. Siaga setiap waktu dan terus dihantui
kecemasan yang tidak berujung. Pada titik ini, piagam perdamaian menjadi
solusi atas segala kondisi.
Jika dirunut lebih jauh, upaya rekonsiliasi sudah diupayakan berbagai
pihak. Akan tetapi, jalan buntu selalu mengadang. Sampai akhirnya, warga
Sampang dan Syiah bersepakat untuk mengakhiri konflik lokal yang mengglobal
itu. Langkah ini terhitung cerdas karena bisa memutus rantai permusuhan
yang telanjur mengemuka. Tentu semua tidak berharap permusuhan tersebut
berlanjut ke generasi berikutnya. Bagian pertama ini disebut sebagai
"fase emas" pentingnya kesadaran akan pluralitas bangsa
Indonesia.
Kedua, kasus Lurah Lenteng Agung, Jakarta, Susan, yang didemo warganya.
Susan, yang terpilih sebagai lurah hasil seleksi lelang jabatan yang
digagas Pemerintah DKI Jakarta, tidak diharapkan sebagian warga. Masyarakat
setempat menolak Susan lantaran mayoritas warga beragama Islam, sementara
lurah terpilih beragama nonmuslim. Hal itu ditengarai menjadi penyebab
utama aksi penolakan.
Kasusu Susan menjadi paradoks jika dibandingkan dengan pencapaian yang
tengah dirasakan warga Sampang yang sempat berjibaku dengan ketegangan
dalam perbedaan, akhirnya lepas. Namun, di saat bersamaan, noda atas nama
perbedaan justru terjadi di tempat berbeda, tempat yang seharusnya sudah
merasakan budaya multikulturalisme semacam Jakarta. Ini merupakan sebuah
kemunduran tersendiri jika ditilik dari segi pencapaian dan penerapan asas
toleransi. Multikulturalisme belum terbukti bisa diadopsi, bahkan oleh
masyarakat yang berada pada spektrum yang berwarna seperti Jakarta.
Langkah yang digagas kedua belah pihak di Sampang merupakan bukti konkret
bahwa perdamaian memang menjadi kebutuhan utama. Tentu semua sepakat tidak
ada satu pun golongan yang menginginkan konflik. Semua memiliki hasrat
cinta damai, tentu saja dengan aneka "syarat" untuk
mewujudkannya, di antaranya pengetahuan yang cukup mengenai makna perbedaan
dan multikultural.
Sulit rasanya membayangkan seseorang yang "tidak terbiasa" dengan
budaya multikultur bisa dan mampu berbaur di "kawasan" yang
berbeda dengan area nyaman mereka. Pengalaman demi pengalaman bertemu orang
berbeda akan membuka mata dan kesadaran bahwa dibutuhkan keberanian untuk
membuktikannya. Toleransi tidak hanya butuh waktu, tapi juga butuh
ketegasan untuk mewujudkannya.
Sudah seharusnya semua menjaga eksistensi Indonesia dari ancaman perpecahan
yang datang dari segala penjuru. Perjuangan untuk menghargai perbedaan yang
telah dirajut tidak boleh diletakkan begitu saja di tengah jalan.
Perdamaian yang telah dicapai di Sampang ini menjadi bukti penting untuk
mengangkat derajat manusia sebagai manusia.
Sudah waktunya bangsa membumikan kesadaran keberagaman di Indonesia. Yang
dibutuhkan sekarang ini tidak sekadar penghargaan atas pejabat paling
toleran, ataupun klaim yang menyatakan bahwa negeri ini paling toleran
sedunia, tetapi bukti konkret di lapangan. Negara memerlukan
pahlawan-pahlawan keberagaman yang hadir dan hidup di tiap pojok Indonesia.
Andakah orangnya? Mari berjalan bersama menuju ke sana.
Fakta tadi mestinya menjadi bahan permenungan bersama bahwa meski
keberagaman adalah niscaya di Indonesia, dibutuhkan pengalaman orisinal
yang bisa membaurkan kesadaran bersama tentang perbedaan. Pernyataan Robert
William Hefner (2000) yang memuji Indonesia sebagai tempat klasik
keberagaman bisa menjadi bumerang bagi keberagaman itu sendiri. Soalnya,
dalam praktiknya, banyak dijumpai aksi kekerasan tak bertanggung jawab atas
nama agama.
Herry Zudianto (Kekuasaan sebagai Wakaf Politik, 2008) menjelaskan bahwa
toleransi sulit dibangkitkan jika tidak didapat dari pengalaman autentik.
Pengalaman berupa hidup bersama dengan orang yang memiliki latar belakang
berbeda, baik ras, budaya, maupun agama. Itu semua merupakan modal utama
untuk menanam benih dan menumbuhkembangkan sikap toleran, sesuatu yang
harus dikembangkan bangsa Indonesia secara simultan. Apalagi, sebentar lagi
memasuki tahun politikyang sarat kepentingan menghalalkan segala cara. Mari
waspada.
Indonesia yang dihuni beragam penganut agama dan kepercayaan merupakan
bukti betapa negeri ini memiliki akar toleransi yang kuat. Bahkan, menurut
Neils Mulder (Afif Muhammad: 2013), bangsa Indonesia memunyai corak kepercayaan
yang monoteistis, jauh sebelum agama-agama besar datang yang
menitikberatkan aspek ketenteraman batin, keselarasan dan harmoni, serta
menyatu dengan alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar