Senin, 23 Desember 2013

Leher Burung Itu Guru!

Leher Burung Itu Guru!
Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  23 Desember 2013

  

Dalam langkah dan strateginya melawan korupsi yang sudah hampir tak terlawan, KPK tetap gigih berjuang mencari secara kreatif, dengan sikap ”hanief”, suatu sikap gigih, menggali, mengolah, dan mematangkan, hampir tanpa henti, kebenaran seperti apa yang secara kebudayaan dapat dijadikan landasan membangun suatu kekuatan melawan korupsi. 

Tak diragukan, KPK melihat gejala yang jelas ”melela” di depan mata seluruh bangsa, korupsi makin kuat, makin kuat, menjadi hampir tak terlawan, seperti disebut di atas. Tetapi, apa yang hampir tak terlawan itu dihadapi dengan sikap militan kaum pejuang, yang gigih, dan tidak gentar menghadapi apa yang hampir tak terlawan itu. Hampir tak terlawan itu artinya masih menyisakan peluang yang bisa dilawan. Sedang yang ”tak terlawan” pun mustahil betul-betul tak terlawan. 

Dengan misi profetiknya yang jelas, yang siap memanggul jeritan rohaniah dan politik seluruh bangsa, KPK percaya, yang mustahil itu tidak mustahil, yang tak mungkin bisa dibuat mungkin. Ini kerja politik yang penuh semangat rohaniah, yang terbangun di atas kesadaran bahwa misi suci, yang dilaksanakan dengan sepenuh hati, sering melipatgandakan keberanian, kegigihan dan kata ”pantang” menyerah itu tiba-tiba menemukan relevansi politiknya yang nyata: KPK memang pantang menyerah dalam arti politiknya yang sejati. 

Di jalan kebenaran, dengan misi suci, barisan tak harus terlalu besar, kekuatan sering boleh seadanya, karena di balik apa yang tak harus besar dan seadanya itu ada kekuatan lain yang tak tampak tapi terasa. Inilah yang sering secara tak terduga menjadi kekuatan penentu: yang tak terlawan bisa dilawan, yang mustahil bisa menjadi tak mustahil. 

Dalam konteks politik yang ruwet seperti ini, KPK tak melihat keruwetan. Dia fokus pada apa yang bisa dilakukan seperti Arjuna yang melihat fokus ketika belajar memanah. ”Apa fokus Arjuna?” Pertama, dia tidak sama dengan semua saudara seperguruannya. Ketika sang guru bertanya pada tiap murid, satu persatu, apa yang dilihatnya, jawabnya bermacam- macam. Ada murid yang menjawab bahwa dia melihat seekor burung di dahan pohon rindang. Ada yang menjawab dia melihat dedaunan hijau yang bagus dan meneduhkan. 

Ada yang menjawab burung yang hinggap itu bagus sekali bulu-bulunya. Semua jawaban itu membuat sang guru menggeleng, dengan sikap kecewa. Lalu ditanyalah Arjuna, apa yang dilihatnya. Kita tahu jawabnya: ”leher burung itu guru”. Lalu guru menyuruhnya membidikkan panahnya. Bidikan panah yang begitu fokus, tanpa kabut, tanpa kekotoran dalam jiwa, dan pandangannya, membuat burung terjungkal di tanah. 

Tak peduli tanda-tanda korupsi hampir tak terlawan. Tak peduli apa kata orang mengenai apa yang mustahil. KPK maju. Bahkan tak peduli apa kata menteri dalam negeri, yang tidak memahami baik-baik esensi tata pemerintahan yang bersih, tentang sebuah ”good governance” yang secara politik dan rohaniah transparan. Pernyataannya agar seorang bawahannya yang ditahan KPK masih boleh memerintah dari dalam rumah tahanan negara, ini tanda keruwetan menteri tersebut. Pernyataannya merupakan tanda penguatan bagi tindak pidana korupsi, yang menjadi musuh bersama. 

Membolehkan pejabat memerintah dari tahanan juga melecehkan aspirasi kenegaraan dari ”civil society”, yang diemban dengan sepenuh tanggung jawab oleh KPK, yang disorot seluruh rakyat negeri ini dari berbagai penjuru, dengan harapan agar KPK berhasil mewujudkan misi sucinya. Dia membuka palagan tempur yang merugikan dirinya sendiri, yang begitu sering dilakukannya. Pernyataannya yang lain, yang setengah mengancam bahwa Wakil Gubernur Banten diharuskan bisa bekerjasama dengan FPI, menimbulkan reaksi keras dan kemarahan yang merata di kalangan masyarakat. 

Menteri kekurangan akal sehat untuk menggunakan aparatnya sendiri? Menteri menambah keruwetan seluruh bangsa yang sedang melawan korupsi? Ini gejala menggelikan, dan kita kasihan melihat menteri dengan tingkat pemikiran yang bersifat ”keremaja- remajaan tanggung ”, yang masih membelalak kagum melihat fenomena dunia fana ini. Disadari atau tidak, pernyataan menteri itu merupakan tanda ”pro” terhadap korupsi. Langkah institusi besar dan penting seperti KPK itu seharusnya dia respons dengan baik, untuk melakukan tindakan administratif terhadap anak buahnya itu. 

Dari dulu seharusnya dia malu karena lebih kurang dua pertiga anak buahnya, di berbagai daerah korup. Seharusnya menteri itu merasa terpukul, dan melakukan tindakan besar, yang patut diteladani seluruh bangsa. Apa dia merasa suksesnya sebagai bupati tempo hari sudah merupakan prestasi gemilang, yang berkibar di awan gemawan di langit negerinya? Jangan salah: dia datang dari negeri, tempat para pemimpin besar bangsa kita berasal. 

Dari sana orang besar seperti H Agus Salim, Muhammad Natsir, Buya Hamka, dan namanama besar lainnya. Atasan yang membawanya ke dalam percaturan kepemimpinan tingkat nasional, apa tak melihat sepak terjangnya yang merugikan aspirasi kenegaraan kita semua? Bagaimana atasan menilai bawahannya? Hanya karena loyal, orang dinilai hebat? Secara politik pernyataan menteri itu simbol penolakan terhadap tindakan KPK. 

Kacamata metafora menganggap pernyataannya juga merupakan daun-daun, pohon, dan hutan yang mengganggu fokus penglihatan KPK. Tapi, KPK tidak mau terganggu. Lembaga ini melihat koruptor, orang per orang, dengan jernih, fokus, dan jelas ujung pangkal persoalannya seperti begitu jelas dan fokusnya Arjuna melihat ”leher burung” tadi. 

KPK telah terbiasa diganggu dengan berbagai macam cara. Gagasan mengenai ”koruptor menyerang balik” menjadi fenomena politik yang nyata dan terang benderang. Ini soal mencemaskan seluruh bangsa, yang belum sempat menikmati hasil kemerdekaan. Kekayaan alam hampir habis, mereka yang terpinggir tetap belum memperoleh bagian. Kekayaan negara dijarah rayah dan dalam banyak hal, wakil rakyat ikut serakah. Kepala-kepala daerah, anak buah menteri dalam negeri, berpesta pora, mencuri sumber kekayaan negara, tapi dibiarkan. Impian terbesarkan malah menyuruh anak buahnya bekerja sama dengan FPI. 

Apa inti sari perintahnya, yang seharusnya ditujukan pada tindakan anti korupsi itu? Mengapa bukan kegesitan anti korupsi benar yang diutamakan? Banyak pihak melawan KPK. Banyak pihak, yang dekat sekali dengan penguasa, ramai-ramai korupsi, dan diam-diam dilindungi. Banyak hal terungkap bahwa korupsi melibatkan yang terpenting dan orang di kiri-kanannya. Banyak perkara korup ditutup-tutupi secara rapi. Banyak usaha melindungi koruptor dan mengganggu KPK. Tapi, seperti disebut di atas, KPK, dengan keterbatasannya, dengan kelemahan dan kekurangannya, tidak mau terganggu. 

Dia fokus pada peran profetiknya untuk negeri dan bangsanya. Tak peduli dengan daun-daun, pohon, dan hutan, yang mengecoh perhatiannya. KPK fokus seperti kata Arjuna ketika ditanya, sang guru apa yang dilihatnya. Dia menjawab ringkas: ”leher burung itu guru”.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar