Presiden
SBY akan membuka Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO)
pada 3 Desember 2013 di Bali. Sementara itu, sebelumnya, Masyarakat
Agribisnis dan Agroindustri (MA) dalam pernyataannya pada 1 Desember
menolak dengan tegas liberalisasi pertanian WTO karena merugikan
kepentingan nasional.
Kegagalan
Indonesia sebagai negara agraris yang tidak mampu berswasembada pangan
sedikit banyak dipengaruhi oleh skema liberalisasi perdagangan WTO. WTO
telah terdistorsi sebagai alat kendali negara-negara maju, terutama Amerika
Serikat dan Uni Eropa, agar negara-negara berkembang tetap dalam kendali
pengaruh mereka.
Di
hampir semua negara berkembang, sebagian besar penduduknya menggantungkan
nasibnya di sektor pertanian. Kehidupan mereka akan semakin terancam
setelah negaranya meratifikasi liberalisasi pertanian seperti yang
direkomendasikan WTO. Produk pertanian mereka terusir dari pasar lokal oleh
produk pertanian impor dan semakin lebih bergantung pada impor. Ini
menggerus keamanan pangan mereka. Tidak terkecuali Indonesia.
Kita
pernah berusaha mengatasi persoalan ini bersama India, Mesir, Sri Lanka,
Uganda, Zimbabwe, dan El Salvador agar diberi fleksibilitas dalam
melaksanakan kewajiban WTO dengan tidak mengganggu keamanan pangan nasional
dan memberikan perlindungan ekonomi untuk masyarakat miskin.
Agreement
on Agriculture adalah masalah utama WTO karena negara maju memang tidak
memberikan tawaran baru kepada kelompok negara lain yang lebih kecil,
seperti G-33 dan G-90. Indonesia dan Filipina menjadi motor yang menolak
proposal negara-negara maju.
Sayangnya,
kita tidak konsisten. India dan Brasil menolak kebijakan pertanian WTO yang
mencelakakan petaninya melalui konferensi tingkat menteri di Cancun sepuluh
tahun yang lalu. Kita justru memperkenalkan program yang absurd, Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Ini turunan
dari kerangka penataan ulang geografis di wilayah-wilayah utama Asia
Tenggara.
Penataan
itu dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi-fungsi ekonomi dan
pembagian kerja antarwilayah, demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia.
Ini pada dasarnya turunan dari pemikiran ekonomi neoliberal.
MP3EI
semakin menguatkan struktur ekonomi kolonial yang sejak Indonesia merdeka
belum berubah. Di sini konsentrasi penguasaan tanah dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan pemegang lisensi perkebunan, kehutanan, pertambangan,
dan lainnya, serta hanya menempatkan rakyat Indonesia menjadi tenaga kerja.
MP3EI berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tapi tampak tidak berpengaruh
positif pada kesejahteraan rakyat.
Kita
mudah lupa oleh peristiwa penting masa lalu. Sebelum krisis moneter 1997
Indonesia mampu dengan cepat mengurangi jumlah orang miskin dan jumlah
rumah tangga yang rawan pangan (food insecurity). Antara kemiskinan
dan risiko rawan pangan berkorelasi erat dan positif karena di dalamnya
terkandung daya jangkau rumah tangga miskin terhadap pangan. Pada 1996,
menurut BPS, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan berkurang
menjadi 22,5 juta orang atau sekitar 11 persen dari penduduk Indonesia. Hal
itu lantaran ada kebijakan yang konsisten dalam ketahanan pangan.
Sebaliknya,
pada era pemerintahan SBY, sektor pertanian kurang mendapat perhatian.
Sepanjang 2012 saja impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran
lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi,
gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain
yang pada akhirnya hanya semakin mematikan pertanian Indonesia.
Proses
liberalisasi pertanian tampak sekali pada proses impor pangan. Pada
1990, saat Indonesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah
hanya sebesar 541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini
(Januari-Juli 2013), kita sudah mengimpor 1,1 juta ton atau senilai US$ 670
juta (Rp 6,7 triliun). Jika kita kaitkan dengan amanat UU Nomor 18 tentang
Pangan, pemerintah tampak mengingkari amanat undang-undang.
Juga,
sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan GDP kita dalam 10 tahun
terakhir memang tumbuh sekitar 3 kali lipat dan melahirkan jumlah kelas
menengah yang banyak. Namun pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sekitar 6
persen per tahun tidak digerakkan oleh sektor produksi, tapi lebih didorong
oleh sektor konsumtif.
Sektor
manufaktur sudah lama menurun. Demikian juga sektor pertanian. Inilah
masalah utama yang menyebabkan kita sangat bergantung pada impor. Ada yang
salah pada perencanaan pembangunan kita. Bila perencanaan pembangunan
dilakukan secara benar dengan mengutamakan kepentingan nasional, khususnya industri
pangan dan pertanian nasional, seharusnya Indonesia bisa melepaskan diri
dari ketergantungan impor.
Kita
harus menolak liberalisasi pertanian WTO yang mencelakakan ketahanan pangan
dan kepentingan nasional Indonesia. Kita harus membangun ketahanan pangan,
kemandirian, dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Untuk itu,
pemerintah, masyarakat, dan swasta nasional harus bekerja sama bahu-membahu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar