Kamis, 05 Desember 2013

Menolak Liberalisasi Pertanian

Menolak Liberalisasi Pertanian
Fadel Muhammad ;   Mantan Menteri
TEMPO.CO,  03 Desember 2013

  

Presiden SBY akan membuka Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) pada 3 Desember 2013 di Bali. Sementara itu, sebelumnya, Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri (MA) dalam pernyataannya pada 1 Desember menolak dengan tegas liberalisasi pertanian WTO karena merugikan kepentingan nasional.

Kegagalan Indonesia sebagai negara agraris yang tidak mampu berswasembada pangan sedikit banyak dipengaruhi oleh skema liberalisasi perdagangan WTO. WTO telah terdistorsi sebagai alat kendali negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, agar negara-negara berkembang tetap dalam kendali pengaruh mereka.

Di hampir semua negara berkembang, sebagian besar penduduknya menggantungkan nasibnya di sektor pertanian. Kehidupan mereka akan semakin terancam setelah negaranya meratifikasi liberalisasi pertanian seperti yang direkomendasikan WTO. Produk pertanian mereka terusir dari pasar lokal oleh produk pertanian impor dan semakin lebih bergantung pada impor. Ini menggerus keamanan pangan mereka. Tidak terkecuali Indonesia.

Kita pernah berusaha mengatasi persoalan ini bersama India, Mesir, Sri Lanka, Uganda, Zimbabwe, dan El Salvador agar diberi fleksibilitas dalam melaksanakan kewajiban WTO dengan tidak mengganggu keamanan pangan nasional dan memberikan perlindungan ekonomi untuk masyarakat miskin. 

Agreement on Agriculture adalah masalah utama WTO karena negara maju memang tidak memberikan tawaran baru kepada kelompok negara lain yang lebih kecil, seperti G-33 dan G-90. Indonesia dan Filipina menjadi motor yang menolak proposal negara-negara maju.

Sayangnya, kita tidak konsisten. India dan Brasil menolak kebijakan pertanian WTO yang mencelakakan petaninya melalui konferensi tingkat menteri di Cancun sepuluh tahun yang lalu. Kita justru memperkenalkan program yang absurd, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Ini turunan dari kerangka penataan ulang geografis di wilayah-wilayah utama Asia Tenggara.

Penataan itu dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi-fungsi ekonomi dan pembagian kerja antarwilayah, demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia. Ini pada dasarnya turunan dari pemikiran ekonomi neoliberal. 

MP3EI semakin menguatkan struktur ekonomi kolonial yang sejak Indonesia merdeka belum berubah. Di sini konsentrasi penguasaan tanah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan lainnya, serta hanya menempatkan rakyat Indonesia menjadi tenaga kerja. MP3EI berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tapi tampak tidak berpengaruh positif pada kesejahteraan rakyat. 

Kita mudah lupa oleh peristiwa penting masa lalu. Sebelum krisis moneter 1997 Indonesia mampu dengan cepat mengurangi jumlah orang miskin dan jumlah rumah tangga yang rawan pangan (food insecurity).  Antara kemiskinan dan risiko rawan pangan berkorelasi erat dan positif karena di dalamnya terkandung daya jangkau rumah tangga miskin terhadap pangan. Pada 1996, menurut BPS, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan berkurang menjadi 22,5 juta orang atau sekitar 11 persen dari penduduk Indonesia. Hal itu lantaran ada kebijakan yang konsisten dalam ketahanan pangan. 

Sebaliknya, pada era pemerintahan SBY, sektor pertanian kurang mendapat perhatian. Sepanjang 2012 saja impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain yang pada akhirnya hanya semakin mematikan pertanian Indonesia.

Proses liberalisasi pertanian tampak sekali pada  proses impor pangan. Pada 1990, saat Indonesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah hanya sebesar 541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini (Januari-Juli 2013), kita sudah mengimpor 1,1 juta ton atau senilai US$ 670 juta (Rp 6,7 triliun). Jika kita kaitkan dengan amanat UU Nomor 18 tentang Pangan, pemerintah tampak mengingkari amanat undang-undang.  

Juga, sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan GDP kita  dalam 10 tahun terakhir memang tumbuh sekitar 3 kali lipat dan melahirkan jumlah kelas menengah yang banyak. Namun pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sekitar 6 persen per tahun tidak digerakkan oleh sektor produksi, tapi lebih didorong oleh sektor konsumtif.

Sektor manufaktur sudah lama menurun. Demikian juga sektor pertanian.  Inilah masalah utama yang menyebabkan kita sangat bergantung pada impor. Ada yang salah pada perencanaan pembangunan kita. Bila perencanaan pembangunan dilakukan secara benar dengan mengutamakan kepentingan nasional, khususnya industri pangan dan pertanian nasional, seharusnya Indonesia bisa melepaskan diri dari ketergantungan impor.

Kita harus menolak liberalisasi pertanian WTO yang mencelakakan ketahanan pangan dan kepentingan nasional Indonesia. Kita harus membangun ketahanan pangan,  kemandirian, dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Untuk itu, pemerintah, masyarakat, dan swasta nasional harus bekerja sama bahu-membahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar