Foto Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi berkebaya hijau memegang
mikrofon, dilengkapi tulisan "Menkes RI: Dokter mogok? Saya bunuh Anda
pelan-pelan", beredar luas dari ponsel ke ponsel pada pekan lalu.
Sepertinya hal ini disengaja untuk memanaskan suasana menjelang aksi
solidaritas para dokter terhadap penahanan dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani.
Pernyataan
itu, menurut Nafsiah, ia ucapkan sebagai candaan jauh sebelum ada rencana
aksi mogok para dokter. Guyonan ini lalu menjadi kontroversi, terutama
menyangkut pantas-tidaknya pejabat publik bersikap slengekan dalam acara
resmi.
Pada
umumnya, masyarakat kita kurang sreg jika ada pejabat publik yang
menyelipkan guyonan agak berani seperti Nafsiah dalam pidatonya. Pernyataan
yang boleh jadi tidak diniatkan serius itu ditafsirkan sebagai ungkapan
terselubung. Belum lagi jika pernyataa itu dikutip oleh media konvensional
atau sosial tanpa menyertakan konteksnya.
Saking
tingginya tuntutan agar pejabat tidak cengengesan, sampai-sampai komedian
yang menjadi anggota parlemen agak kehilangan selera humornya. Padahal,
bisa jadi ia dipilih konstituennya karena kelucuannya.
Di
Amerika Serikat, pejabat publik yang menyelipkan guyonan dalam pidatonya
sebenarnya tidak asing. Bahkan, ada istilah Hari Guyonan Presiden setiap
Sabtu, ketika sang penguasa Gedung Putih biasanya menyelipkan candaan segar
di tengah pernyataan resminya. Barack Obama, ketika menjamu wartawan Istana
Kepresidenan, tiba-tiba nyeletuk, "Ada hal tersulit yang kita temukan
dan jauh lebih penting untuk menjaganya dibanding cinta sekalipun. Nah, itu
adalah akta cinta dan akta kelahiran."
Di
Indonesia, kita pernah punya presiden yang banyak menyelipkan humor dalam
berbagai acara resmi, yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Kata
"gitu aja kok repot" sering diucapkannya, yang biasa disambut
dengan senyum pendengarnya. Tapi tak jarang pernyataannya ditanggapi
negatif, misalnya ketika menyebut anggota DPR seperti siswa taman
kanak-kanak.
Kita
juga sudah tahu bahwa berbagai penelitian membuktikan humor bisa mengurangi
tingkat stres dan mencegah serangan jantung. Masyarakat kita sebenarnya
suka sekali bercanda. Acara lawakan seperti Srimulat, Bukan Empat Mata, dan
Opera van Java bisa bertahan bertahun-tahun dengan peringkat tinggi di
televisi. Tradisi lawakan bahkan sudah berakar di masyarakat kita sejak
abad kedelapan. Dalam beberapa prasasti berisi rangkaian peresmian perdikan
atau candi yang ditemukan di Jawa Tengah, dijumpai kata mabanyol, yang
berarti melawak.
Penceramah
agama lebih beruntung ketimbang pejabat. Kita bisa melihat dai kondang
Zainuddin M.Z. yang selalu menyelipkan humor segarnya di tengah-tengah
petuahnya tentang ajaran akidah. Atau si ustad asal Makassar, Muhammad Nur
Maulana, dengan gaya dan candaan khasnya. Bahkan metode ceramah model ini
dianggap lebih gampang masuk ke pikiran jemaah. Masalah keagamaan yang
berat bisa disimak karena candaan setidaknya bisa menghilangan kantuk dan
bosan.
Berbeda
jika kita mendengar pidato pejabat yang kaku, apalagi jika para petinggi
ini gemar bicara cukup panjang. Pendengar tidak bisa menangkap apa yang
dikatakan (atau mungkin enggan), meski berkali-kali bertepuk tangan. Karena
itu, kita harus melindungi hak cengengesan para pejabat, agar rapat,
sidang, konferensi bisa berjalan lebih santai, penuh tawa, dan yang dibicarakan
masuk ke benak pendengar. Tidak sekadar pura-pura serius, riuh tepukan, dan
setelah itu bubar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar