Kamis, 05 Desember 2013

Humor Pejabat

Humor Pejabat
Yudono Yanuar ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  03 Desember 2013

  

Foto Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi berkebaya hijau memegang mikrofon, dilengkapi tulisan "Menkes RI: Dokter mogok? Saya bunuh Anda pelan-pelan", beredar luas dari ponsel ke ponsel pada pekan lalu. Sepertinya hal ini disengaja untuk memanaskan suasana menjelang aksi solidaritas para dokter terhadap penahanan dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani.

Pernyataan itu, menurut Nafsiah, ia ucapkan sebagai candaan jauh sebelum ada rencana aksi mogok para dokter. Guyonan ini lalu menjadi kontroversi, terutama menyangkut pantas-tidaknya pejabat publik bersikap slengekan dalam acara resmi.

Pada umumnya, masyarakat kita kurang sreg jika ada pejabat publik yang menyelipkan guyonan agak berani seperti Nafsiah dalam pidatonya. Pernyataan yang boleh jadi tidak diniatkan serius itu ditafsirkan sebagai ungkapan terselubung. Belum lagi jika pernyataa itu dikutip oleh media konvensional atau sosial tanpa menyertakan konteksnya. 

Saking tingginya tuntutan agar pejabat tidak cengengesan, sampai-sampai komedian yang menjadi anggota parlemen agak kehilangan selera humornya. Padahal, bisa jadi ia dipilih konstituennya karena kelucuannya.

Di Amerika Serikat, pejabat publik yang menyelipkan guyonan dalam pidatonya sebenarnya tidak asing. Bahkan, ada istilah Hari Guyonan Presiden setiap Sabtu, ketika sang penguasa Gedung Putih biasanya menyelipkan candaan segar di tengah pernyataan resminya. Barack Obama, ketika menjamu wartawan Istana Kepresidenan, tiba-tiba nyeletuk, "Ada hal tersulit yang kita temukan dan jauh lebih penting untuk menjaganya dibanding cinta sekalipun. Nah, itu adalah akta cinta dan akta kelahiran."

Di Indonesia, kita pernah punya presiden yang banyak menyelipkan humor dalam berbagai acara resmi, yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Kata "gitu aja kok repot" sering diucapkannya, yang biasa disambut dengan senyum pendengarnya. Tapi tak jarang pernyataannya ditanggapi negatif, misalnya ketika menyebut anggota DPR seperti siswa taman kanak-kanak.

Kita juga sudah tahu bahwa berbagai penelitian membuktikan humor bisa mengurangi tingkat stres dan mencegah serangan jantung. Masyarakat kita sebenarnya suka sekali bercanda. Acara lawakan seperti Srimulat, Bukan Empat Mata, dan Opera van Java bisa bertahan bertahun-tahun dengan peringkat tinggi di televisi. Tradisi lawakan bahkan sudah berakar di masyarakat kita sejak abad kedelapan. Dalam beberapa prasasti berisi rangkaian peresmian perdikan atau candi yang ditemukan di Jawa Tengah, dijumpai kata mabanyol, yang berarti melawak.

Penceramah agama lebih beruntung ketimbang pejabat. Kita bisa melihat dai kondang Zainuddin M.Z. yang selalu menyelipkan humor segarnya di tengah-tengah petuahnya tentang ajaran akidah. Atau si ustad asal Makassar, Muhammad Nur Maulana, dengan gaya dan candaan khasnya. Bahkan metode ceramah model ini dianggap lebih gampang masuk ke pikiran jemaah. Masalah keagamaan yang berat bisa disimak karena candaan setidaknya bisa menghilangan kantuk dan bosan.

Berbeda jika kita mendengar pidato pejabat yang kaku, apalagi jika para petinggi ini gemar bicara cukup panjang. Pendengar tidak bisa menangkap apa yang dikatakan (atau mungkin enggan), meski berkali-kali bertepuk tangan. Karena itu, kita harus melindungi hak cengengesan para pejabat, agar rapat, sidang, konferensi bisa berjalan lebih santai, penuh tawa, dan yang dibicarakan masuk ke benak pendengar. Tidak sekadar pura-pura serius, riuh tepukan, dan setelah itu bubar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar