Konferensi
Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Kesembilan yang mengemas
proposal Paket Bali akhirnya membuahkan hasil kesepakatan yang dapat
diterima 159 delegasi anggota.
Sebelumnya, pertemuan General Council of WTO di Jenewa pada 26 November 2013 gagal
menghasilkan kesepakatan. Kesepakatan Bali
Package yang memuat tiga agenda, yakni trade facility, sektor pertanian, dan pembangunan negara-negara
kurang berkembang (Least Developed
Countries/LDCs), menjadi momentum bersejarah dalam perjalanan WTO sejak
didirikan pada 1995.
Selama ini sejumlah perundingan WTO gagal
menghasilkan kesepakatan karena adanya benturan kepentingan antarnegara
anggotanya. Seperti kita ketahui, pengambilan keputusan dalam WTO menganut
prinsip single undertaking approach,
yaitu konsensus hanya dapat dicapai jika disetujui semua negara anggota
tanpa terkecuali. Kesepakatan pada pertemuan WTO Bali kali ini menjadi
babak baru sejarah perdagangan dunia, khususnya ketika perdagangan global
dalam beberapa tahun ini relatif tertekan.
Perubahan struktur dan rantai pasok global
memerlukan pendekatan holistik untuk mendorong perdagangan serta meredam
perlambatan global yang terjadi beberapa tahun ini. Dengan disepakatinya
Paket Bali, perdagangan global diharapkan dapat bergairah kembali dan
mendorong percepatan pemulihan ekonomi. Paket Bali dengan tiga agenda
(fasilitas perdagangan-pertanian-pembangunan negara kurang berkembang)
diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia kepada WTO yang
selama ini dipandang hanya mengutamakan kepentingan negara maju.
Kesepakatan Paket Bali ini juga memberi ruang kesetaraan
dan semangat saling membantu antara negara-negara maju, berkembang, dan
kurang berkembang sehingga agenda pembangunan dunia berjalan dengan
kongruen. Kongruensi ini direfleksikan dari kesepakatan dalam memberi ruang
gerak kelompok G-33, khususnya disektor pertanian dan ketahanan pangan.
Kelompok G-33 (33 negara berkembang) yang
diketuai Indonesia memandang perlunya memperhatikan struktur, pola, dan
kapasitas perdagangan di negara-negara berkembang dan kurang berkembang,
khususnya terkait dengan isu ketahanan pangan. Paket Bali dengan tiga
agenda yang disepakati ini tentunya dipandang lebih realistis dibandingkan
19 agenda dalam Putaran Doha di Qatar tahun 2001.
Dari ketiga agenda Paket Bali yang disepakati,
perdagangan global diharapkan dapat berjalan dengan lebih sehat dan fair
sesuai dengan Doha Development Agenda (DDA), terutama terkait keseimbangan
pembangunan antarnegara anggota.
Berikut ini ketiga hasil kesepakatan yang
dicapai dalam pertemuan WTO Bali, khususnya terkait dengan agenda
pembangunan di Indonesia. Pertama, negara-negara berkembang dan kurang
berkembang memperoleh manfaat yang besar dengan hasil negosiasi trade
facility yang baru pertama kali dilakukan sepanjang perjalanan WTO. Dengan
kesepakatan ini, negara-negara berkembang/kurang berkembang memiliki
kesempatan yang besar untuk memperluas akses bebas barang/jasa sehingga
dapat mendorong kapasitas perdagangan masing-masing.
Selain itu, dengan disepakatinya keinginan
untuk mereduksi berbagai hambatan perdagangan, negara-negara berkembang/kurang
berkembang dapat meningkatkan kapabilitas, sistem dan prosedur perdagangan
di negara masing-masing. Kesepakatan pada pengurangan hambatan perdagangan
ini juga menekankan prinsip ”nondiskriminasi” untuk mendorong sistem
perdagangan dunia yang berkeadilan dan proporsional. Kesepakatan dalam trade facility ini sangat memberi
ruang yang besar bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk
memperluas pasar dan mendorong ekspornya ke negara-negara maju.
Kedua, pada poin kesepakatan sektor pertanian
khususnya terkait ketahanan pangan, Paket Bali memberi keleluasaan bagi
negara-negara berkembang, khususnya negara dengan populasi besar seperti
Indonesia dan India, untuk memberikan subsidi kepada petaninya dan menjamin
ketersediaan pangan bagi kelompok miskin. Agenda ini sangat penting
mengingat volatilitas harga bahan pangan dunia terus meningkat beberapa
tahun terakhir.
Kesepakatan pada sektor pertanian dan
ketahanan pangan ini juga menekankan perlunya kesepakatan terkait special products (SPs) dan special
safeguards mechanism (SSM) yang memungkinkan sejumlah negara berkembang
untuk melindungi dan memperhitungkan kebutuhan domestiknya.
Keleluasaan memberikan subsidi sektor
pertanian hingga empat tahun ke depan dan memastikan jaminan stok pangan
domestik ini akan menguntungkan negara-negara berkembang/kurang berkembang,
khususnya Indonesia, untuk memacu produktivitas serta mendorong kedaulatan
pangan nasional.
Dengan demikian, dalam empat tahun ke depan,
negara-negara berkembang/kurang berkembang tidak diwajibkan mengacu pada
pengaturan besaran harga acuan pokok produk pertanian sesuai dengan agreement on agriculture (AoA) tahun
1994 di Uruguay tentang mekanisme pemberian subsidi pertanian bagi negara
maju dan berkembang.
Ketiga, hasil kesepakatan Paket Bali juga
mendorong untuk memberikan perhatian lebih bagi negara-negara kurang
berkembang baik dalam hal akses pasar maupun bantuan lain. Paket Bali telah
menghadirkan legitimasi WTO dan kembalinya kepercayaan publik dunia dengan
berfungsinya sistem perdagangan multilateral yang sehat, adil, dan dapat
memberikan kepastian bagi perekonomian global.
Agenda pengentasan masyarakat dari kemiskinan
dan pembangunan daerah tertinggal di negara berkembang/ kurang berkembang
disepakati menjadi perhatian khusus dalam kesepakatan Bali untuk menopang Sustainable Development Goals (SDG’s).
Kesepakatan Paket Bali ini juga memperkuat paket untuk negaranegara kurang
berkembang (Least Developed
Countries’s Package) di mana dorongan mengurangi hambatan perdagangan
dilakukan bersamaan dengan capacity
building.
Paket ini termasuk memberi kesempatan dagang
dan ruang fleksibilitas yang besar bagi negara kurang berkembang untuk
meningkatkan kapasitasnya dalam memenuhi target-target WTO. Mekanisme
pemantauan yang berlaku berbeda dan khusus (special and difference) yang memuat berbagai tipe fleksibilitas
bagi negara berkembang dan negara miskin (LDC) juga memberikan hak khusus
bagi negara berkembang dalam sistem perdagangan global.
Kesepakatan Paket Bali kali ini diyakini akan
menstimulasi permintaan global serta mendorong peningkatan volume
perdagangan global guna memacu pertumbuhan global. Nilai perdagangan
pasca-kesepakatan Bali diperkirakan akan mencapai USD1 triliun atau
Rp12.000 triliun dengan potensi perluasan kesempatan kerja mencapai 20 juta
orang yang sebagian besar diperkirakan banyak dinikmati negara berkembang,
termasuk Indonesia.
Dengan tercapainya kesepakatan pada pertemuan
WTO kesembilan di Bali, sinyal perbaikan keseimbangan perdagangan global di
masa mendatang akan semakin kuat. Di samping itu, Paket Bali yang
disepakati juga menjadi pesan semakin menguatnya posisi tawar Indonesia
sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT tingkat menteri kali ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar