Dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2014 yang telah disetujui dan disahkan pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rak yat (DPR) pada 25 Oktober 2013, dana optimalisasi
kembali muncul dengan jumlah sebesar Rp 27 triliun. Dibandingkan dana
optimalisasi 2013 sebesar Rp 11,8 triliun, dana optimalisasi 2014 jauh lebih
besar atau naik sebesar Rp 15,2 triliun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) mengingatkan agar dana optimalisasi itu diamankan dan digunakan untuk
kepentingan rakyat.
Presiden juga berpesan, "Pastikan
penggunaannya benar, administrasinya benar dan sesuai dengan prioritas dan
agenda kita. Kita tidak ingin terus terjadi atau terjadi lagi masalah, baik
yang menimpa para pejabat jajaran pemerintah ataupun sahabat-sahabat kita
di parlemen" (Republika Online, 14/11). Pesan itu harus menjadi
perhatian semua pihak untuk benar-benar serius menjaga dana yang cukup
besar itu tidak dikorupsi atau menjadi masalah hukum di kemudian hari.
Sejumlah kalangan pesimistis
mengenai efektivitas dana optimalisasi tersebut dan bahkan menyinyalir dana
tersebut jadi rebutan para politisi/anggota DPR yang bertugas di Badan
Anggaran (Banggar) atau di komisi-komisi DPR. Dari pengalaman APBN
tahun-tahun sebelumnya, dana optimalisasi rawan dimanipulasi dan menjadi
masalah hukum karena penyimpangan (fraud)
atau penyalahgunaan kewenangan (abuse) terkait prosedur pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan dana dimaksud.
Beberapa kasus yang berhubungan
dengan dana optimalisasi APBN yang mencuat ke publik antara lain kasus korupsi
dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang melibatkan mantan anggota
DPR/Banggar, Wa Ode Nurhayati, kasus proyek pengadaan Alquran di
Kementerian Agama yang melibatkan mantan anggota DPR/Banggar, Zulkarnain
Djabbar, dan kasus Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang melibatkan
mantan anggota DPR/Banggar, M Nazaruddin dan Angelina Patricia Pinkan
Sondakh.
Terbongkarnya kasus-kasus
korupsi di beberapa kementerian/lembaga (K/L) yang melibatkan oknum pejabat
K/L dan anggota DPR/Banggar membuktikan bahwa dana optimalisasi sangat rawan
penyimpangan maupun penyalahgunaan, yang akhirnya menyeret para pejabat
terkait masuk penjara. Untuk itu, beberapa pihak mendesak agar Presiden SBY
memblokir atau tidak merealisasikan dana optimalisasi di APBN 2014 yang
rawan jadi ajang bancakan partai politik menjelang pemilihan umum (pemilu)
legislatif dan pemilu presiden pada 2014.
Pemblokiran terhadap dana optimalisasi
yang sudah dialokasikan kepada K/L pernah dilakukan pada tahun anggaran
2012, yaitu terhadap dana untuk membiayai program modernisasi alat utama
sistem pertahanan (alutsista) di Kementerian Pertahanan. Pada awalnya,
pemblokiran yang dilakukan menimbulkan berbagai kontroversi antara pemerintah
dan DPR, namun akhirnya bisa diselesaikan demi mencegah timbulnya kondisi
yang lebih buruk (moral hazard).
Dalam mekanisme pembahasan
anggaran antara pemerintah dan DPR (komisi-komisi dan Banggar DPR) masih
banyak kemungkinan munculnya peluang terjadinya pola tawar-menawar atau transaksional.
Rapat-rapat pembahasan antara komisi terkait di DPR dengan K/L mitra kerja
atau K/L dengan panitia kerja (panja) Banggar yang dilakukan secara
tertutup dan tidak transparan ditengarai menjadi sisi gelap pembahasan
anggaran yang ujung-ujungnya memunculkan adanya makelar proyek, calo
anggaran, atau mafia anggaran.
Prosedur penganggaran dana optimalisasi
dalam APBN dinilai tidak sesuai dengan mekanisme pembahasan anggaran yang
ada. Oleh sebab itu, digunakan istilah diskresi di kalangan anggota Banggar,
yang mengacu pada wewe nang khusus atas penggunaan dana optimalisasi.
Dana optimalisasi semestinya
tidak diperlukan kalau perencanaan pemerintah dalam rencana kerja
pemerintah (RKP) dalam pengajuan rancangan APBN benar-benar matang. Dengan
demikian, Banggar tidak lagi punya peluang mengutak-atik target penerimaan
negara yang kemudian dinaikkan atau pagu belanja negara dikurangi, untuk
memperoleh dana lebih yang bisa dimanfaatkan sebagai dana optimalisasi. Dari
dana temuan ini kemudian Banggar mengklaim peruntukan dana tersebut
sepenuhnya menjadi hak Banggar.
Untuk mencegah dana tersebut
tidak dikorupsi, disalahgunakan atau dijadikan ajang bancakan untuk
berbagai kepentingan partai politik pada tahun 2014, dari awal diperlukan
audit dana optimalisasi. Untuk itu, Menteri Keuangan Chatib Basri telah
meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit
perencanaan dan penganggaran dana optimalisasi.
Namun, lebih tepat jika Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kinerja terhadap proses pembahasan
anggaran dana optimalisasi di DPR.
BPK dituntut untuk lebih proaktif dan progresif dalam melaksanakan tugasnya
melakukan audit pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Dana
optimalisasi tidak hanya perlu dilakukan audit keuangan pada tahap
realisasi anggaran saja, melainkan perlu dilakukan audit kinerja oleh BPK
terhadap proses pembahasan dan penganggarannya di DPR sejak awal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar