Rabu, 11 Desember 2013

Mengontrol Dana Optimalisasi

Mengontrol Dana Optimalisasi
Abdul Gofar  ;   Dosen Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Jakarta 
REPUBLIKA,  09 Desember 2013

  

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 yang telah disetujui dan disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rak yat (DPR) pada 25 Oktober 2013, dana optimalisasi kembali muncul dengan jumlah sebesar Rp 27 triliun. Dibandingkan dana optimalisasi 2013 sebesar Rp 11,8 triliun, dana optimalisasi 2014 jauh lebih besar atau naik sebesar Rp 15,2 triliun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengingatkan agar dana optimalisasi itu diamankan dan digunakan untuk kepentingan rakyat.

Presiden juga berpesan, "Pastikan penggunaannya benar, administrasinya benar dan sesuai dengan prioritas dan agenda kita. Kita tidak ingin terus terjadi atau terjadi lagi masalah, baik yang menimpa para pejabat jajaran pemerintah ataupun sahabat-sahabat kita di parlemen" (Republika Online, 14/11). Pesan itu harus menjadi perhatian semua pihak untuk benar-benar serius menjaga dana yang cukup besar itu tidak dikorupsi atau menjadi masalah hukum di kemudian hari.

Sejumlah kalangan pesimistis mengenai efektivitas dana optimalisasi tersebut dan bahkan menyinyalir dana tersebut jadi rebutan para politisi/anggota DPR yang bertugas di Badan Anggaran (Banggar) atau di komisi-komisi DPR. Dari pengalaman APBN tahun-tahun sebelumnya, dana optimalisasi rawan dimanipulasi dan menjadi masalah hukum karena penyimpangan (fraud) atau penyalahgunaan kewenangan (abuse) terkait prosedur pengalokasian, penyaluran, dan penggunaan dana dimaksud.

Beberapa kasus yang berhubungan dengan dana optimalisasi APBN yang mencuat ke publik antara lain kasus korupsi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang melibatkan mantan anggota DPR/Banggar, Wa Ode Nurhayati, kasus proyek pengadaan Alquran di Kementerian Agama yang melibatkan mantan anggota DPR/Banggar, Zulkarnain Djabbar, dan kasus Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang melibatkan mantan anggota DPR/Banggar, M Nazaruddin dan Angelina Patricia Pinkan Sondakh.

Terbongkarnya kasus-kasus korupsi di beberapa kementerian/lembaga (K/L) yang melibatkan oknum pejabat K/L dan anggota DPR/Banggar membuktikan bahwa dana optimalisasi sangat rawan penyimpangan maupun penyalahgunaan, yang akhirnya menyeret para pejabat terkait masuk penjara. Untuk itu, beberapa pihak mendesak agar Presiden SBY memblokir atau tidak merealisasikan dana optimalisasi di APBN 2014 yang rawan jadi ajang bancakan partai politik menjelang pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilu presiden pada 2014.

Pemblokiran terhadap dana optimalisasi yang sudah dialokasikan kepada K/L pernah dilakukan pada tahun anggaran 2012, yaitu terhadap dana untuk membiayai program modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) di Kementerian Pertahanan. Pada awalnya, pemblokiran yang dilakukan menimbulkan berbagai kontroversi antara pemerintah dan DPR, namun akhirnya bisa diselesaikan demi mencegah timbulnya kondisi yang lebih buruk (moral hazard).

Dalam mekanisme pembahasan anggaran antara pemerintah dan DPR (komisi-komisi dan Banggar DPR) masih banyak kemungkinan munculnya peluang terjadinya pola tawar-menawar atau transaksional. Rapat-rapat pembahasan antara komisi terkait di DPR dengan K/L mitra kerja atau K/L dengan panitia kerja (panja) Banggar yang dilakukan secara tertutup dan tidak transparan ditengarai menjadi sisi gelap pembahasan anggaran yang ujung-ujungnya memunculkan adanya makelar proyek, calo anggaran, atau mafia anggaran. 

Prosedur penganggaran dana optimalisasi dalam APBN dinilai tidak sesuai dengan mekanisme pembahasan anggaran yang ada. Oleh sebab itu, digunakan istilah diskresi di kalangan anggota Banggar, yang mengacu pada wewe nang khusus atas penggunaan dana optimalisasi. 

Dana optimalisasi semestinya tidak diperlukan kalau perencanaan pemerintah dalam rencana kerja pemerintah (RKP) dalam pengajuan rancangan APBN benar-benar matang. Dengan demikian, Banggar tidak lagi punya peluang mengutak-atik target penerimaan negara yang kemudian dinaikkan atau pagu belanja negara dikurangi, untuk memperoleh dana lebih yang bisa dimanfaatkan sebagai dana optimalisasi. Dari dana temuan ini kemudian Banggar mengklaim peruntukan dana tersebut sepenuhnya menjadi hak Banggar.

Untuk mencegah dana tersebut tidak dikorupsi, disalahgunakan atau dijadikan ajang bancakan untuk berbagai kepentingan partai politik pada tahun 2014, dari awal diperlukan audit dana optimalisasi. Untuk itu, Menteri Keuangan Chatib Basri telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit perencanaan dan penganggaran dana optimalisasi.

Namun, lebih tepat jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kinerja terhadap proses pembahasan anggaran dana optimalisasi di DPR.
BPK dituntut untuk lebih proaktif dan progresif dalam melaksanakan tugasnya melakukan audit pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Dana optimalisasi tidak hanya perlu dilakukan audit keuangan pada tahap realisasi anggaran saja, melainkan perlu dilakukan audit kinerja oleh BPK terhadap proses pembahasan dan penganggarannya di DPR sejak awal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar