Rabu, 11 Desember 2013

Kebangkitan Indonesia

Kebangkitan Indonesia
Pradana Boy ZTF  ;   Dosen Universitas Muhammadiyah Malang;
Kandidat Doktor di National University of Singapore (NUS)
REPUBLIKA,  10 Desember 2013

  

Tahun 2013 segera meninggalkan kita. Ragam rasa me nyelimuti seluruh komponen bangsa Indonesia dalam meninggalkannya dan menyambut tahun 2014. Di sana-sini terdapat pesimisme tentang masa depan bangsa, akibat krisis multidimensi yang tak kunjung berakhir. Namun, terdapat pula suara-suara optimisme menghadapi perubahan tahun. Kedua kekuatan itu selalu berjalan beriringan, karena begitulah hakikat perjalanan hidup kemanusiaan. Anehnya, suara-suara optimisme itu justru terdengar dari luar dan bukan dari komponen bangsa Indonesia sendiri.

Adalah sebuah buku berjudul Indonesia Rising : The Repositioning of Asia's Third Giant (2012) yang menggelorakan optimisme itu. Buku itu berargumen bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar. Secara demografis, maupun dari aspek kekayaan sumber alam, kebesaran Indonesia tidak bisa dimungkiri. Karena potensi ini, seharusnya In donesia mam pu menjadi negara yang memiliki daya saing kompetitif pada tingkat global. 

Namun, apakah potensi ini telah sepenuhnya digunakan? Apakah Indonesia memang benar-benar tidak memiliki daya saing? Diperlukan kehati-hatian da lam menjawab pertanyaan besar ini.

Dalam Human Development Index 2012, Indonesia berada pada peringkat 121. Indonesia berada dalam kategori medium human development bersama dengan nega ra anggota ASEAN lainnya seperti Thailand (103), Filipina (114), Vietnam (127), Kamboja (134), dan Laos (149). Peringkat ini jauh tertinggal dari Singapura (18), Brunei Darussalam (30), dan Malaysia (64) yang berada pada kategori high human development. Fakta ini tentu saja mencengangkan, tetapi sekaligus harus menjadi bahan evaluasi bagi proses peningkatan daya saing Indonesia di tingkat global. Pada level individual, sulit memungkiri bahwa putra-putri Indonesia pada dasarnya memiliki kemampuan yang mumpuni.

Hal itu bisa dibuktikan, misalnya, dengan kiprah warga negara Indonesia di berbagai lapangan pekerjaan di dunia internasional. Kenyataan ini bisa dibaca sebagai kemampuan persaingan Indonesia di kancah global, dan sekaligus sumbangan Indonesia terhadap negara-negara yang dalam konteks Human Development Index di atas berada dalam kategori high human development atau bahkan very high human development.

Persoalannya, potensi-potensi itu bersifat individual, berserak dan tak terhimpun. Akibatnya, sebagai sebuah bangsa, Indonesia kelihatan memiliki daya saing lemah karena belum berhasil menghimpun potensi tersebut. Maka, ter dapat setidaknya dua metode yang bisa ditempuh untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Pertama, mengusahakan apa yang sering diistilahkan sebagai brain rain, yakni arus balik warga negara Indonesia yang berkarier pada pusat-pusat keunggulan dunia. Mengusahakan hal ini memang tidak mudah. Perlu disadari bahwa pilihan warga negara Indonesia yang berdaya kompetisi tinggi itu untuk aktif di luar negeri didasarkan pada sejumlah pilihan rasional. Pada posisi pertama tentu alasan kesejahteraan. Alasan lainnya adalah berkaitan dengan fasilitas. 

Dalam hal ini, maka mengusahakan brain rain, yakni menarik potensi-potensi anak bangsa yang berserak itu ke pangkuan Ibu Pertiwi bisa dilakukan dengan setidaknya terlebih dahulu memperbaiki dua kelemahan tadi. Pengalaman India dan Taiwan adalah dua contoh yang sangat baik. Kedua negara ini pernah mengalami masa brain drain, kekurangan sumber daya manusia yang akut, akibat mutasi warga negara mereka ke berbagai negara. 

Menyadari hal demikian, maka pemerintah kedua negara melakukan penataan sistem dan infrastruktur sehingga potensi-potensi berserak itu bisa dihadirkan dan bersama-sama membangun daya kompetisi bangsa. Saat ini, India muncul sebagai salah satu pemain yang sangat diperhitungkan dalam konteks penyedia jasa informasi teknologi. Sedangkan, Taiwan melesat menjadi pemain yang sangat diperhitungkan dalam industri elektronika. Metode ini memang tidak mudah. Tetapi dengan kemauan dan kerja keras yang sistematis, persoalan ini akan bisa diatasi.

Kedua, mengusahakan tumbuhnya potensi-potensi baru melalui investasi pendidikan. Pendidikan merupakan investasi paling abadi. Menyediakan biaya pendidikan bagi anak-anak bangsa berkemampuan tinggi tetapi memiliki hambatan dalam akses finansial merupakan langkah yang strategis, meskipun terlihat sebagai sesuatu yang konvensional. 

Pengalaman Malaysia bisa menjadi contoh. Pada dua atau tiga dasawarsa lalu, Indonesia menjadi salah satu tujuan studi warga Malaysia, di samping negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Tetapi, kini arus berbalik.

Jumlah warga negara Malaysia yang belajar di Indonesia semakin sedikit, sebaliknya terjadi lonjakan yang luar biasa pelajar Indonesia yang menuntut ilmu ke Malaysia. Ini sekali lagi membuktikan bahwa investasi pendidikan dan sumber daya manusia, adalah investasi jangka panjang dan abadi yang sangat menggiurkan.

Kedua metode ini bisa ditempuh secara simultan maupun secara bergantian tergantung kepada situasi dan kondisi psikologis, material, sistem, dan kebangsaan kita. Jika keduanya bisa dilakukan secara simultan, tentu percepatan peningkatan daya saing bangsa Indonesia bukan lagi mimpi. Jika pun harus dilakukan pilihan, maka secara prioritas, menempuh pilihan kedua tentu lebih realistis untuk dilakukan.

Inilah yang sedang kita saksikan dalam ranah kebijakan kebangsaan di negara kita. Sehingga, sejumlah lembaga pemerintah berlomba melakukan investasi sumber daya manusia demi kemajuan bangsa. Ini menjadi pertanda bahwa peningkatan daya saing bangsa menjadi tanggung jawab bersama. Jika demikian, maka, sekali lagi, langkah besar telah dimulai hari ini untuk sesuatu yang jauh lebih besar di masa-masa yang akan datang.

Dalam mengakhiri tahun 2013 dan sekaligus menyambut tahun 2014 ini, membangun optimisme masa depan bangsa tentu menjadi hal tak terhindarkan. Dari optimisme inilah maka kebangkitan bangsa tidak lagi menjadi utopia dan angan-angan, tetapi akan benar-benar menjelma sebagai realita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar