Tahun 2013 segera meninggalkan
kita. Ragam rasa me nyelimuti seluruh komponen bangsa Indonesia dalam
meninggalkannya dan menyambut tahun 2014. Di sana-sini terdapat pesimisme
tentang masa depan bangsa, akibat krisis multidimensi yang tak kunjung
berakhir. Namun, terdapat pula suara-suara optimisme menghadapi perubahan
tahun. Kedua kekuatan itu selalu berjalan beriringan, karena begitulah
hakikat perjalanan hidup kemanusiaan. Anehnya, suara-suara optimisme itu
justru terdengar dari luar dan bukan dari komponen bangsa Indonesia
sendiri.
Adalah sebuah buku berjudul Indonesia Rising : The Repositioning of
Asia's Third Giant (2012) yang menggelorakan optimisme itu. Buku itu
berargumen bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar. Secara
demografis, maupun dari aspek kekayaan sumber alam, kebesaran Indonesia
tidak bisa dimungkiri. Karena potensi ini, seharusnya In donesia mam pu
menjadi negara yang memiliki daya saing kompetitif pada tingkat
global.
Namun, apakah potensi ini telah
sepenuhnya digunakan? Apakah Indonesia memang benar-benar tidak memiliki daya
saing? Diperlukan kehati-hatian da lam menjawab pertanyaan besar ini.
Dalam Human Development Index 2012, Indonesia berada pada peringkat
121. Indonesia berada dalam kategori medium
human development bersama dengan nega ra anggota ASEAN lainnya seperti
Thailand (103), Filipina (114), Vietnam (127), Kamboja (134), dan Laos
(149). Peringkat ini jauh tertinggal dari Singapura (18), Brunei Darussalam
(30), dan Malaysia (64) yang berada pada kategori high human development. Fakta
ini tentu saja mencengangkan, tetapi sekaligus harus menjadi bahan evaluasi
bagi proses peningkatan daya saing Indonesia di tingkat global. Pada level
individual, sulit memungkiri bahwa putra-putri Indonesia pada dasarnya
memiliki kemampuan yang mumpuni.
Hal itu bisa dibuktikan,
misalnya, dengan kiprah warga negara Indonesia di berbagai lapangan
pekerjaan di dunia internasional. Kenyataan ini bisa dibaca sebagai
kemampuan persaingan Indonesia di kancah global, dan sekaligus sumbangan
Indonesia terhadap negara-negara yang dalam konteks Human Development Index
di atas berada dalam kategori high
human development atau bahkan very high human development.
Persoalannya, potensi-potensi
itu bersifat individual, berserak dan tak terhimpun. Akibatnya, sebagai
sebuah bangsa, Indonesia kelihatan memiliki daya saing lemah karena belum
berhasil menghimpun potensi tersebut. Maka, ter dapat setidaknya dua metode
yang bisa ditempuh untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai sebuah
bangsa.
Pertama, mengusahakan apa yang
sering diistilahkan sebagai brain
rain, yakni arus balik warga negara Indonesia yang berkarier pada
pusat-pusat keunggulan dunia. Mengusahakan hal ini memang tidak mudah.
Perlu disadari bahwa pilihan warga negara Indonesia yang berdaya kompetisi
tinggi itu untuk aktif di luar negeri didasarkan pada sejumlah pilihan
rasional. Pada posisi pertama tentu alasan kesejahteraan. Alasan lainnya
adalah berkaitan dengan fasilitas.
Dalam hal ini, maka mengusahakan
brain rain, yakni menarik
potensi-potensi anak bangsa yang berserak itu ke pangkuan Ibu Pertiwi bisa dilakukan
dengan setidaknya terlebih dahulu memperbaiki dua kelemahan tadi. Pengalaman
India dan Taiwan adalah dua contoh yang sangat baik. Kedua negara ini
pernah mengalami masa brain drain,
kekurangan sumber daya manusia yang akut, akibat mutasi warga negara mereka
ke berbagai negara.
Menyadari hal demikian, maka
pemerintah kedua negara melakukan penataan sistem dan infrastruktur sehingga
potensi-potensi berserak itu bisa dihadirkan dan bersama-sama membangun
daya kompetisi bangsa. Saat ini, India muncul sebagai salah satu pemain
yang sangat diperhitungkan dalam konteks penyedia jasa informasi teknologi.
Sedangkan, Taiwan melesat menjadi pemain yang sangat diperhitungkan dalam industri
elektronika. Metode ini memang tidak mudah. Tetapi dengan kemauan dan kerja
keras yang sistematis, persoalan ini akan bisa diatasi.
Kedua, mengusahakan tumbuhnya
potensi-potensi baru melalui investasi pendidikan. Pendidikan merupakan investasi
paling abadi. Menyediakan biaya pendidikan bagi anak-anak bangsa berkemampuan
tinggi tetapi memiliki hambatan dalam akses finansial merupakan langkah
yang strategis, meskipun terlihat sebagai sesuatu yang konvensional.
Pengalaman Malaysia bisa menjadi
contoh. Pada dua atau tiga dasawarsa lalu, Indonesia menjadi salah satu tujuan
studi warga Malaysia, di samping negara-negara maju seperti Inggris dan
Amerika. Tetapi, kini arus berbalik.
Jumlah warga negara Malaysia yang belajar di Indonesia semakin sedikit, sebaliknya
terjadi lonjakan yang luar biasa pelajar Indonesia yang menuntut ilmu ke Malaysia.
Ini sekali lagi membuktikan bahwa investasi pendidikan dan sumber daya
manusia, adalah investasi jangka panjang dan abadi yang sangat
menggiurkan.
Kedua metode ini bisa ditempuh secara simultan maupun secara bergantian
tergantung kepada situasi dan kondisi psikologis, material, sistem, dan
kebangsaan kita. Jika keduanya bisa dilakukan secara simultan, tentu
percepatan peningkatan daya saing bangsa Indonesia bukan lagi mimpi. Jika
pun harus dilakukan pilihan, maka secara prioritas, menempuh pilihan kedua
tentu lebih realistis untuk dilakukan.
Inilah yang sedang kita saksikan
dalam ranah kebijakan kebangsaan di negara kita. Sehingga, sejumlah lembaga
pemerintah berlomba melakukan investasi sumber daya manusia demi kemajuan
bangsa. Ini menjadi pertanda bahwa peningkatan daya saing bangsa menjadi
tanggung jawab bersama. Jika demikian, maka, sekali lagi, langkah besar
telah dimulai hari ini untuk sesuatu yang jauh lebih besar di masa-masa
yang akan datang.
Dalam mengakhiri tahun 2013 dan
sekaligus menyambut tahun 2014 ini, membangun optimisme masa depan bangsa
tentu menjadi hal tak terhindarkan. Dari optimisme inilah maka kebangkitan bangsa
tidak lagi menjadi utopia dan angan-angan, tetapi akan benar-benar menjelma
sebagai realita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar