Nama Mulyana W Kusumah cukup dikenal di publik Indonesia,
terutama di kalangan yang bersinggungan dan bekerja dengan isu-isu
demokrasi, hak asasi manusia, hak si miskin, pemilu bersih dan accountable,
gerakan mahasiswa, serta gerakan rakyat.
Mulyana sebenarnya seorang kriminolog. Namun, lini kerja dan
komitmen hidupnya membawanya pada pusaran politik Indonesia.
Sosok yang banyak dikenal di kalangan
aktivis sebagai Mas Mul, Kang Mul, atau Bang Mulyana memang mulia hatinya.
Tentu dia jauh dari sempurna sebagai manusia.
Namun, banyak orang akan bersaksi Mulyana
sosok yang solider terhadap teman, rendah hati, dan tinggi budi. Kepergiannya
meninggalkan tempat yang sulit diisi orang lain karena Mulyana memang sosok
yang unik.
Pengenalan saya dengan sosok Mas Mul bisa
dikatakan dimulai sejak saya SMA (1985-1988). Sosoknya saya kenal lewat
pembicaraan para aktivis pers, aktivis mahasiswa yang kerap mampir ke rumah
orang tua saya di Jakarta karena memang kakak saya seorang aktivis juga.
Saya menjadi “kader kupin” soal banyak hal termasuk sosok Mulyana W
Kusumah.
Kantor Mulyana di Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), sudah kerap dijadikan titik temu para aktivis
karena memang selain strategis di Jalan Diponegoro, Menteng, juga karena
Mulyana membuka kantornya pada siapa saja yang datang.
Plus Mulyana adalah sosok dermawan terhadap
banyak aktivis yang terkadang ongkos pulang pun tidak ada. Jadi, soal
pelanggaran hak petani dan strategi advokasi, soal tahanan politik, hingga
soal makan siang dan ongkos pulang, tiba di meja kerja Mulyana.
Setelah saya masuk kampus UGM, saya mengenal
Mulyana lebih dekat. Selain dia beberapa kali dalam setahun ke Yogyakarta,
mungkin dia melihat kinerja LBH Yogyakarta dan bertemu teman-teman pro
demokrasi di kota gudeg ini.
Perlu diingat, saya mengacu pada periode
saya semakin mengenal Mulyana dan kerja-kerjanya saat menjadi mahasiswa pada
1988-1991, ketika rezim Orde Baru sangat berkuasa dan paradigma Dwi Fungsi
ABRI dipercaya seperti agama di Republik Indonesia. Tidak boleh ditolak,
tidak boleh diserang jika ingin selamat.
Dalam kalangan aktivis, hal ini jelas-jelas
menunjukkan Indonesia menjadi negara fasis saat itu. Saat liburan
semester tahunan dan kembali ke Jakarta, saya sempatkan mengunjungi YLBHI
dan bersua dengan sosok kurus, berambut gondrong yang saya suka, saya
kritik karena merokoknya yang tak kunjung padam.
Ada suatu peristiwa yang harus ditulis
sebelum terlupakan dalam ingatan. Apalagi setelah wafatnya kawan Mulyana.
Penulisan peristiwa ini menjadi seperti utang yang harus dilunasi. Mulyana
yang lembut perangainya namun berkomitmen baja untuk Indonesia yang lebih
baik, lebih pro rakyat, lebih demokratis, dan bukan sekadar tempelan, telah
bersolidaritas pada diri saya pada saat kritis.
Saya ingin orang tahu siapa Mulyana W
Kusumah. Ini kewajiban saya menuliskan pengalaman saya sehingga semoga
orang-orang lain bisa semakin mendalami kemanusiaan Mulyana yang telah
teruji.
Bulan November 1991, saya pernah mengalamai
rasa setia kawan Mulyana. Saat itu saya bisa dikatakan persona non grata,
dicari intel negara sampai ke indekos saya di Yogyakarta.
Hingga bapak indekos dan teman-teman sempat
bingung dan dengan taktis menjawab pertanyaan intel yang juga kemudian
akhirnya membawa surat penangkapan untuk saya. Untung saja saya sudah tidak
lagi tidur dan menempati kamar saya di sana.
Hal ini terjadi akhir 1990-awal 1991.
Situasi ini membuat saya harus “tengkurap” bahkan bersembunyi, mengambil
cuti kuliah. Dari cuti satu semester menjadi dua semester, dan belum juga
ada kepastiaan tentang apakah saya bisa kembali normal kuliah di kampus
layaknya mahasiswa lain. Orang tua saya belum tahu keadaan saya saat itu.
Hingga pada ahirnya beberapa teman
berpendapat saya harus “diungsikan” dari Tanah Air karena ada kasus
kalender Tanah Untuk Rakyat (TUR). Pendek kata setelah bersembunyi di
berbagai tempat dan kota, namun tak kunjung juga ada kepastian apakah saya
masih dicari? Apakah jika saya tertangkap akan juga mengarah pada
ditangkapya teman-teman lain, mind you it was a facist regime we’re in.
Memang beberapa tahun kemudian pada 1998
terbukti banyaknya aktivis yang diculik dan hilang oleh tentara, sebelumnya
lagi masih lekat di ingatan kasus Petrus. Banyak orang ditembak mati tanpa
proses pengadilan dan mayatnya di temukan di sungai. Kisah saya ini tidak
bisa dilepaskan dari konteks negeri Indonesia saat itu.
Pada November 1991 saya sudah bulatkan tekad
untuk “mengungsi” dan sudah memberi tahu orang tua saya rencana “cabut”
ini. Namun, bagaimana caranya? Banyak teman lain di Bandung yang juga
membantu saya dalam proses sembunyi dan menunggu visa.
Ada almarhum Bambang Hari yang setia
membesuk, ada kawan Boy yang selalu optimistis, ada kawan Oji yang sabar
mendengarkan celotehan saya, dan tentunya kawan Dudy yang dengan senyum
lebarnya selalu menerima, mengurus saya di rumahnya saat itu.
Setelah pihak negara tujuan mengeluarkan
visa dan saya tahu sekilas apa yang mungkin bisa saya lakukan di sana,
diaturlah proses meninggalkan Indonesia tanpa terlacak pihak keamanan.
Singkat kata, dua kawan yang mengiringi saya
terbang bahkan sempat tertawa saat kami menang arisan di udara dan saya
mendapatkan tiket Simpati pp gratis, kami tahu saya tidak memerlukan tiket
pulang tersebut. Entah siapa yang akhirnya menggunakan tiket kemenangan
arisan di udara tersebut, apakah Hendardi atau Mulyana W Kusumah?
Benar, Mulyana dan Hendardi yang mengawal
saya meninggalkan Tanah Air, mengantar saya hingga gerbang negeri
orang lain. Dari Jakarta, naik pesawat, menginap di pulau dan kemudian
mencari sarana transportasi menyeberang pulau dan mengamati dari jauh,
memastikan saya aman berhasil melakukan cross border tanpa dicurigai imigrasi
karena memang saat itu system computerized checking passport control belum
digunakan penuh di pulau tersebut. Hendardi saat itu selain bekerja di
YLBHI di bawah kepemimpinan Mulyana, juga sahabat karib Mulyana.
Bisa saja, saat itu Mulyana menugaskan
Hendardi mengantar dan menjaga saya. Tanpa mengurangi hormat dan terima
kasih saya pada Hendardi. Namun, Mulyana memutuskan ikut langsung dalam
proses “mengungsi” dan memastikan saya lolos dari passport control di
imigrasi sehingga bisa meneruskan ke negeri tujuan “mengungsi”.
Saya ingat bagaimana raut wajah orang tua
saya terlihat lebih tenang saat melihat ada dua orang yang “mengawal”
putrinya melakukan crossing dan kedua orang ini bukanlah orang sembarangan,
kedua orang ini sudah memiliki track record dalam kerja-kerja pro demokrasi
di Indonesia saat itu.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu dan
saya sudah kembali dari “pengungsian atau pelarian” kembali ke Tanah Air.
Status persona nongrata saya terbenam hiruk pikuk banyak kasus-kasus
aktivis lain yang semakin marak, karena semakin banyak juga aktivis yang
secara terbuka menyerang rezim Orde Baru dan sudah semakin banyak yang
dipenjarakan. Kembali saya bertemu dengan sosok Mulyana.
Saat itu saya bekerja di INFID, forum
payung bagi banyak LSM yang bekerja dan kritis terhadap model pembangunan
yang diterapkan orde baru yang banyak merugikan rakyat, seperti kasus
tanah, kasus buruh, kasus kebebasan berorganisasi, dan berserikat. Mulyana
biasanya datang ke pertemuan berkala INFID yang dinamakan Forum Indonesia
setiap enam bulan. Ini di luar saat tambahan yang diperlukan sesuai situasi
sosial-politik saat itu. Juga ada konferensi.
Bisa dibilang Mulyana selalu mencoba
memberikan waktu dan pikirannya dengan serius dalam forum-forum ini.
Bahkan, ada yang pernah komentar Mulyana kelihatannya lebih memberikan
waktu dan energinya kepada organisasi dibandingkan situasi keluarganya.
Saya ingat bagaimana Mulyana sempat exit
dari atas atap genteng guna menghindari kelompok intelijen yang mencoba
menangkapnya. Sekali lagi, ini semua diungkapkan agar masyarakat tahu siapa
Mulyana.
Salah satu kegiatan yang kemudian
mengantar dibentuknya Komite Independen Pemantauan Pemilu (KIPP) merupakan
titik temu saya dan Mulyana. Saat itu kerap saya bercanda dalam bahasa
belanda “Kip zonder Kop” saat KIPP terbentuk. Lewat pertemuan, sebuah
diskusi diputuskan untuk membentuk KIPP dan hal ini kemudian dilakoni Mulyana
dengan serius dan perihal pemilu pernah juga mengantarnya menjadi anggota
KPU.
Mulyana manusia
penuh warna walau acap kali pakaian yang dikenakannya berwarna gelap. Selamat
jalan Mul dan terima kasih untuk segala perkawanan nan teruji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar