Jumat, 06 Desember 2013

Mengenal Mulyana W Kusumah

Mengenal Mulyana W Kusumah
Maria Pakpahan  ;   Wartawan
SINAR HARAPAN,  03 Desember 2013

  

Nama Mulyana W Kusumah cukup dikenal di publik Indonesia, terutama di kalangan yang bersinggungan dan bekerja dengan isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, hak si miskin, pemilu bersih dan accountable, gerakan mahasiswa, serta gerakan rakyat.

Mulyana sebenarnya seorang kriminolog. Namun, lini kerja dan komitmen hidupnya membawanya pada pusaran politik Indonesia.

Sosok yang banyak dikenal di kalangan aktivis sebagai Mas Mul, Kang Mul, atau Bang Mulyana memang mulia hatinya. Tentu dia jauh dari sempurna sebagai manusia.

Namun, banyak orang akan bersaksi Mulyana sosok yang solider terhadap teman, rendah hati, dan tinggi budi. Kepergiannya meninggalkan tempat yang sulit diisi orang lain karena Mulyana memang sosok yang unik.

Pengenalan saya dengan sosok Mas Mul bisa dikatakan dimulai sejak saya SMA (1985-1988). Sosoknya saya kenal lewat pembicaraan para aktivis pers, aktivis mahasiswa yang kerap mampir ke rumah orang tua saya di Jakarta karena memang kakak saya seorang aktivis juga. Saya menjadi “kader kupin” soal banyak hal termasuk sosok Mulyana W Kusumah.

Kantor Mulyana di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sudah kerap dijadikan titik temu para aktivis karena memang selain strategis di Jalan Diponegoro, Menteng, juga karena Mulyana membuka kantornya pada siapa saja yang datang.

Plus Mulyana adalah sosok dermawan terhadap banyak aktivis yang terkadang ongkos pulang pun tidak ada. Jadi, soal pelanggaran hak petani dan strategi advokasi, soal tahanan politik, hingga soal makan siang dan ongkos pulang, tiba di meja kerja Mulyana.

Setelah saya masuk kampus UGM, saya mengenal Mulyana lebih dekat. Selain dia beberapa kali dalam setahun ke Yogyakarta, mungkin dia melihat kinerja LBH Yogyakarta dan bertemu teman-teman pro demokrasi di kota gudeg ini.

Perlu diingat, saya mengacu pada periode saya semakin mengenal Mulyana dan kerja-kerjanya saat menjadi mahasiswa pada 1988-1991, ketika rezim Orde Baru sangat berkuasa dan paradigma Dwi Fungsi ABRI dipercaya seperti agama di Republik Indonesia. Tidak boleh ditolak, tidak boleh diserang jika ingin selamat.

Dalam kalangan aktivis, hal ini jelas-jelas menunjukkan Indonesia menjadi negara fasis saat itu. Saat liburan semester tahunan dan kembali ke Jakarta, saya sempatkan mengunjungi YLBHI dan bersua dengan sosok kurus, berambut gondrong yang saya suka, saya kritik karena merokoknya yang tak kunjung padam.

Ada suatu peristiwa yang harus ditulis sebelum terlupakan dalam ingatan. Apalagi setelah wafatnya kawan Mulyana. Penulisan peristiwa ini menjadi seperti utang yang harus dilunasi. Mulyana yang lembut perangainya namun berkomitmen baja untuk Indonesia yang lebih baik, lebih pro rakyat, lebih demokratis, dan bukan sekadar tempelan, telah bersolidaritas pada diri saya pada saat kritis.

Saya ingin orang tahu siapa Mulyana W Kusumah. Ini kewajiban saya menuliskan pengalaman saya sehingga semoga orang-orang lain bisa semakin mendalami kemanusiaan Mulyana yang telah teruji.

Bulan November 1991, saya pernah mengalamai rasa setia kawan Mulyana. Saat itu saya bisa dikatakan persona non grata, dicari intel negara sampai ke indekos saya di Yogyakarta.

Hingga bapak indekos dan teman-teman sempat bingung dan dengan taktis menjawab pertanyaan intel yang juga kemudian akhirnya membawa surat penangkapan untuk saya. Untung saja saya sudah tidak lagi tidur dan menempati kamar saya di sana.

Hal ini terjadi akhir 1990-awal 1991. Situasi ini membuat saya harus “tengkurap” bahkan bersembunyi, mengambil cuti kuliah. Dari cuti satu semester menjadi dua semester, dan belum juga ada kepastiaan tentang apakah saya bisa kembali normal kuliah di kampus layaknya mahasiswa lain. Orang tua saya belum tahu keadaan saya saat itu.

Hingga pada ahirnya beberapa teman berpendapat saya harus “diungsikan” dari Tanah Air karena ada kasus kalender Tanah Untuk Rakyat (TUR). Pendek kata setelah bersembunyi di berbagai tempat dan kota, namun tak kunjung juga ada kepastian apakah saya masih dicari? Apakah jika saya tertangkap akan juga mengarah pada ditangkapya teman-teman lain, mind you it was a facist regime we’re in.

Memang beberapa tahun kemudian pada 1998 terbukti banyaknya aktivis yang diculik dan hilang oleh tentara, sebelumnya lagi masih lekat di ingatan kasus Petrus. Banyak orang ditembak mati tanpa proses pengadilan dan mayatnya di temukan di sungai. Kisah saya ini tidak bisa dilepaskan dari konteks negeri Indonesia saat itu.

Pada November 1991 saya sudah bulatkan tekad untuk “mengungsi” dan sudah memberi tahu orang tua saya rencana “cabut” ini. Namun, bagaimana caranya? Banyak teman lain di Bandung yang juga membantu saya dalam proses sembunyi dan menunggu visa.

Ada almarhum Bambang Hari yang setia membesuk, ada kawan Boy yang selalu optimistis, ada kawan Oji yang sabar mendengarkan celotehan saya, dan tentunya kawan Dudy yang dengan senyum lebarnya selalu menerima, mengurus saya di rumahnya saat itu.

Setelah pihak negara tujuan mengeluarkan visa dan saya tahu sekilas apa yang mungkin bisa saya lakukan di sana, diaturlah proses meninggalkan Indonesia tanpa terlacak pihak keamanan.

Singkat kata, dua kawan yang mengiringi saya terbang bahkan sempat tertawa saat kami menang arisan di udara dan saya mendapatkan tiket Simpati pp gratis, kami tahu saya tidak memerlukan tiket pulang tersebut. Entah siapa yang akhirnya menggunakan tiket kemenangan arisan di udara tersebut, apakah Hendardi atau Mulyana W Kusumah?

Benar, Mulyana dan Hendardi yang mengawal saya meninggalkan Tanah Air, mengantar saya hingga gerbang negeri orang lain. Dari Jakarta, naik pesawat, menginap di pulau dan kemudian mencari sarana transportasi menyeberang pulau dan mengamati dari jauh, memastikan saya aman berhasil melakukan cross border tanpa dicurigai imigrasi karena memang saat itu system computerized checking passport control belum digunakan penuh di pulau tersebut. Hendardi saat itu selain bekerja di YLBHI di bawah kepemimpinan Mulyana, juga sahabat karib Mulyana.

Bisa saja, saat itu Mulyana menugaskan Hendardi mengantar dan menjaga saya. Tanpa mengurangi hormat dan terima kasih saya pada Hendardi. Namun, Mulyana memutuskan ikut langsung dalam proses “mengungsi” dan memastikan saya lolos dari passport control di imigrasi sehingga bisa meneruskan ke negeri tujuan “mengungsi”.

Saya ingat bagaimana raut wajah orang tua saya terlihat lebih tenang saat melihat ada dua orang yang “mengawal” putrinya melakukan crossing dan kedua orang ini bukanlah orang sembarangan, kedua orang ini sudah memiliki track record dalam kerja-kerja pro demokrasi di Indonesia saat itu.

Beberapa tahun setelah peristiwa itu dan saya sudah kembali dari “pengungsian atau pelarian” kembali ke Tanah Air. Status persona nongrata saya terbenam hiruk pikuk banyak kasus-kasus aktivis lain yang semakin marak, karena semakin banyak juga aktivis yang secara terbuka menyerang rezim Orde Baru dan sudah semakin banyak yang dipenjarakan. Kembali saya bertemu dengan sosok Mulyana.

Saat itu saya bekerja di INFID, forum payung bagi banyak LSM yang bekerja dan kritis terhadap model pembangunan yang diterapkan orde baru yang banyak merugikan rakyat, seperti kasus tanah, kasus buruh, kasus kebebasan berorganisasi, dan berserikat. Mulyana biasanya datang ke pertemuan berkala INFID yang dinamakan Forum Indonesia setiap enam bulan. Ini di luar saat tambahan yang diperlukan sesuai situasi sosial-politik saat itu. Juga ada konferensi.

Bisa dibilang Mulyana selalu mencoba memberikan waktu dan pikirannya dengan serius dalam forum-forum ini. Bahkan, ada yang pernah komentar Mulyana kelihatannya lebih memberikan waktu dan energinya kepada organisasi dibandingkan situasi keluarganya.

Saya ingat bagaimana Mulyana sempat exit dari atas atap genteng guna menghindari kelompok intelijen yang mencoba menangkapnya. Sekali lagi, ini semua diungkapkan agar masyarakat tahu siapa Mulyana.

Salah satu kegiatan yang kemudian mengantar dibentuknya Komite Independen Pemantauan Pemilu (KIPP) merupakan titik temu saya dan Mulyana. Saat itu kerap saya bercanda dalam bahasa belanda “Kip zonder Kop” saat KIPP terbentuk. Lewat pertemuan, sebuah diskusi diputuskan untuk membentuk KIPP dan hal ini kemudian dilakoni Mulyana dengan serius dan perihal pemilu pernah juga mengantarnya menjadi anggota KPU.

Mulyana manusia penuh warna walau acap kali pakaian yang dikenakannya berwarna gelap. Selamat jalan Mul dan terima kasih untuk segala perkawanan nan teruji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar