“Banyak keluhan bahwa WTO
timpang, selalu menguntungkan negara maju.”
Pemerintah seluruh dunia bersiap mengikuti Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 3-6
Desember 2013 di Bali.
Ada tiga debat di meja negosiasi saat ini. Pertama
mengenai fasilitasi perdagangan. Kedua tentang pertanian. Terakhir adalah
isu pembangunan negara-negara kurang berkembang (LDCs). Ketiganya mengancam
kredibilitas WTO karena rezim perdagangan ini mati suri sejak 2005.
Batu sandungan di WTO dari waktu ke waktu sebenarnya
klasik, perbedaan kepentingan negara maju dan negara (miskin dan)
berkembang. Satu hal yang pasti, banyak keluhan bahwa WTO timpang, selalu
menguntungkan negara maju.
Bukti konkret? Agenda Pembangunan Doha—efektif berlaku
pada 2001—seharusnya menjadi agenda pemberdayaan untuk pembangunan
negara-negara miskin juga negara-negara yang ingin tinggal landas.
Hasilnya? Nihil. Semua usulan dari negara-negara selatan
selalu ditolak, ditawar, dikurangi. Resultan dari itu semua, negosiasi
buntu.
Hal yang sama terjadi pada Paket Bali, alias ketiga
negosiasi “baru” di atas. Fasilitasi perdagangan misalnya. Istilah ini
bukan berarti peningkatan dan fasilitas perdagangan internasional atau
keleluasaan negara miskin dan berkembang berdagang ke pasar negara maju.
Poin-poin negosiasi di lini ini ternyata lebih
menekankan pada penyederhanaan modalitas perbatasan agar ekspor negara maju
lebih gampang tembus. Negosiasi ini meniadakan kepentingan negara
berkembang, seperti pembangunan kapasitas di pelabuhan, jaringan pemasaran,
atau cara menggalakkan perdagangan antarwilayah.
Selanjutnya, pertanyaan besar untuk implementasi
fasilitas perdagangan adalah, apakah negara miskin dan berkembang anggota
WTO akan mampu melaksanakan perombakan besar di pelabuhan dan bea cukai
mereka? Ditilik dari asal-muasal, proposal ini ternyata memang berasal dari
negara maju.
Intinya, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan
beberapa anggota Uni Eropa (UE) ingin akses lebih untuk produk-produk
mereka. Ekonomi mereka masih terimbas krisis finansial. Ke mana lagi
melempar barang kalau bukan ke negara miskin dan berkembang?
Negara kita dengan potensi pasar dua ratusan juta jelas
jadi sasaran empuk. Jika kita setuju, pasar Indonesia akan kembali jadi
bulan-bulanan impor. Usaha dalam negeri kita terancam tak atraktif karena
bakal dihajar barang murah.
Isu LDCs (atau lebih tepatnya perdagangan bebas untuk
barang bebas cukai negara kurang berkembang), hampir tak menuai perdebatan.
Isu pertanian selalu menjadi batu sandungan perundingan WTO.
Pada Konferensi Tingkat Menteri ke-9 ini pun demikian.
Permasalahan yang paling mengemuka adalah mengenai subsidi. Negara
berkembang dalam G-33 mengusulkan penghapusan pembatasan subsidi pertanian
bagi negara berkembang, untuk kepentingan public stock holding demi
ketahanan pangan.
Intinya, demi ketahanan pangan negara macam Indonesia
boleh menaikkan subsidi hingga 10-15 persen. Usulan ini dimulai India, yang
secara nasional mengesahkan Undang-Undang Pangan baru untuk melindungi
petani dan sektor pertanian mereka.
Harga domestik pun bisa disubsidi, jadi petani tak usah
khawatir gagal panen
karena hama atau pengaruh musim. Lagi-lagi usulan ini
digebuk negara maju, terutama AS. Menurut mereka, usulan subsidi ini
bertentangan dengan naskah Agreement on Agriculture (AoA) Pasal 6.
Jika tetap mau subsidi, negara-negara harus bersepakat
merombak AoA yang mengisyaratkan negosiasi berjalan mundur. Padahal,
subsidi adalah kepentingan terbesar negara berkembang yang ingin melindungi
petani, daerah pedesaan, dan sektor pertanian mereka.
Negara maju tak seharusnya mengangkangi kedaulatan
negara lain. Dengan memblokade usulan ini, negara maju juga terlihat
hipokrit. Pada praktiknya, negara-negara macam AS dan UE adalah mereka yang
menggelontorkan subsidi terbesar untuk pertanian domestik.
Subsidi pertanian pemerintah federal AS setiap tahun
tercatat sekitar US$ 100 miliar (Rp 1.200 triliun). UE rata-rata menorehkan
angka sekitar 55 miliar euro per tahun (Rp 888,64 triliun). Mari kita
bandingkan dengan Indonesia, anggaran subsidi pertanian di APBN 2013 hanya
Rp 143 triliun.
Inilah yang menyebabkan produk pertanian AS dan UE bisa
berjaya. Di pasar negara miskin dan berkembang, produk-produk ini bisa
jauh lebih murah harganya dibanding produk lokal. Lalu, bagaimana petani
negara miskin dan berkembang bisa bersaing—atau bahkan untuk bertahan
hidup?
Di babak akhir negosiasi menuju Bali, negara maju
menawarkan peace clause, pertukaran antara fasilitasi perdagangan dan
pertanian. Usulan subsidi bisa berlaku selama empat tahun, asalkan
fasilitasi perdagangan berlaku penuh dan mengikat secara hukum. Nilai
sendiri saja bagaimana bodohnya jika kita setuju.
Untungnya, negara berkembang yang dimotori India, saat
ini masih bertahan. Indonesia juga demikian. Penting untuk disadari,
kepentingan nasional seharusnya menjadi modal terdepan untuk negosiasi.
India bersikap jelas, kebijakan domestik tak bisa diintervensi bahkan oleh
WTO—dan untuk itu subsidi harus tetap jalan.
Negara kita sudah lama tak bersikap demikian dalam WTO sehingga
pertanian dan industri kita babak belur. Tidak hanya karena perdagangan
bebas multilateral ala WTO, tapi juga bilateral macam perjanjian perdagangan
bebas dengan China, Australia, Selandia baru, Korea, serta Jepang.
Sudah saatnya kita berdiri tegak dan melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan
umum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar