Jumat, 06 Desember 2013

Mengawasi Korupsi BUMN Menjelang Pemilu 2014

Mengawasi Korupsi BUMN Menjelang Pemilu 2014
Agust Riewanto  ;   Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA,  04 Desember 2013

  

BARU-BARU ini sejumlah kalangan mengajukan uji materi (judicial review) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UUD 1945. Mereka berpendapat perlunya pemisahan pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN) dari keuangan negara. Upaya uji materi UU tersebut patut dicurigai. Boleh jadi upaya itu merupakan trik hukum dari sejumlah elite politik untuk menggalang dana-dana strategis BUMN guna pembiayaan kampanye menjelang Pemilu 2014.

Kecurigaan itu menjadi sangat beralasan mengingat sistem pemilu proporsional yang dianut dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk Pemilu 2014 mengadopsi model calon terbuka berdasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut, dan telah mendorong Pemilu 2014 mendatang dengan sistem pemilu yang didesain untuk menguatkan model kompetisi liberal antarcalon anggota legislatif (caleg) dalam satu partai ataupun beda partai. Sistem pemilu liberal itu berbiaya mahal. Bukan hanya karena syarat transaksional antara caleg dan pemilih, melainkan juga karena budaya materialisme dan politik praktis telah mendarah daging dalam jagat demokrasi kita pascadiadopsinya sistem pemilu langsung. Hanya caleg dan parpol yang memiliki dana segar yang tak terbataslah yang dapat ‘membeli’ suara rakyat dan memenangi kompetisi dalam Pemilu 2014.

Upaya hukum uji materi UU No 17/2003 untuk memisahkan pengelolaan dana BUMN dari keuangan negara ke MK oleh sejumlah kalangan sangatlah berbahaya, apalagi jika dikabulkan MK. Bahaya terbesarnya ialah jika suatu saat terjadi kasus korupsi yang melibatkan BUMN, KPK tidak dapat melakukan penyidikan. Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 20 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi), yang dapat dilakukan KPK ialah bila memenuhi salah satu unsur tindak pidana, yaitu `menimbulkan kerugian keuangan negara' yang bersumber dari APBN. Jika pengelolaan BUMN telah dilepaskan dari negara, itu sama artinya dengan milik swasta yang sepak terjangnya ditentukan pemilik saham dan tak lagi dapat dikontrol negara.

Bahaya berikutnya jika MK mengabulkan pemisahan pengelolaan keuangan BUMN dari keuangan negara ialah semua keuangan negara yang dibentuk dengan UU dan telah dinyatakan bahwa kekayaannya adalah aset negara yang dipisahkan, seperti di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan di SKK Migas dengan sendirinya, itu bukan lagi merupakan bagian dari keuangan negara. Demikian pula terhadap lembaga-lembaga negara yang sumber keuangannya bukan dari APBN, seperti BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) juga bukan bagian dari keuangan negara.

Bahaya liberalisasi BUMN

Itu artinya uji materi untuk memisahkan keuangan negara di BUMN merupakan cara lain yang ingin secara terang dan nyata meliberalisasikan sistem ekonomi Indonesia yang jelas bertentangan dengan gagasan dasar Pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan konsep ekonomi Pancasila berbasis kekeluargaan dan gotong royong.

Jika uji materi UU No 17/2003 untuk pemisahan keuangan negara di BUMN dikabulkan MK, sudah pasti aset dan keuntungan negara di BUMN tak dapat dinikmati dan didistribusikan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dan hanya akan menguntungkan pengelolanya, serta dipastikan mengalir dengan deras ke kantong-kantong elite politik terutama partai politik (parpol) penguasa atau partai-partai yang berhasil menempatkan kaderkader mereka di level direksi BUMN. Dipastikan, negara tak dapat mengontrol laju keluar-masuknya keuangan BUMN karena sudah masuk di ranah rapat umum pemegang saham (RUPS) sebagai konsekuensi perusahaan perseroan terbatas (PT) swasta murni.

Padahal, jamak diketahui, dengan pengelolaan BUMN yang tidak disahkan seperti saat ini saja, perjalanan keuangan negara dalam BUMN tak sehat dan sarat korupsi.

Lihatlah faktanya, di antara 104 BUMN yang pernah diaudit dalam kurun waktu 2005-2011, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan setidaknya 24 kasus korupsi di BUMN dan berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp4,9 triliun dan US$305 juta. Untuk semester I 2013, dari pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada 21 objek pemeriksaan di BUMN, BPK menemukan 510 kasus dengan potensi kerugian negara Rp2,6 triliun (Kompas, 18 November 2013).

Liberalisasi negara

Bisa dibayangkan bagaimana jika pengelolaan keuangan BUMN dipisahkan dari keuangan negara hanya berdasar dalih agar BUMN dapat bersaing dengan perusahaan swasta dan peran negara dalam mengontrol dan mengaudit absen di sana, betapa makin gawat lagi keuangan negara. Dipastikan, negara akan menuju kebangkrutan secara sistemis karena porsi negara menjadi kecil dan melemah dalam sistem tersebut. Itu berarti kita tak berdaya terhadap serangan pasar bebas yang menempatkan peran negara berhenti di level regulator.

Mungkin jika dilihat dari aspek konsep negara liberal, menihilkan peran negara dalam aspek ekonomi dapat diterima akal sehat dalam rangka memperkuat persaingan individu warga negara. Dengan demikian, rakyat dan warga negara dituntut untuk mampu berkompetisi secara bebas, hanya mereka yang mampu menguasai dan menundukkan pasar merekalah yang akan eksis dan dapat hidup makmur.

RI bukan negara liberal

Sementara itu, di tengah suasana rakyat kita yang pendidikannya belum merata, sehingga menghasilkan model kompetisi yang tak seimbang, yang diperlukan ialah kuatnya peran negara dalam semua aspek kehidupan terutama aspek ekonomi. Di sini negara bukan hanya berhenti di level regulator, melainkan juga berperan dalam mendistribusikan sumber-sumber kekayaan negara kepada rakyat secara merata agar terjadi keseimbangan persaingan antarkelas dalam masyarakat.

Jika dibaca, risalah bapak bangsa dalam mempersiapkan konstitusi di tubuh BPUPKI dalam menyusun Pasal 33 UUD 1945 asli, tampaklah bahwa cita-cita tentang peran negara dalam soal pengelolaan sumber-sumber ekonomi adalah kebersamaan dan gotong royong. Itu mengajarkan bahwa peran negara memang tidak besar, tetapi tidak pula menghilang. Jadi peran negara dalam mimpi Indonesia di masa depan adalah bandul antara statetism dan etatism.

Namun ketika Pasal 33 UUD 1945 diamendemen pada 2000-2002, kita harus menghadapi kenyataan bahwa peran negara dalam soal ekonomi kian dipinggirkan. Karena itu, uji materi UU No 17/2003 ke MK merupakan medan uji bagi penjaga konstitusi, apakah akan berpihak pada ekonomi liberal atau ekonomi kekeluargaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar