BARU-BARU ini
sejumlah kalangan mengajukan uji materi (judicial review) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ke
Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UUD 1945. Mereka berpendapat perlunya
pemisahan pengelolaan badan usaha milik negara (BUMN) dari keuangan negara.
Upaya uji materi UU tersebut patut dicurigai. Boleh jadi upaya itu
merupakan trik hukum dari sejumlah elite politik untuk menggalang dana-dana
strategis BUMN guna pembiayaan kampanye menjelang Pemilu 2014.
Kecurigaan itu
menjadi sangat beralasan mengingat sistem pemilu proporsional yang dianut
dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk
Pemilu 2014 mengadopsi model calon terbuka berdasarkan suara terbanyak,
bukan nomor urut, dan telah mendorong Pemilu 2014 mendatang dengan sistem
pemilu yang didesain untuk menguatkan model kompetisi liberal antarcalon
anggota legislatif (caleg) dalam satu partai ataupun beda partai. Sistem
pemilu liberal itu berbiaya mahal. Bukan hanya karena syarat transaksional
antara caleg dan pemilih, melainkan juga karena budaya materialisme dan
politik praktis telah mendarah daging dalam jagat demokrasi kita
pascadiadopsinya sistem pemilu langsung. Hanya caleg dan parpol yang
memiliki dana segar yang tak terbataslah yang dapat ‘membeli’ suara rakyat
dan memenangi kompetisi dalam Pemilu 2014.
Upaya hukum uji
materi UU No 17/2003 untuk memisahkan pengelolaan dana BUMN dari keuangan
negara ke MK oleh sejumlah kalangan sangatlah berbahaya, apalagi jika
dikabulkan MK. Bahaya terbesarnya ialah jika suatu saat terjadi kasus
korupsi yang melibatkan BUMN, KPK tidak dapat melakukan penyidikan. Berdasarkan
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 20 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi), yang
dapat dilakukan KPK ialah bila memenuhi salah satu unsur tindak pidana,
yaitu `menimbulkan kerugian keuangan negara' yang bersumber dari APBN. Jika
pengelolaan BUMN telah dilepaskan dari negara, itu sama artinya dengan
milik swasta yang sepak terjangnya ditentukan pemilik saham dan tak lagi
dapat dikontrol negara.
Bahaya berikutnya
jika MK mengabulkan pemisahan pengelolaan keuangan BUMN dari keuangan
negara ialah semua keuangan negara yang dibentuk dengan UU dan telah
dinyatakan bahwa kekayaannya adalah aset negara yang dipisahkan, seperti di
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan di SKK Migas dengan sendirinya, itu
bukan lagi merupakan bagian dari keuangan negara. Demikian pula terhadap
lembaga-lembaga negara yang sumber keuangannya bukan dari APBN, seperti BI,
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
juga bukan bagian dari keuangan negara.
Bahaya liberalisasi BUMN
Itu artinya uji
materi untuk memisahkan keuangan negara di BUMN merupakan cara lain yang
ingin secara terang dan nyata meliberalisasikan sistem ekonomi Indonesia
yang jelas bertentangan dengan gagasan dasar Pasal 33 UUD 1945 yang
menempatkan konsep ekonomi Pancasila berbasis kekeluargaan dan gotong
royong.
Jika uji materi UU
No 17/2003 untuk pemisahan keuangan negara di BUMN dikabulkan MK, sudah
pasti aset dan keuntungan negara di BUMN tak dapat dinikmati dan didistribusikan
untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dan hanya akan menguntungkan
pengelolanya, serta dipastikan mengalir dengan deras ke kantong-kantong
elite politik terutama partai politik (parpol) penguasa atau partai-partai
yang berhasil menempatkan kaderkader mereka di level direksi BUMN. Dipastikan,
negara tak dapat mengontrol laju keluar-masuknya keuangan BUMN karena sudah
masuk di ranah rapat umum pemegang saham (RUPS) sebagai konsekuensi
perusahaan perseroan terbatas (PT) swasta murni.
Padahal, jamak diketahui,
dengan pengelolaan BUMN yang tidak disahkan seperti saat ini saja,
perjalanan keuangan negara dalam BUMN tak sehat dan sarat korupsi.
Lihatlah faktanya,
di antara 104 BUMN yang pernah diaudit dalam kurun waktu 2005-2011, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan setidaknya 24 kasus korupsi di BUMN dan
berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp4,9 triliun dan US$305 juta.
Untuk semester I 2013, dari pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada 21
objek pemeriksaan di BUMN, BPK menemukan 510 kasus dengan potensi kerugian
negara Rp2,6 triliun (Kompas, 18 November 2013).
Liberalisasi negara
Bisa dibayangkan bagaimana jika
pengelolaan keuangan BUMN dipisahkan dari keuangan negara hanya berdasar
dalih agar BUMN dapat bersaing dengan perusahaan swasta dan peran negara
dalam mengontrol dan mengaudit absen di sana, betapa makin gawat lagi keuangan
negara. Dipastikan, negara akan menuju kebangkrutan secara sistemis karena
porsi negara menjadi kecil dan melemah dalam sistem tersebut. Itu berarti
kita tak berdaya terhadap serangan pasar bebas yang menempatkan peran negara berhenti
di level regulator.
Mungkin jika dilihat
dari aspek konsep negara liberal, menihilkan peran negara dalam aspek
ekonomi dapat diterima akal sehat dalam rangka memperkuat persaingan
individu warga negara. Dengan demikian, rakyat dan warga negara dituntut
untuk mampu berkompetisi secara bebas, hanya mereka yang mampu menguasai
dan menundukkan pasar merekalah yang akan eksis dan dapat hidup makmur.
RI bukan negara liberal
Sementara itu, di
tengah suasana rakyat kita yang pendidikannya belum merata, sehingga
menghasilkan model kompetisi yang tak seimbang, yang diperlukan ialah
kuatnya peran negara dalam semua aspek kehidupan terutama aspek ekonomi. Di
sini negara bukan hanya berhenti di level regulator, melainkan juga
berperan dalam mendistribusikan sumber-sumber kekayaan negara kepada rakyat
secara merata agar terjadi keseimbangan persaingan antarkelas dalam
masyarakat.
Jika dibaca, risalah
bapak bangsa dalam mempersiapkan konstitusi di tubuh BPUPKI dalam menyusun
Pasal 33 UUD 1945 asli, tampaklah bahwa cita-cita tentang peran negara
dalam soal pengelolaan sumber-sumber ekonomi adalah kebersamaan dan gotong
royong. Itu mengajarkan bahwa peran negara memang tidak besar, tetapi tidak
pula menghilang. Jadi peran negara dalam mimpi Indonesia di masa depan
adalah bandul antara statetism dan etatism.
Namun ketika Pasal
33 UUD 1945 diamendemen pada 2000-2002, kita harus menghadapi kenyataan
bahwa peran negara dalam soal ekonomi kian dipinggirkan. Karena itu, uji
materi UU No 17/2003 ke MK merupakan medan uji bagi penjaga konstitusi,
apakah akan berpihak pada ekonomi liberal atau ekonomi kekeluargaan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar