Hikmah dari
Common Enemy Australia
Riza Suarga ;
Angkatan Muda Restorasi Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Desember 2013
ORANG Jawa sering identik dengan
etnik yang dilatih untuk selalu mengambil sisi positif dalam segala hal
termasuk ketika mengalami bencana sekalipun. Ketika mengalami musibah
kecelakaan kendaraan misalnya, ‘untung hanya patah tulang’ tidak fatal
sampai meninggal! Dalam pemahaman Islam, hikmah adalah wisdom. “Hikmah
dapat menambah (derajat) seorang terhormat dan mengangkat (derajat) seorang
hamba sahaya sehingga ia dapat menduduki kedudukan raja (penguasa)“ (HR Abu
Nu'aim dan Ibnu Addi). Masyarakat Jawa muslim tentunya banyak mengambil
pelajaran agama untuk selalu mensyukuri segala hal yang berhubungan dengan
peliknya kehidupan. Hikmah hidup ini bahkan menurut saya secara positif
telah menjadi budaya, bukan hanya etnik Jawa, melainkan bangsa Indonesia.
Ketika kita tidak memiliki
musuh, akan sangat penting apabila menciptakan satu saja (Nietzsche).
Sedangkan Freud mengingatkan ketika sebuah kelompok memiliki musuh yang
berada di luar, secara otomatis akan tercipta suatu kohesi kekompakan di
dalam kelompok itu. Keluarga yang memiliki tetangga yang mereka benci
biasanya akan menciptakan kedamaian di dalam unit keluarga itu.
Fenomena common enemy atau musuh bersama sesungguhnya terjadi di Israel
(Freud). Ketika suhu ketegangan antara Israel dan Arab atau Palestina
mengalami penurunan, biasanya memicu perselisihan yang memuncak di antara
berbagai kelompok etnik terutama garis keras di dalam masyarakat Yahudi
sendiri. Demikian pula halnya selalu terjadi fenomena yang sama di antara
persaingan antarkelompok di komunitas Arab. Amerika Serikat pun adalah
contoh konkret bagaimana mereka sukses menjadikan komunisme di era Perang
Dingin atau terorisme pasca 9/11 menjadi common enemy dunia.
Dalam beberapa hari terakhir
ini, pers Indonesia disibukkan dengan pemberitaan seputar penyadapan yang dilakukan
intelijen Australia terhadap 10 pejabat Indonesia. Secara spontanitas
seluruh komponen anak bangsa seolah terpanggil saling bahu-membahu
memberikan semangat kepada SBY dan pemerintah untuk mengambil tindakan
tegas terhadap Australia bahkan ‘berperang’ pun siap apabila Tony Abbott
tidak juga meminta maaf.
Mereka yang selama ini
berseberangan, apakah oposisi ataupun pendukung pemerintah, melebur menjadi
satu. PDIP, Din Syamsuddin, bahkan Anas saja seperti melupakan sesaat
perbedaan prinsip ataupun pendapat mereka dengan pemerintah untuk bersatu
menghadapi arogansi Australia.
Ternyata insiden penyadapan
Australia bisa menjadi ‘hikmah’. Semangat persatuan dan kesatuan yang selama
ini dikhawatirkan luntur ternyata masih ada melekat dalam hati sanubari
anak bangsa dari Merauke sampai Sabang. Indonesia sebentar lagi akan
memiliki pemimpin baru. Mungkinkah ‘doktrin’ common enemy bisa menjadi bagian dari revitalisasi nilai-nilai
nasionalisme bangsa yang kian tergerus. Mungkin terdengarnya seolah negatif
atau kurang etis, tetapi tanpa disadari polling
di Malaysia menyebutkan kalau salah satu pemicu kesuksesan negeri jiran
belakangan ini terutama ketika mereka berhasil merebut Sipadan dan Ligitan
dari Bumi Pertiwi ataupun memenangi AFC Cup mengalahkan tim ‘Garuda Merah Putih’ adalah dengan
diciptakannya doktrin common enemy
Indon yang ditujukan kepada kita. Ironis. Namun itulah faktanya.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar