Jumat, 06 Desember 2013

Pembangunan Infrastruktur dan Hambatan Klasik

Pembangunan Infrastruktur dan Hambatan Klasik
Rumainur  ;   Dosen Pascasarjana Universitas Nasional
MEDIA INDONESIA,  04 Desember 2013

  

DAYA saing Indonesia meningkat seiring dengan membaiknya peringkat infrastruktur yang sudah dimulai sejak 2008. Berdasarkan data global competitiveness index (GCI), skor infrastruktur Indonesia mencapai 3,0 (2008), 3,2 (2009), 3,6 (2010), 3,8 (2011), 3,7 (2012), dan tahun ini 4,2. GCI adalah indeks komprehensif yang menangkap dasar dari ekonomi makro dan mikro dari daya saing nasional. Angka yang muncul merupakan penelitian yang dilakukan The World Economic Forum yang bersumber dari data internasional dan survei opini eksekutif atas 13 ribu responden dari 33 negara.

Secara ekonomi, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal productivity of private capital dan pengurangan biaya produksi (Kwik Kian Gie, 2002). Infrastruktur ialah roda penggerak pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Infrastruktur berperan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, produktivitas tenaga kerja dan lapangan kerja, serta kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makroekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.

Selama 2001-2013 terdapat pertumbuhan jalan nasional yang signifikan, yaitu sepanjang 12.298 km, di samping itu terdapat peningkatan kemantapan jalan nasional karena angkanya pada 2005 sebesar 80,6% menjadi sar 80,6% menjadi 92,5% pada akhir 2013. Selain menangani 38.570 km jalan nasional, pemerintah menangani jalan strategis nasional sepanjang 11.577,807 km di kawasan strategis, perbatasan, dan wilayah terluar/terdepan. Jalan tol yang telah terbangun dan beroperasi sampai dengan 2013 mencapai 784 km.

Pengambilan tanah

Harus diingat kecepatan pertumbuhan ekonomi di the new emerging market tidak terlepas dari proses pengambilan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan wilayah perkotaan. China, Korea Selatan, dan Singapura melakukan pembebasan tanah besar-besaran untuk kepentingan transportasi, perkantoran, fasilitas energi, dan infrastruktur lainnya.

Namun, dalam catatan Azuela (2007), terjadi tren penurunan pengambilan tanah oleh pemerintah, dan makin sulit dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan makin sulitnya pengambilan tanah oleh pemerintah, yaitu 1) meluasnya ketidakpuasan terhadap praktik pengambilan tanah oleh pemerintah, 2) meningkatnya independensi lembaga peradilan, 3) menguatnya tekanan dari pemberitaan media massa, dan 4) dampak implementasi perjanjian internasional.

Hal itu yang mendasari pemerintah menginisiasi regulasi baru. Salah satunya kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. UU ini jadi langkah terobosan karena peraturan perundang-undangan sebe lumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Kementerian Keuangan juga menyusun kebijakan mengenai mekanisme pemberian dukungan pemerintah melalui kontribusi fiskal dalam bentuk tunai kepada badan usaha dalam rangka meningkatkan kelayakan finansial proyek infrastruktur, sehingga menarik minat swasta atau viability gap fund (VGF).

VGF hanya dapat diberikan untuk proyek-proyek infrastruktur yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) atau public private partnership (PPP) berdasarkan Perpres No 67/2005 dan perubahannya. Dalam APBN 2013 alokasi dana VGF Rp341 miliar untuk proyek KPS. Dukungan pemerintah juga disalurkan dalam bentuk fasilitas untuk pengadaan lahan, penyiapan proyek, dan dana geotermal yang nilainya tidak sedikit.

Dana pengadaan lahan (land capping) merupakan jalan keluar atas risiko kenaikan harga tanah dalam pembangunan jalan tol yang kerap tersendat karena masalah pembebasan tanah. Sejak 2008-2013 dana land capping mencapai Rp4,89 triliun. Terdapat juga dana bergulir pengadaan tanah untuk jalan tol (land revolving fund). Fasilitas terakhir tentu saja land acquisition fund (LAF), yaitu dana yang disediakan pemerintah untuk pembebasan tanah, dalam rangka memberikan dukungan untuk meningkatkan kelayakan dari proyek penyediaan infrastruktur, yang dilaksanakan dengan skema KPS yang diatur Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Alokasi LAF dalam tahun anggaran (TA) 2011 sebesar Rp323,17 miliar, TA 2012 sebesar Rp117 miliar, dan tahun ini mencapai Rp160 miliar.

Harusnya beres

Jika kita melihat besarnya upaya pemerintah, seharusnya target-target pembangunan infrastruktur dapat diselesaikan. Pada kenyataannya hambatan pembebasan tanah untuk proyek-proyek infrastruktur belum berakhir. Alasannya pun tak pernah jauh dari tidak adanya kata sepakat dalam soal ganti rugi (atau ganti untung) dengan pemiliknya. Tidak menherankan investor enggan masuk pada investasi pada infrastruktur yang dianggap tidak pasti. Belum lagi persoalan sertifikasi tanah di Indonesia yang karut-marut, seperti pemalsuan sertifikat atau sertifikat ganda.

Tanpa penyelesaian yang serius dan tegas terhadap masalah-masalah tersebut, perkembangan suatu negara atau wilayah, tidak akan terjadi.
Aschauer (1989) dan Munnell (1990) menemukan tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi ialah sebesar 60%. Bahkan studi dari World Bank (1994) menyebutkan kenaikan 1% ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB 7%-44%. Terbitnya UU No 2 Tahun 2012 merupakan langkah strategis untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur demi kesejahteraan rakyat.
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar