DAYA saing Indonesia
meningkat seiring dengan membaiknya peringkat infrastruktur yang sudah
dimulai sejak 2008. Berdasarkan data global
competitiveness index (GCI), skor infrastruktur Indonesia mencapai 3,0
(2008), 3,2 (2009), 3,6 (2010), 3,8 (2011), 3,7 (2012), dan tahun ini 4,2.
GCI adalah indeks komprehensif yang menangkap dasar dari ekonomi makro dan
mikro dari daya saing nasional. Angka yang muncul merupakan penelitian yang
dilakukan The World Economic Forum
yang bersumber dari data internasional dan survei opini eksekutif atas 13
ribu responden dari 33 negara.
Secara ekonomi,
ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal productivity of private capital dan
pengurangan biaya produksi (Kwik Kian
Gie, 2002). Infrastruktur ialah roda penggerak pertumbuhan ekonomi,
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Infrastruktur
berperan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain
dalam peningkatan nilai konsumsi, produktivitas tenaga kerja dan lapangan
kerja, serta kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makroekonomi,
yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya
terhadap pasar tenaga kerja.
Selama 2001-2013
terdapat pertumbuhan jalan nasional yang signifikan, yaitu sepanjang 12.298
km, di samping itu terdapat peningkatan kemantapan jalan nasional karena
angkanya pada 2005 sebesar 80,6% menjadi sar 80,6% menjadi 92,5% pada akhir
2013. Selain menangani 38.570 km jalan nasional, pemerintah menangani jalan
strategis nasional sepanjang 11.577,807 km di kawasan strategis,
perbatasan, dan wilayah terluar/terdepan. Jalan tol yang telah terbangun
dan beroperasi sampai dengan 2013 mencapai 784 km.
Pengambilan tanah
Harus diingat
kecepatan pertumbuhan ekonomi di the new emerging market tidak terlepas
dari proses pengambilan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan wilayah
perkotaan. China, Korea Selatan, dan Singapura melakukan pembebasan tanah
besar-besaran untuk kepentingan transportasi, perkantoran, fasilitas
energi, dan infrastruktur lainnya.
Namun, dalam catatan
Azuela (2007), terjadi tren penurunan pengambilan tanah oleh pemerintah,
dan makin sulit dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan makin sulitnya pengambilan tanah oleh pemerintah, yaitu 1)
meluasnya ketidakpuasan terhadap praktik pengambilan tanah oleh pemerintah,
2) meningkatnya independensi lembaga peradilan, 3) menguatnya tekanan dari
pemberitaan media massa, dan 4) dampak implementasi perjanjian
internasional.
Hal itu yang
mendasari pemerintah menginisiasi regulasi baru. Salah satunya kehadiran
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. UU ini jadi langkah terobosan karena
peraturan perundang-undangan sebe lumnya dianggap belum memenuhi rasa
keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Kementerian Keuangan juga
menyusun kebijakan mengenai mekanisme pemberian dukungan pemerintah melalui
kontribusi fiskal dalam bentuk tunai kepada badan usaha dalam rangka
meningkatkan kelayakan finansial proyek infrastruktur, sehingga menarik
minat swasta atau viability gap fund
(VGF).
VGF hanya dapat
diberikan untuk proyek-proyek infrastruktur yang dilaksanakan melalui skema
kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) atau public private partnership
(PPP) berdasarkan Perpres No 67/2005 dan perubahannya. Dalam APBN 2013
alokasi dana VGF Rp341 miliar untuk proyek KPS. Dukungan pemerintah juga
disalurkan dalam bentuk fasilitas untuk pengadaan lahan, penyiapan proyek,
dan dana geotermal yang nilainya tidak sedikit.
Dana pengadaan lahan
(land capping) merupakan jalan
keluar atas risiko kenaikan harga tanah dalam pembangunan jalan tol yang
kerap tersendat karena masalah pembebasan tanah. Sejak 2008-2013 dana land
capping mencapai Rp4,89 triliun. Terdapat juga dana bergulir pengadaan
tanah untuk jalan tol (land revolving
fund). Fasilitas terakhir tentu saja land acquisition fund (LAF), yaitu
dana yang disediakan pemerintah untuk pembebasan tanah, dalam rangka
memberikan dukungan untuk meningkatkan kelayakan dari proyek penyediaan
infrastruktur, yang dilaksanakan dengan skema KPS yang diatur Inpres Nomor
1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional
Tahun 2010. Alokasi LAF dalam tahun anggaran (TA) 2011 sebesar Rp323,17
miliar, TA 2012 sebesar Rp117 miliar, dan tahun ini mencapai Rp160 miliar.
Harusnya beres
Jika kita melihat
besarnya upaya pemerintah, seharusnya target-target pembangunan
infrastruktur dapat diselesaikan. Pada kenyataannya hambatan pembebasan
tanah untuk proyek-proyek infrastruktur belum berakhir. Alasannya pun tak
pernah jauh dari tidak adanya kata sepakat dalam soal ganti rugi (atau
ganti untung) dengan pemiliknya. Tidak menherankan investor enggan masuk
pada investasi pada infrastruktur yang dianggap tidak pasti. Belum lagi
persoalan sertifikasi tanah di Indonesia yang karut-marut, seperti
pemalsuan sertifikat atau sertifikat ganda.
Tanpa penyelesaian
yang serius dan tegas terhadap masalah-masalah tersebut, perkembangan suatu
negara atau wilayah, tidak akan terjadi.
Aschauer (1989) dan Munnell (1990) menemukan tingkat pengembalian investasi
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi ialah sebesar 60%. Bahkan studi
dari World Bank (1994) menyebutkan kenaikan 1% ketersediaan infrastruktur
akan menyebabkan pertumbuhan PDB 7%-44%. Terbitnya UU No 2 Tahun 2012
merupakan langkah strategis untuk mendorong percepatan pembangunan
infrastruktur demi kesejahteraan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar