Sabtu, 07 Desember 2013

Berharap Kemitraan Pemerintah-Swasta

Berharap Kemitraan Pemerintah-Swasta
Harun al-Rasyid Lubis ;   Dosen FTSL ITB; 
Chairman IPKC (Infrastructure Partnership and Knowledge Center)
KOMPAS,  06 Desember 2013

  

SUDAH lebih dari dua dekade kemitraan pemerintah-swasta menjadi konsep yang sangat populer dalam wacana pembangunan infrastruktur di Tanah Air. Dengan kemitraan, pemerintah dan swasta diharapkan bersanding untuk membangun dan mengoperasikan infrastruktur publik dengan biaya yang lebih murah. Kemitraan harus memberikan nilai tambah dan efisiensi, sebagai buah dari inovasi dan kegesitan mitra swasta.

Tahun 1991, World Bank mulai menawarkan pinjaman Technical Assistance Project for Public and Private Provision of Infrastructure (TAP4I) kepada Pemerintah Indonesia, berlanjut Private Provision of Infrastructure Technical Assistance (PPITA) dan Infrastructure Reform Sector Development Project (IRSDP) lewat pinjaman Bank Pembangunan Asia (ADB).

Total pembiayaan ratusan juta dollar Amerika Serikat sudah terserap, tetapi realisasi kemitraan sampai sekarang masih nol besar. Apa yang salah dan kurang?

Sebenarnya, upaya untuk mengimplementasikan kemitraan terus berlangsung. Seminar, konferensi, pameran, daftar proyek kemitraan, proyek contoh (showcase), pembentukan komite di tingkat pusat dan daerah, pendirian lembaga keuangan pendukung dan penjamin, maupun sinergi antar-kementerian, tetapi tetap saja transaksi mandek.

Hanya satu dua proyek ready-to-offer yang berhasil atau mendekati closing. Namun, lanjutan implementasi selalu terhambat; entah karena pembebasan lahan atau terjadi pertikaian otoritas perizinan di tingkat daerah. Akhirnya, karena terus molor dan biaya membengkak, proyek terbengkalai.

Lambat dan tersendatnya transaksi kemitraan selama ini karena pemerintah menganggap enteng proses dan prosedur kemitraan yang baik sehingga ada yang terputus antara kebutuhan kemitraan dan modal swasta yang tersedia di pasar.

Puncak gunung es yang terlihat hanyalah perkara kapasitas anggaran (fiskal) yang terbatas sehingga solusi pemerintah adalah perlu mencari sumber pendanaan pengganti atau pelengkap.

Padahal, permasalahan sering kali lebih pada tujuan kemitraan yang belum jelas, persiapan proyek kurang matang, sumber daya manusia, dan kapasitas lembaga yang rendah, praktik tata kelola pemerintahan lemah, serta merebaknya korupsi. Daftar panjang ini belum banyak tersentuh untuk diselesaikan.

Kini draf Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) ke-3 2014-2019 sedang disiapkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan kemitraan masih menjadi harapan. Namun, dengan sederet tantangan dan hambatan, bagaimana pembenahan dilakukan?

Pembenahan

Pertama, kemitraan yang selama ini diatur hanya sebatas peraturan presiden, hierarkinya ditingkatkan untuk memastikan konsistensi kebijakan.

Hal ini karena siklus proyek infrastruktur bisa mencapai puluhan tahun −melebihi masa efektif satu atau dua pemerintahan− sejak persiapan hingga aset diserahkan kembali ke negara sehingga perlu agenda undang-undang khusus tentang kemitraan.

Saat ini negara-negara tetangga, seperti Filipina dan Thailand, terus membenahi kerangka legal untuk kelembagaan kemitraan mereka dan Malaysia sudah jauh meninggalkan kita.

Kedua, ambivalensi membangun dengan pendanaan penuh APBN/APBD atau lewat pendanaan kemitraan perlu disudahi dengan mendirikan unit atau pusat kemitraan yang terpisah dari rutinitas.

Pusat kemitraan ditempatkan langsung di bawah kantor presiden/wakil presiden atau mendekat ke kantor Menteri Keuangan yang mengurus kebijakan fiskal, ketimbang di Bappenas seperti selama ini. Di sini persiapan proyek-proyek kemitraan dimatangkan.

Ketiga, target proyek kemitraan yang sedang digodok dalam RPJM-III 2014-2019 dan menjadi batu loncatan untuk mencapai target Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) haruslah selektif dan realistis.

Alokasi pendanaan APBN sebagian harus mencadangkan dana viability gap funding (VGF) bagi tender proyek-proyek kemitraan yang ingin ditingkatkan kelayakan finansialnya ke batas wajar.

Dengan demikian, dalam keterbatasan anggaran masih ada target dan prioritas kemitraan yang viabel dan bankable.

Kompetisi

Masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi kemandekan kemitraan. BUMN termasuk dalam entitas swasta yang dimaksud. BUMN, juga kementerian yang terdistorsi karena insentif dan kemudahan, perlu dikoreksi saat dibandingkan dengan proposal kemitraan.

Belajar dari negara yang kemitraannya sudah dewasa, seperti Inggris, Australia, Kanada, ataupun Korea, perlu ada perolehan nilai tambah lewat pengaturan kompetisi yang berkeadilan dan pembinaan industri konstruksi nasional yang andal.

Kemitraan hanya bisa berhasil jika ada kepemimpinan nasional yang kuat, dibantu oleh birokrat yang berjiwa wirausaha. Karena kemitraan bukan membeli jasa, melainkan menjual dan menawarkan prospek usaha lewat pembagian risiko dan laba yang adil kepada para pihak. Bagi swasta, peluang kemitraan di Indonesia tetap menarik, walaupun sering membuat frustrasi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar