SUDAH lebih dari dua dekade
kemitraan pemerintah-swasta menjadi konsep yang sangat populer dalam wacana
pembangunan infrastruktur di Tanah Air. Dengan kemitraan, pemerintah dan
swasta diharapkan bersanding untuk membangun dan mengoperasikan
infrastruktur publik dengan biaya yang lebih murah. Kemitraan harus
memberikan nilai tambah dan efisiensi, sebagai buah dari inovasi dan
kegesitan mitra swasta.
Tahun 1991, World Bank mulai
menawarkan pinjaman Technical
Assistance Project for Public and Private Provision of Infrastructure
(TAP4I) kepada Pemerintah Indonesia, berlanjut Private Provision of Infrastructure Technical Assistance (PPITA)
dan Infrastructure Reform Sector
Development Project (IRSDP) lewat pinjaman Bank Pembangunan
Asia (ADB).
Total pembiayaan ratusan juta
dollar Amerika Serikat sudah terserap, tetapi realisasi kemitraan sampai
sekarang masih nol besar. Apa yang salah dan kurang?
Sebenarnya, upaya untuk
mengimplementasikan kemitraan terus berlangsung. Seminar, konferensi,
pameran, daftar proyek kemitraan, proyek contoh (showcase), pembentukan komite di tingkat pusat dan daerah,
pendirian lembaga keuangan pendukung dan penjamin, maupun sinergi
antar-kementerian, tetapi tetap saja transaksi mandek.
Hanya satu dua proyek ready-to-offer yang berhasil
atau mendekati closing.
Namun, lanjutan implementasi selalu terhambat; entah karena pembebasan
lahan atau terjadi pertikaian otoritas perizinan di tingkat daerah.
Akhirnya, karena terus molor dan biaya membengkak, proyek terbengkalai.
Lambat dan tersendatnya transaksi
kemitraan selama ini karena pemerintah menganggap enteng proses dan
prosedur kemitraan yang baik sehingga ada yang terputus antara kebutuhan
kemitraan dan modal swasta yang tersedia di pasar.
Puncak gunung es yang terlihat
hanyalah perkara kapasitas anggaran (fiskal) yang terbatas sehingga solusi
pemerintah adalah perlu mencari sumber pendanaan pengganti atau pelengkap.
Padahal, permasalahan sering
kali lebih pada tujuan kemitraan yang belum jelas, persiapan proyek kurang
matang, sumber daya manusia, dan kapasitas lembaga yang rendah, praktik
tata kelola pemerintahan lemah, serta merebaknya korupsi. Daftar panjang
ini belum banyak tersentuh untuk diselesaikan.
Kini draf Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) ke-3 2014-2019 sedang disiapkan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dan kemitraan masih menjadi harapan. Namun,
dengan sederet tantangan dan hambatan, bagaimana pembenahan dilakukan?
Pembenahan
Pertama, kemitraan yang selama
ini diatur hanya sebatas peraturan presiden, hierarkinya ditingkatkan untuk
memastikan konsistensi kebijakan.
Hal ini karena siklus proyek
infrastruktur bisa mencapai puluhan tahun −melebihi masa efektif satu atau
dua pemerintahan− sejak persiapan hingga aset diserahkan kembali ke negara
sehingga perlu agenda undang-undang khusus tentang kemitraan.
Saat ini negara-negara tetangga,
seperti Filipina dan Thailand, terus membenahi kerangka legal untuk
kelembagaan kemitraan mereka dan Malaysia sudah jauh meninggalkan kita.
Kedua, ambivalensi membangun
dengan pendanaan penuh APBN/APBD atau lewat pendanaan kemitraan perlu
disudahi dengan mendirikan unit atau pusat kemitraan yang terpisah dari
rutinitas.
Pusat kemitraan ditempatkan
langsung di bawah kantor presiden/wakil presiden atau mendekat ke kantor
Menteri Keuangan yang mengurus kebijakan fiskal, ketimbang di Bappenas
seperti selama ini. Di sini persiapan proyek-proyek kemitraan dimatangkan.
Ketiga, target proyek kemitraan
yang sedang digodok dalam RPJM-III 2014-2019 dan menjadi batu loncatan
untuk mencapai target Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) haruslah selektif dan realistis.
Alokasi pendanaan APBN sebagian
harus mencadangkan dana viability
gap funding (VGF) bagi tender proyek-proyek kemitraan yang ingin
ditingkatkan kelayakan finansialnya ke batas wajar.
Dengan demikian, dalam
keterbatasan anggaran masih ada target dan prioritas kemitraan yang viabel dan bankable.
Kompetisi
Masih banyak pekerjaan rumah
untuk membenahi kemandekan kemitraan. BUMN termasuk dalam entitas swasta yang
dimaksud. BUMN, juga kementerian yang terdistorsi karena insentif dan
kemudahan, perlu dikoreksi saat dibandingkan dengan proposal kemitraan.
Belajar dari negara yang
kemitraannya sudah dewasa, seperti Inggris, Australia, Kanada, ataupun
Korea, perlu ada perolehan nilai tambah lewat pengaturan kompetisi yang
berkeadilan dan pembinaan industri konstruksi nasional yang andal.
Kemitraan hanya bisa berhasil
jika ada kepemimpinan nasional yang kuat, dibantu oleh birokrat yang
berjiwa wirausaha. Karena kemitraan bukan membeli jasa, melainkan menjual
dan menawarkan prospek usaha lewat pembagian risiko dan laba yang adil
kepada para pihak. Bagi swasta, peluang kemitraan di Indonesia tetap
menarik, walaupun sering membuat frustrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar