Persoalan yang perlu diungkap dalam skandal Bank
Century, semakin mengerucut yaitu perlunya penyelidikan soal keterlibatan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Setelah
pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas Boediono memberi
indikasi banyak hal, keterlibatan mantan Gubernur Bank Indonesia itu, tidak
lagi terlalu penting. Sementara yang lebih mendesak adalah sejauh mana
peran SBY dalam memberi endorsement (persetujuan) atas penalangan itu. Hal
ini yang patut dibuka.
Selain
pemeriksaan terhadap SBY, yang perlu ditelusuri, siapa saja yang menerima
aliran dana dari mega skandal sebesar Rp6,7 triliun itu. Karena tak ada
gunanya SBY maupun Boediono, katakanlah menjadi tersangka dan bahkan
dihukum penjara seumur hidup, tetapi pihak yang menikmati dana triliunan
rupiah, hidup nyaman di luar penjara dan masa depan anak serta turunannya
sampai generasi ketujuh, terjamin.
Skandal dalam
pemerintahan SBY jika tidak dituntaskan bisa berulang. Bahkan bila
dibiarkan seperti sekarang, bukan mustahil di sisa jabatan 11 bulan
terakhir, kasus yang bisa merugikan negara lebih besar dari skandal
Century, masih dapat berulang.
Penelusuran atas
pihak yang menikmati dana hasil korupsi itu mendesak sebab pencairan dari
Bank Indonesia sejak November 2008, masih terus dilakukan hingga Juli 2009.
Lebih menarik lagi, Juli 2009 itu merupakan Pilpres putaran pertama
digelar. Sehingga kecurigaan dana talangan itu digunakan untuk kebutuhan
kampanye Pilpres untuk memenangkan pasangan SBY-Boediono, wajib
dijernihkan.
Pencairan hingga
Juli 2009 itu patut mendapat sorotan, sebab di saat itu, Presiden SBY sudah
berada di Tanah air. Tapi mengapa sebagai Presiden, ia tidak melakukan
pencegahan atas sisa penalangan ?
Seperti yang
sudah diungkap para pakar hukum tata negara, dengan Boediono melempar
tanggung jawab penalangan itu kepada LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)
sementara penanggung jawab LPS tersebut adalah Presiden RI, maka hal itu
berarti Boediono sudah melibatkan SBY. Dengan kata lain, tidak ada alasan
bagi KPK untuk tidak ikut memeriksa SBY. Begitu juga SBY tidak bisa
mengelak karena semakin SBY mengelak, semakin besar kecurigaan publik.
Selain keterangan
Boediono, Menteri Keuangan yang menyebut dia hanya menyetujui penalangan
Rp630 milar, keterangan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden ketika
penalangan itu terjadi, sudah sangat blak-blakan. Menjurus pada substansi
bahwa penalangan itu dikehendaki oleh SBY.
Bukan sekali dua
kali Jusuf Kalla menegaskan bahwa dia merasa ditelikung atau dibohongi.
Siapa yang membohongi Jusuf Kalla? Yaitu trio Menkeu Sri Mulyani, Gubernur
BI Boediono dan Presiden SBY.
Jusuf Kalla
merasa dibohongi sebab Menkeu dan Gubernur BI yang sedang berada di
Jakarta, terus berkomunikasi dengan Presiden SBY yang sedang berada di luar
negeri. Tapi apa yang dikomunikasikan itu tidak pernah diberitahukan kepada
Jusuf Kalla yang nota bene merupakan Presiden Ad Interim dan sedang berada
di Tanah Air.
Oleh sebab itu
pembelaan Presiden SBY bahwa ia sedang berada di luar negeri manakala
penalangan itu diputuskan, tidak sepatutnya diterima begitu saja. Secara
moral dengan alasan apapun, Presiden SBY tidak bisa berdalih bahwa karena
sedang berada di luar wilayah Indonesia, maka ia tidak ikut bertanggung
jawab atas apapun yang terjadi di dalam negeri.
Tuntutan agar SBY
diperiksa dalam keterlibatannya di skandal Bank Century mutlak dipenuhi.
Tujuannya demi menjaga nama baik SBY sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan sebagai lembaga kepresidenan yang harus disakralkan. Tapi
pemeriksaan itu harus diletakkan pada posisi secara proporsional. Kalau
bersalah, apa boleh buat, tapi jika tidak harus dipulihkan.
Membiarkan SBY
sebagai sosok yang dilindungi, tidak sehat dari segi hukum maupun
demokrasi. Publik akan merasa dimarjinalkan. Rasa sakit hati masyarakat
yang merasa tidak memperoleh perlakuan hukum secara adil, bakal
berkepenjangan.
Sebaliknya jika
SBY bisa menjawab semua tudingan, pasca lengser dari kursi Presiden RI, SBY
bisa menikmati kehidupan yang tenang. SBY akan dikenang sebagai pemimpin
yang berjiwa besar yang patut dihormati sampai kapanpun.
Dalih SBY sedang
berada di luar negeri ketika talangan dilakukan, dari waktu ke waktu terus
tergerus, tidak cukup kuat. Sebab pada 2013 ini saja, sekalipun SBY sedang
mengadakan perjalanan ke berbagai negara di Afrika sembari menunaikan
ibadah umroh, tapi di Arab Saudi, SBY masih bisa menyisihkan waktu untuk
menanggapi perkembangan politik internal yang berkaitan dengan Ketua Umum
Partai Demokrat (pada waktu itu), Anas Urbaningrum.
Bukankah
persoalan Bank Century di 2008 itu justru jauh lebih penting dibanding
persoalan Anas Urbaningrum di 2013?
Ketika meletus
demo dan anarkis di Jakarta pada awal Mei 1998, Presiden Soeharto sedang
berada Mesir, Timur Tengah. Tapi setelah mendapat laporan dari para
pembantu atau orang-orang kepercayaannya di Jakarta, Soeharto memutuskan
mempersingkat lawatannya. Dia kembali ke Jakarta dan menghadapi situasi
genting yang mengancam kepemimpinannnya plus kesatuan dan persatuan NKRI.
Soeharto memiliki apa yang disebut "sense
of urgency".
Yang kontroversil
dari pembelaan SBY, di satu sisi dia sependapat kasus Century sangat
berisiko bagi masa depan perekonomian nasional, tetapi ia tetap memilih
berada di luar negeri. Sudah begitu ia sembunyikan kasus berbau korupsi ini
dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jadi ada antagonistis dan
ketidakkonsistenan sikap oleh Presiden SBY.
Pada April 1986,
Presiden Ronald Reagan sedang berada di Bali dalam rangka pertemuan dengan
para pemimpin anggota ASEAN. Pertemuan itu, dalam konteks martabat Amerika
Serikat, sebagai negara antikomunis, sangat penting. Sebab ASEAN ketika itu
merupakan mitra penting Amerika Serikat di Asia dan Pasifik.
ASEAN yang
beranggotakan negara-negara anti komunis di Asia Tenggara berada dalam satu
blok dengan Amerika Serikat. ASEAN ketika itu belum menerima negara seperti
Kamboja, Vientan, Myanmar dan Laos, karena mereka yang disebut belakangan
ini, semuanya merupakan negara blok sosialis/komunis.
Tapi, kendati
pertemuan itu sangat penting bagi politik global Amerika Serikat, ketika
ada persoalan yang lebih penting, dimana Presiden harus memilah, Reagan
memilih hal yang lebih penting bagi negaranya. Reagan memutuskan untuk
"mengorbankan" pertemuan ASEAN. Reagan kembali ke Washington,
mempersingkat jadwal pertemuannya dengan para pemimpin ASEAN.
Jadi maaf pada Pak
Beye dan para pembela setianya, sikap bertanggung jawab pada bangsa dan
negara seperti ini, tidak tercermin dari aura kepemimpinan Presiden SBY.
Apa yang membuat
Presiden Ronald Reagan kembali ke negaranya? Tidak lain tidak bukan, karena
di sebuah negara yang jauh dari Amerika Serikat terjadi kebocoran nuklir di
sebuah pusat pengayaan nuklir.
Ketika itu banyak
pihak yang tidak paham. Banyak yang bertanya-tanya, apa hubungannya
kebocoran nuklir di sebuah tempat yang berada di luar wilayah Amerika
Serikat dengan keputusan Reagan meninggalkan pertemuan ASEAN? Lagi pula
pada saat Ronald Reagan berada di Bali, di Washington masih ada Wakil
Presiden George Bush (senior) yang menjaga Gedung Putih.
Moral dari
contoh-contoh di atas tidak lain untuk mengingatkan Presiden SBY. Dengan
sangat menyesal harus dikemukakan, banyak tindakan dan kebijakan penting yang
dilakukannya yang tidak menyentuh empati publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar