Senin, 02 Desember 2013

Membumikan Kedaulatan Pangan

Membumikan Kedaulatan Pangan
Dwi Andreas Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Pertanian IPB,
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia
KOMPAS,  02 Desember 2013



TAHUN 2013 hampir berlalu dan menyisakan persoalan-persoalan besar terkait petani kecil, pertanian, dan pangan. Kita akan memasuki tahun 2014 yang penuh tantangan dengan dinamika politik luar biasa.

Petani yang berjumlah 91,91 juta jiwa (IFAD 2011, BPS 2012) atau 26,13 juta rumah tangga (BPS 2013) sebagai komponen terbesar rakyat yang selama ini praktis dilupakan akan menjadi ”buah bibir” di kalangan politikus dan para pendulang suara. Jargon pembelaan petani kecil, swasembada, kemandirian, dan kedaulatan pangan akan jadi kata-kata sakti yang akan lebih sering diucapkan atau diperdengarkan. Data pertanian dan produksi pangan 2013-2014 boleh jadi akan menjadi data ”seolah-olah”. Seolah-olah terjadi peningkatan tajam produksi pertanian, seolah- olah target swasembada pangan tercapai, seolah-olah impor pangan menurun, serta seolah-olah lainnya yang menunjukkan kinerja sektor pertanian dan pangan seolah-olah luar biasa.

Dalam kenyataannya hanya sedikit penguasa dan perumus kebijakan menyadari bahwa pertanian dan pangan merupakan komponen luar biasa penting bagi sebuah bangsa. Kerusuhan sosial dan bahkan pergantian rezim sering kali diawali dari krisis pangan. Krisis pangan di Indonesia 1998 (impor beras mencapai rekor tertinggi 6,077 juta ton) menjadi pemicu kerusuhan besar dan pergantian rezim di 1998. Penelitian NECSI (New England Complex System Institute, 2012) menyimpulkan, karakter geografis kekerasan berubah cepat ketika negara kian tergantung impor dan pada saat bersamaan terjadi ledakan harga pangan. Letupan-letupan kecil di tingkat lokal bisa berkembang jadi kerusuhan besar di tingkat nasional bahkan regional. Arab Spring 2011 yang ditandai tumbangnya beberapa rezim di Timur Tengah secara langsung dan tak langsung terkait krisis pangan dan ketergantungan impor pangan yang sangat besar.

Indonesia telah masuk fase jebakan impor pangan yang sangat mengkhawatirkan. Impor serealia (gandum, beras, kedelai, dan jagung) meningkat 61 persen periode 2011-2013 dibandingkan periode 2007-2009 (Food Outlook, FAO 2010-2013). Persentase gandum sebagai bahan pangan pokok yang 12 tahun lalu sekitar 7,66 persen (2001) saat ini menyusun 14,59 persen makanan pokok rakyat Indonesia, atau meningkat hampir 100 persen dalam dua periode jabatan presiden. Tidak hanya bahan pangan pokok, ketergantungan impor kita terhadap belasan jenis pangan lainnya dari bawang hingga daging sapi perlahan-lahan juga mulai meningkat.

Indonesia, sebagaimana banyak negara lain, menganut model ketahanan pangan (food security) yang menjadi cetak biru semua perumusan kebijakan terkait sektor pertanian dan pangan. Dalam model ketahanan pangan, asal dan bagaimana cara pangan diproduksi tak penting, yang penting pangan tersedia. Padahal pangan, jenis yang dikonsumsi, sistem produksinya, bahkan cara penyajiannya memuat budaya, ajaran, bahkan nilai-nilai sakral lintas generasi yang melekat erat. Sedekah bumi di banyak desa di Indonesia merupakan salah satu penghormatan terhadap pertanian dan pangan yang memuat ajaran-ajaran leluhur yang sarat makna.

Sekadar komoditas

Pangan kemudian direduksi menjadi sekadar komoditas. Bersamaan dengan hal itu, perdagangan pangan internasional menjadi suatu keniscayaan dan ketahanan pangan nasional harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur WTO. Perubahan konsep dan tata nilai tentang pangan dan pertanian ini dampaknya sungguh luar biasa bagi negara berkembang. Banyak pangan dan budaya pangan lokal musnah. Banyak praktik pertanian yang mengandalkan keselarasan alam dan harmoni kehidupan menjadi rusak tergantikan oleh praktik pertanian ”modern” yang padat energi dan bahan beracun. Hubungan sosial, keselarasan, dan semangat gotong royong antarpetani semakin retas dan tergantikan dengan hubungan berkarakter kapitalistis dan individualistis.

Ketahanan pangan dan perangkatnya telah menjadikan penguasaan benih dan sarana produksi serta perdagangan pangan internasional mengerucut ke hanya beberapa perusahaan raksasa yang nir-nilai budaya pangan dan pertanian. Meskipun demikian, para ekonom liberal, termasuk di Indonesia, bersikukuh bahwa perdagangan pangan internasional merupakan hal terbaik bagi negara berkembang yang punya keunggulan komparatif di bidang pertanian. Meski demikian, yang terjadi adalah sebaliknya, negara berkembang yang awalnya eksportir pangan utama berubah jadi importir pangan dengan kerugian sekitar 50 miliar dollar AS per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka (Brown, 2012).

Ketahanan pangan global yang diharapkan mampu menurunkan harga pangan dunia sehingga pangan mampu diakses dan dijangkau penduduk termiskin ternyata hanya ilusi. Sebagai contoh, harga kedelai internasional yang secara konsisten turun perlahan-lahan sejak 1960 akibat peningkatan produksi tiba-tiba mulai bergejolak justru setelah WTO dilahirkan. 

Kesepakatan Pertanian (Agreement on Agriculture) diberlakukan serta 
kedelai transgenik dikomersialisasikan. Harga yang mencapai titik terendah periode 1996-2000 tiba-tiba melonjak drastis dan saat ini harganya 100 persen lebih tinggi dibandingkan periode itu (World Bank Commodity Price Data, 1960-2013). Kecenderungan sama terjadi pada jagung, gandum, dan bahan pangan lainnya. The Economist (6 Desember 2007) menyebutnya the end of cheap food, era pangan murah telah berlalu justru ketika negara berkembang, termasuk Indonesia, tergantung impor pangan akibat hancurnya sistem pertanian mereka.

Ketahanan pangan menegasikan kekuatan ekonomi politik asimetris yang menguntungkan negara maju. Hanya dalam kurun lima tahun sudah terjadi dua kali krisis pangan dunia, yaitu 2008 dan 2011, dan harga pangan mulai meningkat ketika sebagian besar negara berkembang sudah menjadi importir neto pangan. Ini menjadi pemicu gerakan kedaulatan pangan yang kian menguat di seluruh dunia. Beberapa negara mulai memasukkan konsep itu dalam UU dan kebijakan pertanian pangan mereka, termasuk Indonesia.

Kedaulatan pangan

Saat ini merupakan periode emas untuk mengubah paradigma dan melaksanakan kedaulatan pangan (food sovereignty). Kedaulatan pangan awalnya adalah gerakan dan kerangka kebijakan yang lahir tahun 1996 sebagai respons atas dimasukkannya sektor pertanian dalam sistem perdagangan dunia melalui Kesepakatan Pertanian (Lee, 2007). Gerakan ini kemudian jadi gerakan sosial yang diadopsi oleh ribuan organisasi, terutama organisasi nonpemerintah. Kedaulatan pangan menjawab kelemahan fundamental ketahanan pangan terutama bagi negara berkembang.

Dalam dua tahun terakhir ini muncul dua UU penting terkait pangan dan pertanian yang menggunakan kedaulatan sebagai asasnya. Pada UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Bab II Pasal 2 menyebutkan :  penyelenggaraan pangan dilakukan dengan berdasarkan asas a. kedaulatan”. UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pada Bab II Pasal 2 juga mencantumkan bahwa ”perlindungan dan pemberdayaan petani berasaskan pada: a. kedaulatan”. Kedaulatan juga menjiwai banyak pasal dan ayat di UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Keputusan Mahkamah Konstitusi 18 Juli 2013 tentang gugatan petani terhadap UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman juga menegaskan tentang ”kedaulatan” dalam hal ini kedaulatan petani atas benih, teknologi, dan plasma nutfah pertanian.

Dengan demikian, kedaulatan pangan harus dilaksanakan di Indonesia sesuai amanat dan mandat konstitusi, baik oleh pemerintah kini maupun yang akan datang. Sayang sekali DPR, perumus kebijakan, pemerintah, dan tokoh politik sering keliru memaknai kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sering disalahartikan dan dicampuradukkan dengan swasembada, kemandirian, ketahanan pangan.

Konsep swasembada dan kemandirian pangan (food sufficiency) pertama kali dikembangkan di Inggris yang bermakna sama dengan ketahanan pangan (food security). Sebaliknya, kedaulatan pangan bertolak belakang (counterframe) dengan ketahanan pangan (Benford dan Snow, 2000). 

Ketahanan pangan menggunakan model produksi pertanian industri 
(agroindustri), perdagangan pangan liberal, mengagungkan hak kekayaan intelektual di bidang pertanian, dan menganut diskursus lingkungan berkonsep rasionalisme ekonomi. Sebaliknya, kedaulatan pangan menganut model pertanian agroekologi, dengan model perdagangan proteksionis, antipaten kehidupan, dan mengakui kepemilikan komunal serta konsep rasionalisme hijau (Lee, 2007).

Entitas utama di dalam ketahanan pangan adalah aktor-aktor ekonomi, hubungan antaraktor adalah kompetitif, dimotivasi oleh rational self-interest dan mekanistik. Sebaliknya, paradigma kedaulatan pangan mengakui kompleksitas produksi pangan, hubungan harmonis antarpetani, dan petani dengan alam serta berperspektif ekologis. Tahun 2014 merupakan tahun politik dan tahun penting untuk mencari dan mendapatkan pemimpin Indonesia yang menaruh perhatian besar terhadap pembangunan pertanian, peduli terhadap kesejahteraan petani, dan berani membumikan dan melaksanakan agenda kedaulatan pangan. Semoga ”satrio piningit” tersebut benar-benar kita dapatkan untuk menyelamatkan kita dari bencana pangan dan sosial di masa datang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar