Senin, 02 Desember 2013

Jika Negara Masih Ingin Berniaga

Jika Negara Masih Ingin Berniaga
A Zen Umar Puba  ;   Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KOMPAS,  02 Desember 2013



MAHKAMAH Konstitusi rupanya tak menjadikan uji yudisial (judicial review) berkaitan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara  sebagai prioritas untuk diputus.

Demikian dijelaskan Patrialis Akbar, hakim konstitusi (Kompas, 21/11/2013). Uji  yudisial  itu diajukan Forum Hukum BUMN dan  Pusat Pengkajian Masalah Strategis  UI  agar MK menyatakan Pasal 2 Huruf g dan i UU tentang Keuangan Negara (UU KN) itu  bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut kedua pemohon, ketentuan tersebut melanggar prinsip kepastian hukum dan persamaan di hadapan hukum bagi perusahaan negara. Pasal 2 Huruf g dan I UU KN  mengatur   bahwa ”keuangan  negara” termasuk ”kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara”.

Isu ini pada hakikatnya merupakan konsekuensi dari keinginan  negara untuk berniaga.  Seperti negara-negara lain, Indonesia tidak saja menjalankan fungsi pemerintahan (jure imperii), tetapi juga ingin berdagang dalam kerangka jure gestionis.  Bermunculanlah badan usaha milik negara (BUMN), baik yang  perusahaan perseroan (persero) maupun perusahaan umum (perum). Dari lebih dari 100 BUMN kini, mayoritas adalah persero.

Persero, berdasarkan UU No 19/2003 tentang BUMN (UU BUMN), ”bertujuan memupuk keuntungan dan sepenuhnya tunduk pada UU tentang Perseroan Terbatas,” yang sekarang adalah UU No 40/2007 (UU PT). Dengan prinsip-prinsip dalam UU PT, ”kekayaan yang dipisahkan” yang dijadikan modal persero itu aman. Hal ini karena negara selaku pemegang saham (PS) hanya bertanggung jawab sejauh modal yang disetorkan. Negara dilindungi tabir liabilitas terbatas.

Sebaliknya, persero yang badan hukum itu  memiliki hak dan kewajiban, serta mengurus dan mengelola kekayaannya sendiri, lepas dari campur tangan pemegang sahamnya. Konsep badan hukum sudah mendunia. Mahkamah Internasional  dalam kasus Barcelona, Traction, Light, Power & Co, 1970 menegaskan:     So long  as the company is in existence the shareholder has no right to the corporate assets.

Parade direktur

Di persidangan MK, pemohon mengajukan sejumlah  saksi fakta, termasuk sejumlah direktur utama/direktur, bagaikan parade direksi di MK. Umumnya mereka  mengeluh karena merasa terbelenggu dengan dimasukkannya “kekayaan yang dipisahkan itu” sebagai bagian dari keuangan negara. 

Mereka berpendapat uang itu berdasarkan hukum adalah aset korporasi.  
Keterbelengguan itu bertaut dengan ketakutan  sebab  tindakan mereka dapat dikategorikan merugikan keuangan negara sehingga dituduh korupsi. Mereka takut membuat perencanaan karena  kalau gagal, akan didakwa macam-macam. Transaksi komersial jika tak  berhasil  juga bisa berdampak tuduhan korupsi.

Pemanggilan oleh aparat yang non-KPK  terkesan mencari-cari, seperti umpamanya dialami seorang mantan dirut, dan nyatanya di pengadilan dia dibebaskan. Ada pula dirut yang dengan lugu bertanya apakah kebijakan melakukan promosi dengan menurunkan tarif pada hari-hari biasa dapat dianggap korupsi juga. Banyak lagi yang lain.

Keluhan di atas amat esensial untuk  ditanggulangi sebab BUMN sekarang bukanlah BUMN dulu, yang didirikan  terutama untuk  mengisi  kekosongan pelayanan bagi masyarakat karena swasta enggan berkiprah di situ. Kini BUMN merambah ke mana-mana: perbankan, perdagangan, perumahan, asuransi, dan pengangkutan. Harus bersaing dengan PT swasta yang pertanggungjawabannya tak rumit

Para ahli yang dihadirkan pemohon mengungkapkan sejumlah teori badan hukum. Hal itu misalnya perihal tabir liabilitas terbatas di atas, yang dapat tersingkap kalau pemegang saham melakukan tindakan  tertentu.  Juga tentang prinsip bahwa direktur tidak boleh makan modal perusahaan—yang harus dipertanggungjawabkannya di  RUPS.

Untuk persero juga sama, itu berarti mekanisme korporasi memiliki sistem agar uang korporasi tidak dikorup, disertai sanksi, dan kalau ada aspek pidana selalu terbuka bagi masuknya aparat antikorupsi. Disinggung juga prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance). Intinya: kalau negara ingin berniaga, ikutilah aturan perniagaan.

Revisi UU BUMN

Sebaliknya, termohon, yang juga dilengkapi dengan saksi dan ahli berbicara di hulu  lebih mempersoalkan pada aspek  uang ”milik negara”, bukan ”badan usaha”-nya.  Jadi, termohon tidak turun ke bawah, praktis tidak  menyinggung masalah korporasi, apalagi  UUPT. Menurut termohon, permohonan uji yudisial ini menyesatkan. Kalau keuangan yang dipisahkan diatur dalam rezim tersendiri, penggunaan uang itu  tak terkontrol lagi. BPK tidak bisa masuk. Kekayaan yang dipisahkan  akan menjadi sumber korupsi. 

Termohon juga menyatakan bahwa BUMN adalah agen pembangunan (agent of development). Mungkin  betul kalau maksudnya perum, tetapi sebutan klasik  itu tak cocok untuk persero. Di luar sidang ramai pula kekhawatiran BUMN akan jadi ATM parpol.

Kita menunggu putusan MK: dua kubu yang sukar bertemu. Yang menjadi inti masalah  mungkin ini: menyerahkan persero kepada UUPT.  Termohon sepertinya alergi menyinggung hukum positif yang dirujuk oleh UU BUMN itu. Terkesan ada  ketidakpercayaan, mekanisme korporasi dalam UUPT akan bisa mengamankan kekayaan yang dipisahkan, apalagi mencegah potensi korupsi.

Kalau memang demikian, ada beberapa alternatif. Pertama, revisi UU BUMN  dengan menghapuskan penggunaan UU PT.  Atur bagaimana status kekayaan yang dipisahkan  itu dalam  liabilitas khusus karena kekayaan korporasi yang mandiri tidak ada lagi. Kekhawatiran termohon dapat dimengerti, tetapi kalau UU BUMN tidak direvisi, dengan mengabaikan  UU PT, kita pun telah melanggar undang-undang. Kedua, tidak perlu revisi UU BUMN, tetapi semua BUMN dijadikan perum. Ketiga, apa boleh buat, negara tak usah berniaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar