Senin, 02 Desember 2013

WTO Bali dan Kepentingan Indonesia

WTO Bali dan Kepentingan Indonesia
Sri Adiningsih  ;   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis; Direktur P2EB UGM
KOMPAS,  02 Desember 2013



INDONESIA akan menggelar Konferensi Tingkat Menteri Kesembilan di Bali, 3-6 Desember.

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) memiliki kewenangan pembuatan keputusan tertinggi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan pertemuan dilangsungkan sekali dua tahun. KTM Bali penting sekali karena akan menentukan arah kebijakan WTO dua tahun ke depan.

Pertemuan WTO di Bali akan mendiskusikan berbagai hal yang diharapkan bisa memecahkan kebuntuan perundingan yang selama ini terjadi. Sekjen WTO Roberto Azevedo (12 November 2013) menyatakan, ”We are too closed to success to accept failure but it is all or nothing now.”

Masyarakat Indonesia sudah gamang melihat dampak dari pembukaan pasar dengan banjirnya produk asing dan semakin besarnya dominasi bisnis asing sehingga banyak kelompok masyarakat mempertanyakan kebijakan pembukaan pasar internasional Indonesia, khususnya menyambut KTM WTO di Bali.

Apakah WTO?

WTO yang berdiri sejak 1995 sebagai kelanjutan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) adalah wadah kerja sama ekonomi beranggotakan 159 negara. Misinya meningkatkan arus perdagangan barang dan jasa. WTO adalah organisasi internasional global yang mengatur perdagangan antarnegara, dengan tujuan membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir, dalam melaksanakan bisnisnya agar berjalan lancar. Fungsi WTO yang merupakan forum pemerintah adalah menentukan aturan perdagangan internasional, menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, menyelesaikan masalah perdagangan antarnegara, memonitor kebijakan perdagangan anggotanya, memberikan bantuan teknis dan pelatihan bagi negara berkembang, dan kerja sama dengan organisasi internasional lain.

WTO pada masa lalu dianggap kurang dapat merespons kebutuhan negara-negara berkembang (yang mayoritas anggota WTO) karena harus menerapkan praktik-praktik perdagangan dengan disiplin tertentu yang kadang sulit diimplementasikan dengan kapasitasnya yang terbatas.

Namun, sejak Doha Development Agenda 2001 diluncurkan, kondisi berubah. WTO mulai ”berpihak” ke negara berkembang sehingga dalam perundingannya mempertimbangkan keterbatasan negara berkembang dalam melaksanakan komitmennya, menyadari kenyataan bahwa banyak negara berkembang merasa bahwa sistem yang ada menciptakan kelemahan kompetitif dalam hubungan dengan negara maju. Negara kurang berkembang juga termarjinalkan oleh perjanjian WTO dan sistem perdagangan multilateral yang ada.

Karena itu, prinsip yang diterapkan dalam berbagai kesepakatan WTO saat ini adalah tanpa diskriminasi, semakin terbuka, dapat diandalkan dan transparan, semakin kompetitif, memberikan manfaat lebih kepada negara sedang berkembang, serta memproteksi lingkungan dalam operasinya. WTO sudah mulai lebih ramah kepada negara sedang berkembang ataupun negara kurang berkembang.

Meski manfaat yang dinikmati negara berkembang terbatas, kehadiran WTO telah meningkatkan perdagangan global. Perdagangan dunia tumbuh 22 kali lipat pada kurun 1950-2000, dengan ekspor barang tumbuh 6 persen per tahun. Untuk periode 2000-2012, perdagangan dunia tumbuh 2,17 kali (UN Comtrade, 2013). Menurut WTO, cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa perdagangan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja di beberapa negara. World Commission on the Social Dimension of Globalization (2004) melaporkan dampak negatif globalisasi berdasarkan survei di 73 negara.

Hampir di semua kawasan, kecuali Asia Selatan, AS, dan Uni Eropa, jumlah penganggur dunia meningkat pada kurun 1990-2002, dan 59 persen masyarakat dunia hidup di negara dengan kesenjangan yang meningkat. Hanya 5 persen penduduk tinggal di negara-negara dengan kesenjangan menurun. Penyebabnya: aturan main global yang tak adil (lebih menguntungkan negara maju), lebih mengedepankan nilai kebendaan, telah mencabut sebagian kedaulatan negara berkembang, banyak pihak dirugikan oleh globalisasi, dan pemaksaan sistem ekonomi liberal di negara berkembang.

Karena itu, Stiglitz (2007) mengusulkan adanya sebuah kontrak sosial global antara negara maju dan negara sedang berkembang untuk mencapai keseimbangan baru. Salah satu usulan yang dikemukakan adalah perlunya komitmen negara maju untuk mengaplikasikan perdagangan yang adil, di mana semua subsidi dan hambatan dalam perdagangan dihilangkan. Namun, kita tahu perdagangan seperti itu tidak ada di dunia. Karena itu, Stiglitz mengusulkan supaya negara sedang berkembang diperlakukan berbeda agar adil.

Sikap Indonesia

Banyak pro dan kontra di Indonesia menghadapi KTM WTO di Bali. Dalam diskusi panel Fokus Grup Industri, Perdagangan, dan Investasi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia dengan Kementerian Perdagangan (12/11), pengusaha yang diwakili Ketua Apindo meminta sebaiknya KTM di Bali ”dimandekkan” agar tak ada komitmen baru karena pengusaha Indonesia sudah kewalahan dengan pembukaan pasar hingga saat ini. Ketua Komisi VI DPR mewanti-wanti Mendag tak membuat komitmen baru bagi Indonesia di Bali. LSM yang diwakili Direktur Eksekutif Institute for Global Justice mengemukakan banyaknya permasalahan Indonesia dalam pasar yang kian terbuka. Ia juga khawatir terhadap komitmen baru.

Kemendag yang diwakili Wakil Mendag mengharapkan munculnya Paket Bali awal Desember nanti. Target Indonesia dalam KTM Bali adalah paket kecil tetapi kredibel untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada WTO sebagai forum utama perundingan perdagangan multilateral, mencakup sekurangnya tiga elemen utama: fasilitasi perdagangan, isu tertentu dari perundingan sektor pertanian, dan isu-isu pembangunan, yang diharapkan bisa masuk dalam Paket Bali. Sementara itu, kesepakatan lain, seperti perluasan dan pendalaman Perjanjian Teknologi Informasi (PTI) yang bersifat plurilateral, dianggap bonus.

Melihat kontradiksi tajam antara pemerintah, DPR, LSM, dan pengusaha—kalaupun pemerintah berhasil mencapai berbagai kesepakatan yang intinya membuka pasar lebih luas (bahkan misalnya hanya untuk PTI)—pasti akan mendapatkan respons negatif dari DPR, pengusaha, atau LSM. Apalagi pembukaan pasar TI pada saat ini saja sudah membuat pasar TI di Indonesia banyak dibanjiri produk asing. Neraca perdagangan TI yang dulu surplus kini defisit dan nilainya cenderung meningkat karena tak bisa bersaing dengan produk luar. Demikian juga kinerja perdagangan produk nonpertanian secara umum negatif (Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis, FEB, UGM, 2012).

Indonesia yang anggota inti karena sudah menjadi anggota sejak WTO berdiri 1 Januari 1995 sebaiknya bermain cantik di Bali nanti. Usulan Kemendag agar KTM Bali mampu menghasilkan paket kecil yang dapat mengembalikan kepercayaan dunia pada WTO sebagai forum utama perundingan perdagangan multilateral adalah bagus. Hanya saja, komitmen baru pembukaan pasar Indonesia seperti perluasan dan pendalaman PTI sebaiknya tidak dilakukan. Jangan memberikan komitmen yang pada masa akan datang memberatkan ekonomi Indonesia.

Sebaiknya, Indonesia ”menyelamatkan diri” lebih dahulu dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang selama ini tidak digarap, yaitu meningkatkan daya saing dengan memperbaiki infrastruktur, SDM, kelembagaan, dan faktor pendukung lain. Jangan sampai rapor kerja sama ekonomi internasional—yang diukur dengan neraca perdagangan barang, jasa, modal, transaksi berjalan, neraca pembayaran— yang secara umum memburuk, kian memburuk. Jangan sampai dalam pasar yang semakin terbuka, Indonesia hanya jadi penonton atau bahkan korban dari globalisasi karena membuka pasarnya selebar-lebarnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar