Senin, 16 Desember 2013

Polemik Subsidi Perikanan

Polemik Subsidi Perikanan
Harjoko ;   Dosen STIA Bagasasi Bandung
KORAN JAKARTA,  16 Desember 2013

  

Masalah subsidi perikanan telah menjadi polemik hebat di tingkat global. Negara-negara maju tak henti-hentinya menuntut penghapusan dalam berbagai forum. Ada baiknya menepis tuntutan ini. 

Indonesia jangan sampai terjerumus dalam polemik subsidi perikanan sehingga usaha memperbaiki nasib nelayan kecil terganggu. Definisi nelayan kecil di forum internasional masih bias. Begitu pun di dalam negeri, masih terjadi perbedaan pendapat. Padahal definisi baku tersebut perlu segera ditentukan karena terkait dengan esensi peraturan pemerintah tentang Pembudidayaan Kecil dan Nelayan Kecil.

Selama ini, jumlah subsidi pemerintah untuk usaha perikanan tidak kecil, dan negara-negara maju cenderung menganggapnya mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan berdampak serius pada cadangan ikan. Saat Deklarasi Paracas di Peru pada forum menteri kelautan dan perikanan anggota Asia Pacific Economie Cooperation (APEC), Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tetap menyubsidi perikanan bagi nelayan berskala kecil meskipun ditentang negara-negara maju. 

Akar persoalan subsidi perikanan tidak sama bagi negara maju dengan negara 
berkembang sehingga sulit dicari titik temu. Namun, Indonesia juga harus memperhatikan kaidah Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) yang terdapat dalam dokumen WTO 1999. Ada masalah terkait dengan pemberian subsidi perikanan tidak tepat sasaran. 

Penerima justru bukan nelayan kecil, tetapi cukong besar. Seperti kasus subsidi BBM kepada nelayan dimangsa pengusaha besar atau para penyelundup. Juga subsidi pengadaan kapal nelayan yang tidak cocok spesifikasinya sehingga tidak terpakai, padahal sudah menghabiskan anggaran sangat besar.

Dalam ketentuan ASCM, definisi subsidi perikanan dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, subsidi yang dilarang karena dapat meningkatkan kapasitas tangkap dan mendistorsi perekonomian negara lain (prohibited subsidies).

Kedua, subsidi diperbolehkan selama tidak ada negara lain yang dirugikan (actionable subsidies). Ketiga, subsidi yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut (nonactionable subsidies). Pemerintah Indonesia menyatakan subsidi pada pelaku sektor ini tidak ada hubungannya dengan kelebihan kapasitas tangkap.

Meski demikian, pencurian ikan dalam skala besar, jika dibiarkan , bisa dianggap sebagai prohibited subsidies, khususnya meningkatkan kapasitas tangkap. Apalagi kapal-kapal pencuri ikan tersebut memakai BBM bersubsidi secara ilegal lalu membanjiri pasar domestik ikan hasil tangkapannya. 

Selama ini, Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah belum inovatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa belum terkelola dengan baik karena rintangan teknologi dan infrastruktur. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebaiknya mencakup program relokasi nelayan. 

Kehidupan nelayan di negeri ini didera sederet persoalan krusial, di antaranya serbuan ikan impor di pasar domestik dan kelangkaan BBM untuk melaut. Profesi nelayan kini masih terpuruk karena insentif dan program pemberdayaan kurang. Para nelayan sering tidak bisa memenuhi biaya operasional dan waktu menganggur semakin panjang. 

Program alih profesi bagi nelayan tangkap ke arah budi daya juga kurang efektif. Malahan menyebabkan stagnasi produksi dan semakin tingginya pencurian ikan. Semua itu sebenarnya takkan bertambah parah jika para nelayan tangkap jauh-jauh hari sudah diberdayakan dengan menekankan aspek inovasi teknologi dan insentif BBM. 

Jika program pemberdayaan nelayan bisa dilakukan secara efektif, target Indonesia menjadi eksportir perikanan terbesar di dunia dengan produksi 65 juta ton per tahun bisa cepat terwujud. Apalagi hal tersebut sangat didukung dengan luas perairan laut yang mencapai 580 juta hektare. Sayangnya, fakta berbicara lain. 

Paradoks

Ada paradoks yang menyesakkan dada. Sebagai negeri maritim, Indonesia harus mengimpor ikan dalam jumlah besar untuk kelangsungan hidup industri perikanan. Impor ikan setiap tahun meningkat 35 persen.

Tahun 2012, impor ikan 650.000 ton, padahal tahun sebelumnya 450.000 ton. Membanjirnya ikan impor, baik yang legal maupun ilegal, disebabkan industri pemindangan dan pengalengan dalam negeri kekurangan bahan baku.

Ada ironi, dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi, produksi perikanan tangkap baru 5 juta ton per tahun. Jumlah itu jauh lebih rendah dari China yang 16 juta ton per tahun meskipun perairannya lebih sempit.

Kondisi ini sulit berubah karena SDM kelautan masih terbelit keterbatasan alat tangkap. Mereka juga belum mengandalkan teknologi kelautan dan perikanan. Langkah Kementerian Perikanan dan Kelautan mengadakan kapal tangkap untuk nelayan banyak salah sasaran. Selain itu, pengadaan belum ditunjang pembangunan gudang ikan yang memadai. 

Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet saja memerlukan listrik 40 ribu watt. Sementara pasokan listrik sebesar itu masih sulit di pesisir dan pulau-pulau kecil. Idealnya, gudang penyimpanan ikan dilengkapi freezer selain cold storage.

Mesin freezer akan membekukan ikan hingga minus 40 derajat untuk mempertahankan kualitas dan mencegah berkembang biaknya bakteri. Proses pembekuan mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage dengan suhu minus 18 derajat sambil menunggu dikapalkan.

Dinamika budaya dan sosial ekonomi masyarakat nelayan, baik yang akan direlokasi maupun tujuan relokasi, sebaiknya dipahami dengan baik untuk menghindari distorsi dan konflik. Relokasi nelayan dapat dilakukan dengan mengefektifkan biaya operasi. Penting mengubah mata pencarian nelayan, misalnya menjadi pembudi daya ikan, pedagang perikanan, atau pengolah ikan. 

Mereka juga bisa alih profesi menjalankan kegiatan di luar sistem perikanan. Kebijakan tersebut merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumber daya perikanan yang ditekankan FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries, yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization.

Pada prinsipnya, kebijakan tersebut menitikberatkan kerja sama regional atau level negara dalam memanfaatkan sumber daya perikanan lintas batas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar