Masalah subsidi perikanan
telah menjadi polemik hebat di tingkat global. Negara-negara maju tak
henti-hentinya menuntut penghapusan dalam berbagai forum. Ada baiknya
menepis tuntutan ini.
Indonesia jangan sampai terjerumus dalam polemik subsidi
perikanan sehingga usaha memperbaiki nasib nelayan kecil terganggu.
Definisi nelayan kecil di forum internasional masih bias. Begitu pun di
dalam negeri, masih terjadi perbedaan pendapat. Padahal definisi baku
tersebut perlu segera ditentukan karena terkait dengan esensi peraturan
pemerintah tentang Pembudidayaan Kecil dan Nelayan Kecil.
Selama ini, jumlah subsidi pemerintah untuk usaha perikanan
tidak kecil, dan negara-negara maju cenderung menganggapnya mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat dan berdampak serius pada cadangan ikan. Saat
Deklarasi Paracas di Peru pada forum menteri kelautan dan perikanan anggota
Asia Pacific Economie Cooperation (APEC), Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk tetap menyubsidi perikanan bagi nelayan berskala kecil meskipun
ditentang negara-negara maju.
Akar persoalan subsidi perikanan tidak sama bagi negara maju
dengan negara
berkembang sehingga sulit dicari titik temu. Namun, Indonesia
juga harus memperhatikan kaidah Agreement on Subsidies and Countervailing
Measures (ASCM) yang terdapat dalam dokumen WTO 1999. Ada masalah terkait
dengan pemberian subsidi perikanan tidak tepat sasaran.
Penerima justru bukan nelayan kecil, tetapi cukong besar.
Seperti kasus subsidi BBM kepada nelayan dimangsa pengusaha besar atau para
penyelundup. Juga subsidi pengadaan kapal nelayan yang tidak cocok
spesifikasinya sehingga tidak terpakai, padahal sudah menghabiskan anggaran
sangat besar.
Dalam ketentuan ASCM, definisi subsidi perikanan dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, subsidi yang dilarang karena
dapat meningkatkan kapasitas tangkap dan mendistorsi perekonomian negara
lain (prohibited subsidies).
Kedua, subsidi diperbolehkan selama tidak ada negara lain yang
dirugikan (actionable subsidies). Ketiga, subsidi yang tidak termasuk dalam
dua kategori tersebut (nonactionable subsidies). Pemerintah Indonesia
menyatakan subsidi pada pelaku sektor ini tidak ada hubungannya dengan
kelebihan kapasitas tangkap.
Meski demikian, pencurian ikan dalam skala besar, jika
dibiarkan , bisa dianggap sebagai prohibited subsidies, khususnya
meningkatkan kapasitas tangkap. Apalagi kapal-kapal pencuri ikan tersebut
memakai BBM bersubsidi secara ilegal lalu membanjiri pasar domestik ikan
hasil tangkapannya.
Selama ini, Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah belum
inovatif dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi
sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa belum terkelola dengan
baik karena rintangan teknologi dan infrastruktur. Pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil sebaiknya mencakup program relokasi nelayan.
Kehidupan nelayan di negeri ini didera sederet persoalan
krusial, di antaranya serbuan ikan impor di pasar domestik dan kelangkaan
BBM untuk melaut. Profesi nelayan kini masih terpuruk karena insentif dan
program pemberdayaan kurang. Para nelayan sering tidak bisa memenuhi biaya
operasional dan waktu menganggur semakin panjang.
Program alih profesi bagi
nelayan tangkap ke arah budi daya juga kurang efektif. Malahan menyebabkan
stagnasi produksi dan semakin tingginya pencurian ikan. Semua itu
sebenarnya takkan bertambah parah jika para nelayan tangkap jauh-jauh hari
sudah diberdayakan dengan menekankan aspek inovasi teknologi dan insentif
BBM.
Jika program pemberdayaan
nelayan bisa dilakukan secara efektif, target Indonesia menjadi eksportir
perikanan terbesar di dunia dengan produksi 65 juta ton per tahun bisa
cepat terwujud. Apalagi hal tersebut sangat didukung dengan luas perairan
laut yang mencapai 580 juta hektare. Sayangnya, fakta berbicara lain.
Paradoks
Ada paradoks yang menyesakkan dada. Sebagai negeri maritim,
Indonesia harus mengimpor ikan dalam jumlah besar untuk kelangsungan hidup
industri perikanan. Impor ikan setiap tahun meningkat 35 persen.
Tahun 2012, impor ikan 650.000 ton, padahal tahun sebelumnya
450.000 ton. Membanjirnya ikan impor, baik yang legal maupun ilegal,
disebabkan industri pemindangan dan pengalengan dalam negeri kekurangan
bahan baku.
Ada ironi, dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi,
produksi perikanan tangkap baru 5 juta ton per tahun. Jumlah itu jauh lebih
rendah dari China yang 16 juta ton per tahun meskipun perairannya lebih
sempit.
Kondisi ini sulit berubah karena SDM kelautan masih terbelit
keterbatasan alat tangkap. Mereka juga belum mengandalkan teknologi
kelautan dan perikanan. Langkah Kementerian Perikanan dan Kelautan
mengadakan kapal tangkap untuk nelayan banyak salah sasaran. Selain itu,
pengadaan belum ditunjang pembangunan gudang ikan yang memadai.
Gudang ikan kapasitas 30 ton atau seukuran kontainer 40 feet
saja memerlukan listrik 40 ribu watt. Sementara pasokan listrik sebesar itu
masih sulit di pesisir dan pulau-pulau kecil. Idealnya, gudang penyimpanan
ikan dilengkapi freezer selain cold storage.
Mesin freezer akan membekukan ikan hingga minus 40 derajat
untuk mempertahankan kualitas dan mencegah berkembang biaknya bakteri.
Proses pembekuan mutlak dibutuhkan sebelum ikan dipindahkan ke cold storage
dengan suhu minus 18 derajat sambil menunggu dikapalkan.
Dinamika budaya dan sosial ekonomi masyarakat nelayan, baik
yang akan direlokasi maupun tujuan relokasi, sebaiknya dipahami dengan baik
untuk menghindari distorsi dan konflik. Relokasi nelayan dapat dilakukan
dengan mengefektifkan biaya operasi. Penting mengubah mata pencarian
nelayan, misalnya menjadi pembudi daya ikan, pedagang perikanan, atau
pengolah ikan.
Mereka juga bisa alih profesi menjalankan kegiatan di luar
sistem perikanan. Kebijakan tersebut merupakan adopsi dari salah satu
bentuk pengelolaan sumber daya perikanan yang ditekankan FAO melalui Code
of Conduct for Responsible Fisheries, yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization.
Pada prinsipnya, kebijakan tersebut menitikberatkan kerja sama
regional atau level negara dalam memanfaatkan sumber daya perikanan lintas
batas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar