Jumat, 13 Desember 2013

Hak Atas Lingkungan Sehat

Hak Atas Lingkungan Sehat
Abdul Wahid  ;   Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang
KORAN JAKARTA,  12 Desember 2013
  


Kehidupan manusia semakin mengkhawatirkan karena lapisan ozon yang menjaga keseimbangan ekologis dan keberlanjutan hidup dari hari ke hari semakin menipis. Pemimpin-pemimpin dunia sudah berkali-kali mengadakan konferensi internasional untuk memecahkan pemanasan global, yang salah satu agendanya tentang menipisnya lapisan ozon dan hilangnya hak hidup sehat, tapi hasilnya tak maksimal. 

Berkat gencarnya kampanye PBB mengajak negara-negara untuk memerangi penyebab menipisnya lapisan ozon, mulai muncul kesadaran untuk memeliharanya. Namun, di Indonesia, upaya memerangi penyebab menipisnya lapisan ozon masih harus di digencarkan lagi.

Salah satu akar masalah yang menyebabkan lapisan ozon di negara ini semakin menipis karena kerusakan hutan makin meluas. Sumber daya hutan terus menyusut karena ulah pembalakan hutan yang telah mengakibatkan Bumi dan langit kehilangan ketahanan dan keseimbangannya dalam menjaga lapisan ozon.

Hutan Indonesia berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Hutan Amazon juga salah satu yang turut menjadi penyeimbang ekosistem. Namun sejak 2000, keadaan hutan seluas 5,5 juta kilometer persegi yang terbentang di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Brasil, dan beberapa negara lain banyak yang gundul. Luasnya mencapai 587.000 kilometer persegi.

Demikian juga hutan di negara ini, dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan. Laju kerusakan hutan Indonesia terparah di dunia, 2 persen per tahun. Ini lebih tinggi dari Brasil yang hanya 0,6 persen. Ann Jr menyebutkan data kerusakan hutan setara dengan 1,87 juta hektare per tahun. Sama dengan 51 kilometer per hari atau 300 lapangan sepak bola setiap jam. Bencana banjir dan tanah longsor terjadi di hampir seluruh wilayah Tanah Air setiap musim hujan, (Hilman, 2012). 

Itu semua tak lepas dari keserakahan dan egoisme manusia. Mereka tak sadar, tindakan tersebut menuntut ongkos sangat mahal berupa kerapuhan ekologis. Kalau sudah begitu, siapa sebenarnya yang layak atau sepatutnya dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) dalam kerusakan hutan? Seseorang atau sekelompok, termasuk yang tergabung dalam korporasi yang telah membalak hutan harus bertanggung jawab penipisan lapisan ozon.

Penebangan hutan yang dilakukan korporasi yang didukung resmi negara seperti membuka kawasan hutan lindung daya destruktifnya sangat luas. Hak pengusahaan hutan juga berpartisipasi merusak hutan. Mereka menebang, tak pernah menanam. Korporasi juga diberi hak memanfaatkan hutan lindung untuk disulap menjadi kawasan bisnis (industrialisasi).

Meski atas nama kepentingan pembangunan (pengembangan) sektor perekonomian, praktik penjualan hutan seperti kawasan hutan lindung yang dilakukan oleh pemerintah kepada korporasi sangat merugikan. Katakanlah dengan penjualan hutan lindung senilai 120 rupiah sampai 300 rupiah per meter, tentulah ini sebuah harga yang tidak ada nilainya manakala dikaitkan fungsi hutan lindung yang sangat vital dalam kehidupan.

Maka, masyarakat harus mengkritisi kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung terlibat dalam partisipasi sehingga lapisan ozon menipis. Korporasi yang telah dimanjakan melakukan pembalakan hutan ini telah menjadi bagian dari akar penyakit yang mengakibatkan kerusakan lapisan ozon. Semua berimplikasi pada pemanasan global (global warning).

Aristoteles pernah mengingatkan, semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka tambah rendahlah penghargaan pada nilai-nilai kesusilaan, kejujuran, humanitas, dan keadilan. Dengan kata lain, menipisnya lapisan ozon merupakan cost yang harus dibayar akibat pengejaran kepentingan ekonomi.

Banyak negara-negara terus melakukan eksperimen untuk melindungi lingkungan demi menjaga kondisi lapisan ozon, seperti Arab Saudi yang menciptakan "hutan kota" dengan cara mengimpor pohon. Mereka gencar mengutamakan proyek-proyek pembangunan berbasis ketahanan ekologis, sementara Indonesia semakin larut dalam memburu keuntungan ekonomi, meski harus mengorbankan ketahanan ekologis.

Di sinilah Aristoteles mengingatkan, semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (ekonomi), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan kepatutan.

Belajar dari upaya yang dilakukan negara lain tersebut, tampaknya paradigma politik pembangunan yang berbasis perburuan ekonomi, yang dilakukan oleh negara dengan korporasi inilah yang selayaknya dijadikan common enemy. 
Mereka inilah yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi semakin rentannya ketahanan fisik dan rusaknya konstruksi dan "anatomi" sumber daya alam. 

Mereka inilah yang harus terus-menerus diperlakukan sebagai "musuh bersama" oleh masyarakat, jika masih ingin lapisan ozonnya dilindungi dan hak keberlanjutan hidupnya terjaga dengan normal. Semakin gampangnya tereduksi hak kesehatan manusia tidak lepas dari pembiaran berbagai bentuk perusakan sumber daya alam.

Masyarakat tidak boleh diam. Warga harus terus menyuarakan (memperjuangkan) salah satu hak asasinya, yang sudah terjamin dalam Universal Declaration of Human Rights. Deklarasi Kairo, Konstitusi Indonesia, dan UU Nomor 39 Tahun 1999, yang secara general meregulasi, bahwa masyarakat berhak menikmati hak hidup dan jaminan keselamatan serta kualitas kesehatannya. 

Suara masyarakat diharapkan dapat mengingatkan dan menyadarkan pemerintah yang sedang alpa dalam menjalankan amanatnya. Keserakahan korporasi yang merusak hutan atas nama kepentingan ekonomi (industri) dan restu pemerintah harus disikapi sebagai ancaman serius keberlanjutan hidup. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar