Kehidupan manusia semakin mengkhawatirkan
karena lapisan ozon yang menjaga keseimbangan ekologis dan keberlanjutan
hidup dari hari ke hari semakin menipis. Pemimpin-pemimpin dunia sudah
berkali-kali mengadakan konferensi internasional untuk memecahkan pemanasan
global, yang salah satu agendanya tentang menipisnya lapisan ozon dan
hilangnya hak hidup sehat, tapi hasilnya tak maksimal.
Berkat
gencarnya kampanye PBB mengajak negara-negara untuk memerangi penyebab
menipisnya lapisan ozon, mulai muncul kesadaran untuk memeliharanya. Namun,
di Indonesia, upaya memerangi penyebab menipisnya lapisan ozon masih harus
di digencarkan lagi.
Salah
satu akar masalah yang menyebabkan lapisan ozon di negara ini semakin
menipis karena kerusakan hutan makin meluas. Sumber daya hutan terus
menyusut karena ulah pembalakan hutan yang telah mengakibatkan Bumi dan
langit kehilangan ketahanan dan keseimbangannya dalam menjaga lapisan ozon.
Hutan
Indonesia berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Hutan Amazon
juga salah satu yang turut menjadi penyeimbang ekosistem. Namun sejak 2000,
keadaan hutan seluas 5,5 juta kilometer persegi yang terbentang di beberapa
negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Brasil, dan beberapa negara lain
banyak yang gundul. Luasnya mencapai 587.000 kilometer persegi.
Demikian
juga hutan di negara ini, dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan. Laju
kerusakan hutan Indonesia terparah di dunia, 2 persen per tahun. Ini lebih
tinggi dari Brasil yang hanya 0,6 persen. Ann Jr menyebutkan data kerusakan
hutan setara dengan 1,87 juta hektare per tahun. Sama dengan 51 kilometer
per hari atau 300 lapangan sepak bola setiap jam. Bencana banjir dan tanah
longsor terjadi di hampir seluruh wilayah Tanah Air setiap musim hujan, (Hilman, 2012).
Itu
semua tak lepas dari keserakahan dan egoisme manusia. Mereka tak sadar,
tindakan tersebut menuntut ongkos sangat mahal berupa kerapuhan ekologis.
Kalau sudah begitu, siapa sebenarnya yang layak atau sepatutnya dijadikan
sebagai musuh bersama (common enemy)
dalam kerusakan hutan? Seseorang atau sekelompok, termasuk yang tergabung
dalam korporasi yang telah membalak hutan harus bertanggung jawab penipisan
lapisan ozon.
Penebangan
hutan yang dilakukan korporasi yang didukung resmi negara seperti membuka
kawasan hutan lindung daya destruktifnya sangat luas. Hak pengusahaan hutan
juga berpartisipasi merusak hutan. Mereka menebang, tak pernah menanam.
Korporasi juga diberi hak memanfaatkan hutan lindung untuk disulap menjadi
kawasan bisnis (industrialisasi).
Meski
atas nama kepentingan pembangunan (pengembangan) sektor perekonomian,
praktik penjualan hutan seperti kawasan hutan lindung yang dilakukan oleh
pemerintah kepada korporasi sangat merugikan. Katakanlah dengan penjualan
hutan lindung senilai 120 rupiah sampai 300 rupiah per meter, tentulah ini
sebuah harga yang tidak ada nilainya manakala dikaitkan fungsi hutan
lindung yang sangat vital dalam kehidupan.
Maka,
masyarakat harus mengkritisi kebijakan pemerintah yang secara tidak
langsung terlibat dalam partisipasi sehingga lapisan ozon menipis.
Korporasi yang telah dimanjakan melakukan pembalakan hutan ini telah
menjadi bagian dari akar penyakit yang mengakibatkan kerusakan lapisan
ozon. Semua berimplikasi pada pemanasan global (global warning).
Aristoteles
pernah mengingatkan, semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan,
maka tambah rendahlah penghargaan pada nilai-nilai kesusilaan, kejujuran,
humanitas, dan keadilan. Dengan kata lain, menipisnya lapisan ozon
merupakan cost yang harus dibayar akibat pengejaran kepentingan ekonomi.
Banyak
negara-negara terus melakukan eksperimen untuk melindungi lingkungan demi
menjaga kondisi lapisan ozon, seperti Arab Saudi yang menciptakan
"hutan kota" dengan cara mengimpor pohon. Mereka gencar
mengutamakan proyek-proyek pembangunan berbasis ketahanan ekologis,
sementara Indonesia semakin larut dalam memburu keuntungan ekonomi, meski
harus mengorbankan ketahanan ekologis.
Di
sinilah Aristoteles mengingatkan, semakin tinggi penghargaan manusia
terhadap kekayaan (ekonomi), maka semakin rendahlah penghargaan manusia
terhadap nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan
kepatutan.
Belajar
dari upaya yang dilakukan negara lain tersebut, tampaknya paradigma politik
pembangunan yang berbasis perburuan ekonomi, yang dilakukan oleh negara
dengan korporasi inilah yang selayaknya dijadikan common enemy.
Mereka
inilah yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi semakin rentannya
ketahanan fisik dan rusaknya konstruksi dan "anatomi" sumber daya
alam.
Mereka
inilah yang harus terus-menerus diperlakukan sebagai "musuh
bersama" oleh masyarakat, jika masih ingin lapisan ozonnya dilindungi
dan hak keberlanjutan hidupnya terjaga dengan normal. Semakin gampangnya
tereduksi hak kesehatan manusia tidak lepas dari pembiaran berbagai bentuk
perusakan sumber daya alam.
Masyarakat
tidak boleh diam. Warga harus terus menyuarakan (memperjuangkan) salah satu
hak asasinya, yang sudah terjamin dalam Universal Declaration of Human
Rights. Deklarasi Kairo, Konstitusi Indonesia, dan UU Nomor 39 Tahun 1999,
yang secara general meregulasi, bahwa masyarakat berhak menikmati hak hidup
dan jaminan keselamatan serta kualitas kesehatannya.
Suara
masyarakat diharapkan dapat mengingatkan dan menyadarkan pemerintah yang
sedang alpa dalam menjalankan amanatnya. Keserakahan korporasi yang merusak
hutan atas nama kepentingan ekonomi (industri) dan restu pemerintah harus
disikapi sebagai ancaman serius keberlanjutan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar