Jumat, 20 Desember 2013

Masih Ada Asa di Tengah Kota yang Sakit

Masih Ada Asa di Tengah Kota yang Sakit
Banu Astono  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  20 Desember 2013
  


PERSOALAN yang dihadapi sejumlah kota di Indonesia nyaris sama. Rendahnya respons pimpinan daerah terhadap aspirasi warga karena kuatnya kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kekacauan tata ruang, alih fungsi lahan, bencana kemacetan, banjir yang tetap mengepung warga, infrastruktur yang buruk, dan ruang publik yang terpangkas menjadi ruang komersial demi hasrat para pemilik modal.

Dampaknya, manajemen kota berjalan terseok-seok. Kota tidak memiliki sistem transportasi yang andal. Pembangunan kota tak lagi mengacu pada tata ruang yang telah disepakati oleh semua pemangku kepentingan karena adanya ”perselingkuhan” di bawah meja. Warga pun hanya menjadi obyek, bukan subyek pembangunan.

Hasilnya, kota semakin semrawut dan rendah produktivitas. Warga menjadi sakit, gampang tersinggung, dan mudah marah sehingga memicu kebencian yang berujung pada tawuran antarwarga atau antarkampung yang belakangan ini kerap muncul.

Jakarta tak terkecuali menjadi salah satu bagian dari kota sakit tersebut. Persoalan kemacetan dari waktu ke waktu semakin parah. Bahkan, kondisi jalanan di Jakarta nyaris menjadi lahan parkir terpanjang dan terluas di dunia.

Kondisi kemacetan itu semakin menggila ketika Pemprov DKI menerapkan kebijakan disinsentif kepada para pengguna kendaraan pribadi dengan kebijakan sterilisasi jalur bus transjakarta. Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Polda Metro Jaya menerapkan denda maksimal sebesar Rp 500.000 kepada para penerobos jalur bus transjakarta.

Upaya belum berhenti. Sejak 16 Desember, Pemprov DKI Jakarta menggandeng PT Jasa Marga menutup pintu keluar Tol Pancoran, Tegal Parang, dan Dharmais pukul 08.00-10.00. Langkah uji coba penutupan selama sepekan ini untuk mengetahui sejauh mana kebijakan itu efektif mengurangi tekanan perjalanan di jalur arteri.

Harapannya, kemacetan bisa diurai atau pengendara kendaraan pribadi berpindah ke transportasi publik. Masalahnya, saat ini Pemprov DKI Jakarta tidak mampu mengimbangi kebijakan itu dengan penyediaan bus yang cukup.

Jumlah bus transjakarta ataupun angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB) yang ada terlalu sedikit untuk mengangkut jutaan orang yang akan melakukan perjalanan. Sampai saat ini, baru ada 579 bus transjakarta di 12 koridor dan 103 unit bus APTB di 10 rute yang ada.

Dampaknya, pada jam sibuk terlihat jejalan manusia dalam halte transjakarta, terutama di Koridor Pinang Ranti-Grogol. Waktu tunggu tercepat hingga 30 menit sekali. Janjinya setiap 5-10 menit sekali penumpang transjakarta terangkut, dan 15 menit sekali penumpang APTB terangkut.

Demikian juga penataan kawasan terbuka hijau ataupun areal di sekitar Waduk Pluit ataupun Ria Rio juga belum beres dari okupasi warga. Banyak faktor, salah satunya, jumlah rumah susun sewa untuk relokasi warga masih terbatas.

Selain itu, kerja sama wilayah Bogor-Puncak-Cianjur dan Banten untuk mengatasi tekanan banjir dan kemacetan di Ibu Kota tidak efektif. Pertemuan tiga gubernur, yakni Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, belum berbuah hasil.

Tidak mudah mengatasi kota sakit tersebut. Dalam kepemimpinan yang baru berjalan satu tahun dua bulan, Gubernur Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama berusaha untuk mengatasinya.

Meskipun hasilnya belum maksimal, paling tidak langkah kebijakan duet Jokowi-Basuki dalam bidang kesehatan dan pendidikan lumayan efektif. Meski kebijakan ini bukan yang pertama karena sebelumnya Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Wali Kota Solo Joko Widodo telah melakukannya.

Kota bersahabat

Di bawah duet kepemimpinan Jokowi-Basuki, pelayanan kesehatan yang standar relatif menjadi lebih baik. Demikian juga pelayanan pendidikan kini lebih akomodatif sehingga tidak lagi menjadi ladang empuk korupsi. Warga kini bisa menikmati pendidikan berbiaya murah dan berkualitas.

Pada saat yang sama, Pemprov DKI juga terus berupaya menambah angkutan publik bus transjakarta menjadi 732 unit dan APTB menjadi 360 unit. Dengan demikian, jumlah perjalanan yang terlayani menjadi lebih besar di 12 koridor yang ada dan 10 rute yang tersedia.

Semangat Pemprov DKI untuk membuat kota semakin cantik juga terus dilakukan. Hal itu bisa dilihat dari langkah pembersihan warga ilegal di kawasan waduk. Kawasan yang selama ini diokupasi pedagang kaki lima, seperti di Tanah Abang (Jakarta Pusat), Pasar Gembrong dan Jatinegara (Jakarta Timur), dan Pasar Minggu (Jakarta Selatan), disapu bersih.

Pembersihan kawasan waduk juga tidak berhenti. Meskipun protes terus berdatangan, Pemprov DKI tetap menertibkannya. Rumah warga di lahan ilegal dirobohkan, kemudian mereka ditawarkan untuk pindah ke rumah susun yang dilengkapi dengan perabotan.

Kawasan Waduk Ria Rio seluas 25 hektar disulap. Areal seluas 9 hektar dijadikan waduk dan sisanya, 16 hektar, ditata menjadi ruang terbuka hijau, taman rekreasi, dan pusat bisnis. Penataan ini akan menelan dana sekitar Rp 1 triliun.

Demikian juga dengan Waduk Pluit, Jakarta Utara. Pemprov DKI mengalokasikan dana Rp 1 triliun. Dana itu akan dipakai untuk pembangunan sheet pile (dinding beton) Rp 190 miliar dan biaya pengerukan waduk Rp 800 miliar.

Hasil belum banyak, tetapi ada asa bagi warga. Aspirasi mereka didengar dan harapan kota sakit menjadi kota yang ramah terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar