Manfaatkan Kesepakatan
Bali
Pande Radja Silalahi ; Peneliti Senior CSIS
|
SUARA
KARYA, 23 Desember 2013
Selama ini Indonesia selalu bangga menyatakan
dirinya sebagai negara agraris, negeri lumbung pangan dan dapat menyediakan
kebutuhan pangan bagi masyarakat dunia. Tetapi, kenyataan justru sebaliknya.
Data Departemen Pertanian menunjukkan, selama
sembilan bulan pada tahun 2013, neraca perdagangan subsektor bahan makanan
mengalami defisit sekitar 3,801 miliar dolar AS. Di antaranya 182,455 juta
dolar AS untuk beras, 1,830 miliar dolar AS untuk gandum, 570,479 juta dolar
AS untuk jagung, dan 748,100 juta dolar AS untuk kedelai.
Beberapa tahun sebelumnya, posisi neraca
perdagangan bahan makanan Indonesia juga mengalami defisit. Pada tahun 2012,
defisit total bahan makanan mencapai 6,156 miliar dolar AS, yang di antaranya
defisit untuk beras mencapai 1,006 miliar dolar AS, gandum defisit 2,449
miliar dolar AS, jagung defisit 516,428 juta dolar AS, dan kedelai defisit
1,310 miliar dolar AS.
Secara keseluruhan defisit perdagangan
Indonesia pada tahun 2012 adalah 1,669 miliar dolar AS. Pada sembilan bulan
pertama tahun 2013, neraca perdagangan nonmigas Indonesia masih surplus 3,483
miliar dolar AS.
Dari data itu, jelas terlihat sektor pertanian
telah menjadi beban bagi perekonomian Indonesia. Untuk memperbaikinya
dibutuhkan langkah-langkah strategis yang sistematis. Kebijakan subsidi
sesuai dengan peluang yang diberikan oleh WTO (Organisasi Perdagangan Dunia)
perlu dimanfaatkan secara terarah. Pemberian subsidi ataupun rangsangan
tertentu perlu dilakukan dengan mempertimbangkan secara cermat kepentingan
produsen dan konsumen.
Kebijakan fasilitasi perdagangan dalam
perputarannya akan menurunkan biaya distribusi sehingga akan menguntungkan
produsen dan konsumen tertentu. Yang patut mendapat perhatian di Indonesia
adalah apa yang dituntut dari Indonesia, misalnya, agar biaya distribusi
dapat ditekan.
Bagi Indonesia, hal itu penting karena
birokrasi di negara ini dianggap masih kurang efisien. Sampai saat ini belum
ada studi secara terperinci untuk memperbandingkan produktivitas birokrasi
Indonesia dengan rekannya yang menjadi eksportir atau importir ke dan dari
Indonesia.
Hal yang selalu mendapat sorotan dan
dipersalahkan adalah daya kompetisi atau daya saing pengusaha di Indonesia.
Beberapa studi memang menunjukkan ada perbaikan di birokrasi. Contohnya,
waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan (enforce)
kontrak telah dapat diturunkan menjadi 498 hari. Waktu yang dibutuhkan untuk
memulai bisnis pada tahun 2012 adalah 47 hari yang berarti turun dua hari
apabila dibandingkan dengan tahun 2010; dan waktu mempersiapkan dan membayar
pajak dibutuhkan selama 259 jam.
Dalam Paket Bali, capacity building dalam
rangka pengembangan perdagangan mendapat perhatian. Fasilitas yang tersedia
di bidang itu harus dimanfaatkan oleh Indonesia seoptimal mungkin. Untuk itu,
Indonesia perlu bersikap realistis dalam memanfaatkan fasilitas yang
tersedia.
Tidak dapat disangkal bahwa pertemuan di Bali
baru-baru ini telah membalikkan pesimisme menjadi optimisme bagi
berlangsungnya pengaturan interaksi ekonomi yang bersifat multilateral. Walau
demikian, Indonesia tidak perlu terpaku dengan keberhasilan itu.
Terobosan-terobosan termasuk yang bersifat regional apabila dianggap perlu
dapat dilakukan demi kepentingan nasional Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar