KEMATIAN adalah otoritas
absolut Ilahi yang penuh misteri, tetapi pasti. Allah, penguasa dan penentu
segalanya, memberikan kepastian memanggil salah satu hamba terbaiknya,
Nelson Mandela.
Hamba-hamba lain tak kuasa
menahan kepergian sang tokoh dan legenda itu. Kita semua menangisi
kepergiannya karena ia telah meninggalkan jejak dan karya agung yang amat
monumental bagi peradaban manusia.
Abad XX diawali Revolusi
Bolshevik di Rusia yang menaikkan komunis. Selama delapan dekade, terutama
tatkala Stalin berkuasa, manusia jadi korban ideologi dan kekuasaan yang
semena-mena. Lalu Hitler mengaum dan melumat sekian juta manusia. Di antara
itu, ada Perang Dunia I dan II yang juga menewaskan jutaan manusia. Abad XX
juga masih menyisakan kekejaman kaum kolonial di berbagai belahan dunia.
Sejarah kelam abad XX dilengkapi lagi oleh kekejian rezim Pol Pot di
Kamboja, merenggut jutaan nyawa.
Moral anti-kekerasan
Menjelang paruh abad XX ini,
sejarah memiliki Mahatma Gandhi yang muncul dengan gerakan anti-kekerasan (non-violent). Ajaran moral
anti-kekerasan ini merupakan deklarasi sikap atas penolakan manusia yang
disewenang-wenangi oleh kerakusan kekuasaan imperalis ketika itu. Lalu,
prinsip ini diaplikasikan dalam bentuk gerakan boikot dan pembangkangan
sosial. Kekerasan kolonial dihadapi dengan gerakan bisu sunyi melalui
pemogokan massal. Dunia tersentak. Sejarah baru peradaban manusia menemukan
tapak baru dalam menyiasati kehidupan manusia yang pelik akibat
imperialisme. Menjelang berakhirnya abad XX, seorang tokoh hebat lain
tampil memberi teladan tentang peradaban dan cara baru dalam menyiasati
kepelikan dan persoalan hidup: Nelson Mandela.
Tatkala melangkahkan kaki keluar
penjara yang mengurungnya selama 27 tahun atas prinsip yang diyakini
kebenarannya (anti-apartheid), dunia menganggap ia mengguncang kekuasaan
kulit putih yang mendera Afrika Selatan selama beberapa abad. Sebuah
kekuasaan yang telah menyita usia muda sang tokoh. Dunia saat itu menanti
amuk kapak balasan dari Mandela.
Ternyata dunia keliru duga
ketika itu. Mandela justru memulai sebuah langkah yang sangat spektakuler.
Sebelum melangkah keluar, ia ingin bertemu dulu dengan sipir penjara yang
pernah mengencinginya. Ia memberi tahu sang sipir bahwa ia memaafkan
dirinya dan semoga perlakuan itu tidak diulanginya lagi.
Di luar tembok penjara, di
tengah jutaan warga kulit hitam yang mengusung dan menyanjungnya sebagai
pembebas kaum kulit hitam, Mandela justru berjuang mengerem kebebasan itu
agar tidak liar. Mandela justru menghadapi perjuangan baru, bagaimana meredam
rasa dendam dan mengubur syahwat kekerasan atas nama keadilan. Mandela
berhasil menggunakan kebebasan sebagai mesin pembangkit listrik, menyalakan
lampu untuk menerangi kehidupan. Tidak menggunakan kebebasan sebagai aliran
listrik yang menyengat dan membahayakan.
Dengan otoritas moral dan wibawa
sang legenda, ia memimpin bangsanya keluar dari kemelut. Ia menawarkan cara
penyelesaian soal yang beradab. Mandela menerapkan filosofi lama Afrika: Ubuntu,
yang bermakna rekonsiliasi, pengampunan, cinta, dan berbagi. Slogan: ”We forgive, but not to forget,”
menjadi slogan dunia. Memaafkan tentu saja bukan tanpa syarat. Mandela
menghendaki adanya pengakuan kesalahan dan kekhilafan. Pengakuan atas
kesalahan dan kekhilafan adalah sebuah hukuman tersendiri dan refleksi dari
keinginan untuk tak melakukan hal yang sama di kesempatan lain. Oleh karena
itu, harus dimaafkan.
Sikap Mandela ini membuka babak
baru sejarah peradaban manusia. Tapak tentang cara menggunakan kebebasan
untuk kehidupan damai dan harmoni. Bukan dengan kebebasan kita menciptakan
tirani baru yang dibungkus label keadilan. Bagi Mandela, kebebasan adalah
nilai yang harus diperjuangkan dengan harga apa pun, demi menciptakan
harmoni dan kesamaan. ”Freedom is a
way where all persons live together in harmony and with equal opportunity,”
katanya.
Kebebasan
Mandela sadar betul kebebasan
yang diperolehnya bersama warga kulit hitam Afrika Selatan, tak boleh
dipakai sebagai alat pembenaran untuk menindas kulit putih yang selain
minoritas, juga sewenang-wenang. Ia tidak ingin rakyat Afrika Selatan
didera kekerasan tanpa tepian. Ia tidak ingin rakyatnya terus-menerus dalam
pusaran dan garis demarkasi antara ”kami yang hitam” dan ”mereka yang
putih”. Karena itu, pilu masa silam sebaiknya diketepikan. Kebebasan harus
segera dimanfaatkan untuk kehidupan harmoni demi kesejahteraan. Hasilnya,
kekerasan dan amuk balas dendam kulit hitam terhadap kulit putih bisa
dihindari. Afrika Selatan pun muncul sebagai negara paling maju di Benua
Afrika.
Kebebasan jadi lahan subur buat kehidupan harmoni dan
kesejahteraan.
Saat keluar dari penjara,
Mandela amat menyadari warga kulit hitam yang mengagumi dan mengidolakannya
menunggu perintah sang pemimpin. Kesadaran itulah yang membimbingnya untuk
memimpin bangsanya, terutama warga kulit hitam, agar menempuh jalan
peradaban dalam menerima kebebasan yang berabad-abad diperjuangkannya.
Mandela tahu betul, kebebasan adalah otonomi diri tertinggi. Ia manfaatkan
otonomi dan otoritas itu memimpin ke arah yang konstruktif. ”Freedom is to master my way and to be
the captain of myself,” katanya suatu ketika.
Mandela menyebarkan kearifan tak
tepermanai itu juga bagi kita di Indonesia. Tak lama setelah keluar dari
penjara, tahun 1990, ia datang ke Indonesia dalam rangka peringatan
Konferensi Asia Afrika. Ia berkunjung ke Bandung, kota penyelenggaraan
konferensi yang menumbuhkan semangat persatuan dua benua yang berabad
lamanya di bawah hegemoni kekuatan Eropa dan Amerika. Mandela yang mengaku
terlecut oleh pidato-pidato menggugah Soekarno kaget tiada gambar sang
tokoh di deretan foto-foto pemimpin Asia Afrika di Museum Asia Afrika.
Kearifan dan kebesaran hati
Mandela di negerinya sungguh tak menjadi cermin bagi pemimpin Indonesia
saat itu. Kisah ”foto yang hilang” di Museum Asia Afrika seakan
mengabadikan dendam dan syak wasangka di hati pemimpin negeri ini.
Begitulah. Gandhi memimpin
bangsanya dengan kemampuan kepemimpinan untuk meredam emosi dan kemarahan
melalui gerakan anti-kekerasan. Mandela memimpin bangsanya untuk mengelola
kebebasan dengan tema rekonsiliasi. Setelah sukses membebaskan bangsanya
dari sistem apartheid, kini Mandela membebaskan diri dari segalanya.
Selamat jalan Mandela. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar