Senin, 23 Desember 2013

Gelombang Kepemimpinan Baru

Gelombang Kepemimpinan Baru
Hajriyanto Y Thohari  ;   Wakil Ketua MPR RI
KORAN SINDO,  23 Desember 2013
  


Indonesia telah berumur 68 tahun. Jika diukur dengan usia manusia, Indonesia sudah tua. Walhasil usaha dan upaya untuk mewujudkan citacita nasional sebagaimana tersebut dalam Pembukaan UUD 1945 sudah cukup lama. 

Sudah enam orang presiden memimpin upaya nasional itu. Hati kita risau karena melihat gelagatnya masih sangat jauh dan panjang bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang sejahtera, cerdas, maju, dan berjaya di tengah bangsa lain. Kenyataan ini tidak jarang membikin kita nyaris frustrasi. Apalagi jika kita melihat indikator-indikator di berbagai bidang kehidupan seperti yang tercermin pada indeks pembangunan manusia. Betapa tidak, di kawasan Asia Tenggara saja kita belum berjaya. 

Alih-alih meraih prestasi kejayaan di antara bangsa-bangsa Asia dan dunia, tampaknya masih memerlukan beberapa generasi lagi. Kita masih termasuk dalam kategori bangsa yang tertinggal di belakang. Bangsa konsumen produk bangsa lain. Sangat meyakinkan, ketertinggalan ini telah menjadikan kita dihinggapi psikologi kekalahan dan rendah diri. Ada gejala kita mengalami krisis percaya diri (self confident) yang mengakibatkan kita menjadi kurang semangat, lemah etos untuk berjuang, dan kehilangan elan vital. 

Kalaulah bukan karena ajaran agama yang mengharamkan berputus asa, kita sebagai orang beriman kepada Tuhan tidak lagi punya optimisme. Tetapi, sebagai insan Pancasila, kita tetap yakin bahwa prestasi dan prestise itu meski masih panjang dan lama, pasti akan datang juga. Dalam Alquran disebutkan bahwa ”Masa-masa kejayaan itu Aku (Allah) pergilirkan di antara bangsa-bangsa” (wa tilka al-ayyamu nudawiluha bainal-nas (QS AliImran: 140). Sebenarnya sangatlah beralasan manakala sebagai orang yang beriman setiap anak bangsa senantiasa risau dan bertanya-tanya kapan giliran bangsa dan negaranya, Indonesia, maju, dan berjaya secara ekonomi, politik, dan peradaban?

Mempunyai Semua Prasyarat 

Pertanyaan ini hadir karena kita meyakini bahwa sebenarnya bangsa Indonesia dapat menyusul ketertinggalan dari bangsa lain. Sejatinya syarat untuk mencapai kemajuan ada terdapat dalam bangsa ini. Menurut Prof Kishore Mahbubani (dari School of Lee Kwan Yew Public Policy, NUS), berdasarkan pengalaman China, India, dan beberapa negara Asia yang maju lainnya yang pernah ditelitinya, faktor-faktor yang menjadi syarat kemajuan suatu bangsa sejatinya ada pada diri bangsa Indonesia. 

Apalagi negara ini sangatlah kaya raya sumber daya dan indah bagaikan zamrud khatulistiwa. Negara ini menyediakan semua potensi yang memungkinkan bangsa ini mandiri baik di bidang energi, pangan, obat-obatan, dan lainlainnya. Negara ini hanya tinggal membenahi nation and character building dan kepemimpinan saja. Mahbubani pun menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan maju jika mampu menghapuskan feodalisme dalam pemerintahan dan dalam masyarakat. 

Feodalisme dalam pemerintahan itu sangat negatif dan destruktif. Pancasila harus dihidupkan kembali dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai landasan bagi nation and character building untuk kembali ke jati diri bangsa. Gejala pesimisme karena tetap lebarnya kesenjangan antara ”Pancasila dalam cita-cita” (Ideal Pancasila) dan ”Pancasila dalam kenyataan” (historical Pancasila) harus dapat dihilangkan sehingga kita menjadi bangsa yang lebih berkarakter dan percaya diri. Peran kepemimpinan nasional baru sangatlah sentral dan signifikan untuk memulai upaya ini. 

Secara formal Pancasila memang sudah kokoh dalam kehidupan politik kita. Tetapi, secara substansial implementasinya belumlah demikian. Lihat saja kehidupan politik kita telah berkembang menjadi sangat liberal dengan ciri berbiaya tinggi, oligarkis, dan plutokratis. Kekayaan materi telah menjadi kriterium utama kepemimpinan politik. Vox populi vox dei telah bergeser menjadi vox populi vox argentum. 

Tak heran jika kini, terutama setelah satu dasawarsa lebih reformasi berjalan, orang mulai mempertanyakan dengan nada menggugat arah reformasi. Di mana-mana orang bertanya tentang demokrasi yang tengah kita praktikkan dan praktik perekonomian yang sedang kita jalankan dengan mengaitkannya pada kesejahteraan rakyat. Demikian juga halnya dengan sistem ekonomi yang sedang kita jalankan berkaitan dengan nasib rakyat banyak yang merasa semakin ditinggalkan dan kesenjangan ekonomi yang kian melebar. 

Parpol Harus Optimistis 

Dalam kehidupan politik suara-suara kekecewaan memang nyatanya semakin nyaring terdengar. Sebagai pilar demokrasi partai politik tentu paling bertanggung jawab atas karut-marut kehidupan ini. Ini bisa dimengerti. Partai politik menduduki posisi yang sangat sentral dan menentukan dalam pembangunan demokrasi dan cita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat. Partai politik telah mendapatkan keistimewaan yang besar dalam UUD 1945. 

Maka sebagaimana bunyi sebuah adagium noblesse oblige (dalam kedudukan yang mulia ada tanggung jawab) demikianlah partai-partai politik: tidak boleh lari dari tanggung jawab. Banyak orang skeptis, pesimis, bahkan apatis terhadap partai politik di Indonesia kini. Memang kehidupan partai-partai politik kita belum sepenuhnya berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Atau dengan kata lain nilai-nilai Pancasila belum beroperasi dalam kehidupan politik kita. 

Jika partai-partai politik gagal memenuhi harapan masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik sebagai buah dari pengejawantahan Pancasila, akan menjadi bumerang bagi Pancasila itu sendiri. Kendala terbesar pemasyarakatan nilai-nilai Pancasila adalah kegagalan mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Ini juga berlaku bagi semua ideologi lain di setiap negara. Sementara parpol telah gagal melahirkan kepemimpinan yang bersih dan bekerja untuk rakyat. Tak heran jika negara ini tidak kunjung maju meraih cita-cita nasional. 

Bangsa ini membutuhkan bukan seorang pemimpin untuk menjadi presiden, melainkan gelombang kepemimpinan baru yang Pancasilais, bersih, dan bekerja: presiden, menteri, anggota parlemen, gubernur, bupati, dan wali kota baru. Karena posisi parpol dalam melahirkan gelombang kepemimpinan baru sangat sentral dan menentukan, parpol harus diperbarui terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar