Indonesia menjadi tuan
rumah acara The 3rd International
Islamic Conference on Media yang diselenggarakan Selasa– Kamis (3-5/12)
di Jakarta.
Sejumlah akademisi, periset, praktisi media
dari berbagai negara hadir dan membincang persoalan faktual terkait eksistensi
media massa dan hubungannya dengan masyarakat muslim dunia dengan tema “Society and Media”. Satu hal yang
menjadi sorotan utama dalam forum tersebut yakni peran dan tanggung jawab
sosial media massa yang kian dibutuhkan, terutama di tengah berbagai
kepentingan ekonomi dan politik media baik dalam skala domestik maupun
hubungan antarnegara.
Sejumlah topik seperti dimensi etis media,
tata informasi dunia baru, perkembangan teknologi, industri media, dan
masyarakat menjadi fokus sekaligus prioritas yang mesti diperhatikan oleh
seluruh pihak yang peduli masa depan media bertanggung jawab.
Dilema Media
Sebagai partisipan dalam konferensi
internasional tersebut, penulis meraba denyut kegundahan banyak kalangan,
terutama tentang eksistensi media massa yang ada di dunia saat ini. Memang
tak disangkal, media memiliki posisi penting di era yang disebut John Keane
dalam tulisannya, The Humbling of the
Intellectual, Public Life in the Era of Communicative Abundance (1998),
sebagai era keberlimpahan komunikasi.
Terlebih, dalam praktik negara-negara
demokrasi, salah satu pilar penting dalam mendukung keajekan konsolidasi
demokrasi adalah media. Muncul harapan besar media tumbuh kembang menjadi
ruang publik (public sphere)
demokratis yang bisa mengayuh di tengah arus kepentingan beragam pihak
mulai dari pasar, pemodal, kekuatan politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan, negara dan antaraktor di tubuh media sendiri. Di posisi itulah
media kerap mengalami dilema antara idealitas dan profesionalitas di satu
sisi serta pragmatisme di sisi lain.
Kondisi objektif media tak hanya di Indonesia,
tetapi juga di dunia memiliki benang merah yang sama, terutama dalam dua
hal. Pertama, banyak media yang nyaman menjadi agen propaganda kekuatan
dominan baik di negaranya maupun di dunia. Dalam skala global misalnya
dinamika informasi kerap dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui
kantorkantor berita besar yang menjadi penyedia banyak informasi
antarnegara.
Arus informasi internasional mengalir deras
dari negara-negara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan
media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantorkantor
berita negara maju. Sebesar 60–70% berita media di seantero dunia bersumber
dari Associated Press (AP), United Press International (UPI),
Reuters, dan Agence France Presse
(AFP). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan
114 negara. Reuters milik Inggris
beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di
147 negara.
Tentu salah satu perang informasi asimetris
bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang ter-distribusikan bukan ruang
hampa dari propaganda. Salah satu contohnya saat media memberikan status (status conferral) pada orang atau
negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang asimetris (zona of asymetric warfare). Ini
lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini
misalnya melalui teknik name calling
atau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan.
Sejumlah sebutan seperti teroris, tiran,
ancaman demokrasi, dan label negara berbahaya kerap terpapar dalam bingkai
media berjejaring global untuk mendelegitimasi pihak-pihak tertentu yang
sedang menggeliat menjadi kekuatan baru potensial di dunia. Kedua, hal yang
paling banyak dirisaukan terkait peran jurnalis dan media massa ke depan
adalah distorsi media. Akan semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media
untuk berperan dalam rivalitas politik domestik maupun global. Beragam
kasus dipublikasikan dan secara sistematis didesain untuk memancing
kegaduhan publik.
Di tengah kontestasi antarkekuatan yang kian
intensif inilah, politik media harus jelas dan tegas. Media bukan alat
kekuasaan juga bukan alat politisasi. Meski kerap menjadi kelompok diam,
khalayak sebenarnya akan mengevaluasi bagaimana institusi- institusi media
berkiprah. Dengan begitu, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak
ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan. Kita tak menyangkal salah satu
kekuatan media massa adalah mengonstruksi realitas sosial.
Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995),
memperkenalkan konsep resonansi. Ini terjadi saat media massa dan realitas
sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful di mana pesan media mengultivasi
secara signifikan. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan
dalam kesadaran khalayak.
Bahkan media sangat mungkin menjadi alat ampuh
manipulasi kesadaran sekaligus menciptakan realitas buatan melalui beragam
ikon kebudayaan yang meninabobokan rasionalitas. Berbagai rezim kekuasaan di
banyak negara masih kerap menjadikan media sebagai aparat ideologi mereka.
Terlebih jika media sukses dibonsai oleh elite penguasa negara yang
berkolaborasi dengan rezim kapital.
Keadaban Publik
Eksistensi beragam media di dunia seharusnya
mendorong terciptanya keadaban publik. Menjadi katalisator literasi
informasi guna memperkuat warga dunia yang saling menghargai keberagaman,
bukan sebaliknya, menjadi provokator konflik etnis, agama, atau antarnegara
yang harusnya saling menghormati. Ada beberapa tanggung jawab sosial media
yang harus ditunaikan kepada publik.
Pertama, media harus mau dan mampu mengemban
fungsinya sebagai katalisator perdamaian dunia. Saat ini konflik politik
maupun sosial masih banyak terjadi di berbagai dunia. Penyebab utamanya
rata-rata ego pribadi dan golongan yang punya syahwat kekuasaan dengan
mengidentifikasi diri dan kelompoknya sebagai representasi kebenaran.
Jurnalisme damai harus didorong dan dikembangkan dalam narasi berita media
sehingga menjadi “oase” penting sekaligus menjadi “nutrisi” pengetahuan di
tengah pertentangan antar kekuatan, bukan sebaliknya, menjadikan berita
berdarah-darah sebagai jualan.
Kedua,media wajib menghadirkan role model
pemberdayaan masyarakat. Benar bahwa media saat ini sudah berada di era
industri yang beroperasi dalam logika hukum pasar. Shoemaker dan Reese
menulis dalam Mediating the Message:
Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121), organisasi
media merupakan entitas ekonomi, formal, dan sosial yang menghubungkan para
awak media, pemilik modal, serta pasar dengan tujuan memproduksi,
mendistribusikan, dan membuka cara konsumsi isi media yang ditawarkan.
Kendati demikian, selalu ada peluang para
pekerja media untuk menyediakan konten yang sehat sekaligus laku di pasaran
tanpa merusak keadaban publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar