Jumlah pengidap HIV secara kumulatif memang meningkat di
Indonesia. Pertengahan tahun ini terdapat 108.600 orang pengidap HIV dan
43.667 orang penderita AIDS, serta sejak tahun 1987 terdapat 8.340 orang
mati akibat AIDS.
Memang, dibandingkan dengan jumlah kematian
ibu yang berkaitan dengan kehamilan yang mencapai lebih dari 14.000 orang
per tahun, kematian karena kasus AIDS jauh lebih kecil. Meski jumlah
kasusnya kecil, kenaikan jumlah kasus HIV/AIDS menjadi kekhawatiran
masyarakat dunia. Hanya, hiruk-pikuk sepekan dalam merayakan hari HIV/ AIDS
sedunia menjadi tidak proporsional dan tidak sensitif terhadap budaya umum.
Apalagi dengan upaya provokatif membagikan
kondom dan pemasangan iklan di bus yang memasang foto perempuan. Upaya
tersebut mengirim pesan yang ditanggapi sebagai ”pesan keliru”
olehmasyarakatumum. Dari segi pengenalan dan penyadaran masalah HIV/AIDS,
sebagian besar masyarakat sesungguh sudah pada fase ”mengetahui” tentang
HIV/ AIDS. Tapi, pengetahuan tersebut belum berwujud pada perilaku hidup
pencegahan pada kelompok orang berisiko tinggi.
Mereka yang berisiko tinggi antara lain
pekerja seks dan pelanggan mereka, pengguna napza suntik, kaum homoseks,
narapidana, pelaut, dan sopir angkutan umum jarak jauh. Kelompok tersebut
memang bukan kelompok mayoritas masyarakat. Meski, sesungguhnya sulit
menetapkan berapa persen penduduk yang masuk pada kelompok berisiko.
Sehingga, upaya penyadaran (promotif) dan pencegahan bertambahnya kasus
HIV/AIDS memang perlu dilakukan.
Hal itu bertambah penting karena sampai saat
ini belum ada vaksin atau obat yang menyembuhkan. Biaya pengobatannya pun
cukup mahal. Sayangnya, momentum hari AIDS sedunia digunakan secara kurang
hatihati sehingga menimbulkan kontroversi publik. Kontroversi ini menjadi
antiklimaks yang bisa menurunkan upaya promotif-preventif.
Efektivitas Kondom
Dampak negatif dari kampanye kondom kali ini
adalah makin beredarnya informasi yang sumbernya dan kebenarannya tidak
jelas dan menimbulkan lebih banyak kontroversial. Salah satu topik
kontroversi misalnya bahwa kondom tidak efektif mencegah HIV/AIDS karena
pori kondom lebih kecil dari virus HIV/AIDS. Benarkah? Kebanyakan
masyarakat umum tidak akan sanggup memahami benar tidaknya informasi
tersebut.
Pendidikan mereka, di mana sekitar 80%
penduduk Indonesia hanya berpendidikan SLTA ke bawah, tidak memungkinkan
mereka memahami hal itu. Mereka sangat tergantung dari pernyataan tokoh
yang mereka percaya. Sayangnya, tokoh karismatik yang tidak selalu bisa
memahami efektivitas kondom dapat menambah kekeliruan paham. Buat yang
pernah belajar kimia dan biologi lebih mudah menilai kebenaran dan
kekeliruannya. Kondom bisa ditiup/diisi molekul udara O2 dan N2.
Artinya, udara itu tidak tembus pori. Apakah
molekul virus (yang mengandung gabungan molekul O2, N2 dan karbon) lebih
kecil dari molekul udara? Mereka yang bisa mengikuti logika berpikir
kimiawi dan biologi tidak percaya dengan isu pori kondom. Fakta di dunia
memang menunjukkan bahwa kondom, jika digunakan dengan benar memang efektif
mencegah transmisi berbagai penyakit menular seksual.
Masalahnya bukan hanya pada faktor teknis
kondom. Penggunaan kondom dipengaruhi faktor perilaku, selera, dan juga
waktu. Di tahun 1990-an, ketika kondom dikampanyekan secara intensif di
California, ternyata hasilnya tidak memuaskan. Karena, para pemuda yang di
sana biasa melakukan seks bebas tidak selalu ”sempat” menggunakan kondom
dalam hubungan badan.
Banyak juga yang ”tidak berselera” menggunakan
kondom karena faktor psikologis. Maka, kampanye pencegahan HIV/AIDS dengan
metode lain, seperti abstinen atau tidak melakukan seks bebas, menjadi
pilihan yang lebih efektif.
Sensitif
Budaya
Di Indonesia tampaknya para aktivis HIV/AIDS
masih belum optimal memahami dan menggunakan metode pencegahan yang efektif
dan selektif, sesuai faktor budaya lokal. Pemerintah sendiri menerapkan
kebijakan kontradiktif dengan menjamin biaya pengobatan penderita AIDs.
Sebagian kecil penderita adalah korban. Mereka adalah orang yang
berperilaku kesehatan baik, tidak berisiko.
Hanya nasib saja. Yang seperti itu memang
perlu dibantu. Sebagian besar penderita berkaitan dengan perilaku tidak
sehat seperti pekerja seks dan pelanggannya atau pengguna narkoba suntik.
Tetapi, kebijakan umum pemerintah adalah menyediakan biaya obat dan
pengobatan bagi mereka. Dalam sebuah tayangan televisi terbaca running text,
”Penderita AIDS berhak atas biaya kesehatan sampai Rp20 juta/tahun”.
Sehingga tidak ada insentif buat mereka
mengubah perilaku tidak sehatnya. Di sisi lain, jumlah mereka relatif
sedikit dibandingkan, misalnya, dengan perempuan yang berperilaku lebih
sehat, tetapi nasib buruk menimpa mereka dengan kelainan kehamilan,
penyakit kanker rahim, kanker payudara, hipertensi dll, tetapi biaya
pengobatannya tidak dijamin.
Banyak rumah tangga mereka yang berperilaku
lebih sehat jatuh miskin karena nasib buruk saja. Jika penderita AIDS
berhak biaya berobat Rp20 juta per tahun, adakah hak perempuan yang
berperilaku lebih sehat? Pemerintah tidak menjamin biaya pengobatan mereka.
Bahkan, Pemerintah memungut pajak mahal atas obat kanker yang berharga
ratusan juta rupiah. Ironi tersebut menimbulkan sensitivitas tersendiri di
dalam masyarakat.
Tampaknya, hal tersebut tidak dikenali
pemerintah dan penggiat HIV/AIDS. Masyarakat awam memandang yang umum
terjadi (mayoritas) di sekelilingnya. Mereka menyaksikan bahwa di kampus-
kampus semakin banyak mahasiswa yang beribadah rutin. Memang tidak ada
jaminan bahwa mereka yang ke masjid atau ke gereja selalu tidak berisiko
AIDS, tetapi itulah yang membentuk persepsi dan budaya publik.
Masyarakat awam medis seperti itu sangat
sensitif dengan intervensi yang berseberangan dengan yang mereka alami atau
amati sehari-hari. Tampaknya, budaya ini tidak dikenali para penggiat AIDS.
Bisa jadi para penggiat AIDS juga hanyut pada tema yang diusung organisasi
dunia, sekalian dengan dana yang dikucurkan. Upaya internasional memang sah
saja, tapi diperlukan adaptasi dengan lingkungan lokal.
Sesungguhnya, baik pejabat kesehatan,
profesional kesehatan, profesional agama, dan masyarakat pada umumnya
sama-sama menghendaki pengendalian kasus AIDS. Semua tidak ingin kasus
tersebut bertambah. Maka, yang perlu dicari adalah metode
promotif-preventif yang sinkron dan secara budaya diterima semua pihak.
Bisa jadi, besar dana produksi atau pembelian kondom yang dibagibagi plus
iklan-iklan lain akan lebih efektif jika digunakan untuk pengenalan dan
pendidikan khusus AIDS bagi generasi muda.
Atau, digunakan untuk pelatihan perubahan
perilaku oleh para tokoh karismatik. Kita harus mencari kesamaan yang
sinergis di antara kelompok masyarakat. Pelajaran mahal yang menghasilkan
antiklimaks kampanye anti-AIDS ini harus dikoreksi dengan cara-cara yang
lebih sinergis dengan budaya yang diterima publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar