Jumat, 06 Desember 2013

Filantropi : Antara Negara dan Masyarakat Sipil

Filantropi : Antara Negara dan Masyarakat Sipil
Ahyudin  ;   Presiden ACT Foundation
KORAN SINDO,  06 Desember 2013
  


Bersyukur, saya bisa hadir di tengah komunitas terpelajar dunia: kongres Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia, di Bangkok, Thailand, 28 November sampai 1 Desember 2013. 

Pada forum itu, mewakili elemen masyarakat sipil, Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan pandangannya. Dari butir-butir pandangan di forum ini, poin mengenai filantropi, menarik dikemukakan untuk publik di dalam negeri. Filantropi/kedermawanan merupakan kekuatan sebuah bangsa juga negara dalam menjalani peran kemanusiaan global. Secara kategori, ada dua jenis filantropi yaitu filantropi negara, ada filantropi masyarakat sipil. 

Bentuk filantropi ini bisa bermacam-macam sesuai kebutuhan subyek yang akan dibantu. Sempat muncul pertanyaan juga, apakah bantuan militer sebuah negara untuk entitas bangsa atau negara lain itu kedermawanan? Bukan! Militer dan aksi kekuasaan semacam itu pada banyak kasus malah mengalami penolakan rakyat dari mana bantuan militer itu diberikan. 

Selama sebuah ”bantuan” dipandang mengoyak kemanusiaan dalam makna luas, pasti mengundang resistensi nurani anak-anak bangsa. Kemanusiaan mengatasi kebangsaan dalam makna konvensionalnya. Menjadi manusiawi jauh lebih penting dibanding menjadi nasionalis yang buta dari rasa kemanusiaan.

Pada masa awal kemerdekaan, saat Indonesia belum semakmur saat ini, Indonesia memiliki empati tinggi dan bisa mengirim bantuan pangan ke negara-negara yang kesulitan pangan. Sementara itu, berapa banyak anggota militer yang diperintahkan menyerang sebuah bangsa, memilih desersi, menolak meledakkan senjatanya karena kemanusiaannya masih kuat. 

Kemanusiaan, sekali lagi, adalah elemen bahkan senjata terbaik perdamaian, bukan kesiapan perangnya. Kita mudah menjawab pertanyaan, negara mana paling makmur? Begitu juga ketika ditanya negara mana terkuat? Tapi mana di antara negara-negara di dunia yang paling baik? Tak mudah mengedepankan ukuran kebaikan. Kebaikan negara, bukan semata ke dalam tapi juga ke luar, kepada dunia. 

Menjadi baik, saatnya menjadi isu bersama. Genderang integrasi komunitas bangsabangsa terus dikumandangkan. Bersama elemen masyarakat sipil lintas bangsa, perdamaian dunia lebih jelas prospeknya. Saatnya menggeser pertarungan meraih cita-cita dari menjadi negara adidaya menjadi negara baik. Tidak ada tujuan puncak yang layak dicapai sebuah negara—sebuah bangsa, kecuali menjadi negara/ bangsa yang baik. 

Hebat saja, tidak sampai ke dasar kepuasan puncak manusia. Kuat, kaya, mapan, menjadi ukuran-ukuran semu dan segera sirna ketika ketidakbaikan berserakan lantaran proses mencapainya. Kebaikan negara adalah kebaikan bangsanya. Masyarakat sipil bangsabangsa itu bertebaran ke penjuru dunia mewakili kebaikan bangsa. Maka dari sanalah citacita integritas antarbangsa di dunia terwujud. Kisruh antarnegara terjadi karena ”baik” belum menjadi tujuan puncaknya.

Seharusnya peradaban berdiri di atas tiga pilar: humanityphilanthropy- volunteerism. Humanity (kemanusiaan) menjadi dasar berbuat baik antarmanusia yang merekatkan dan mengintegrasikan umat manusia lepas dari state boundaries, sekatsekat negara. Philanthropy (kedermawanan) menjadi bahan bakar kiprah kemanusiaannya. 

Serta volunteerism (kerelawanan) menjadi penggeraknya sehingga niat, dukungan material dan gagasan kemanusiaan bisa terwujud. Kerelawanan adalah universal, sebagaimana kemanusiaan dan kedermawanan. Terkait impact filantropi negara, perkenankan saya menyampaikan contoh nyata kedermawanan di level internasional. Kita mungkin jadi bertanyatanya rakyat mana paling dermawan di dunia? 

Berdasarkan pengalaman, kami temukan, Turki terdepan. Satu LSM-nya saja bisa melayani lebih dari 100 negara. Dan LSM sekelas ini banyak di Turki. Di mana pun kami beraksi, kami hampir selalu bertemu orang Turki. Mereka kekuatan masyarakat sipil, bukan aparat negara, lalu-lalang di negara-negara yang dilanda krisis kemanusiaan, dengan memberi bantuan signifikan. 

Hebatnya, filantropi masyarakat Turki didukung negara. Negara berjalan seiring dengan rakyat mengatasi krisis kemanusiaan di mana-mana. Pemerintah Turki memberi kemudahan LSM-LSM Turki berkiprah di mana pun. Hasilnya, pemerintah negara yang ditolong membuka diri melibatkan Turki merekonstruksi negerinya. Pada fase kebangkitan ekonomi, Turki akan menjadi mitra terdepan negara-negara itu. 

Sebagai contoh, ini terjadi di Somalia, di mana Turki dan rakyat Turki melakukan aksi konkret mengatasi kelaparan. Pembangunan Somalia menjadi proyek berkelanjutan Turki yang memberi dampak strategis pembangunan global Turki.

Kembali ke semangat kongres PPI yang baru saja usai, kemanusiaan dengan demikian menjadi platform ”Kebangsaan Babak Baru Indonesia” yang menjadi pilihan strategis PPI. Dari kemanusiaan yang diwujudkan di tataran konkret, di tanah air dan global, menguatlah kepemimpinan kaum muda Indonesia, sebuah harapan yang nyaris pupus jika semata-mata mengandalkan ”kaderisasi” politik. 

Leadership tidak lahir dari kampanye spanduk atau pengerahan massa melainkan dari peran nyata jauh sebelum para kandidat itu masuk dalam percaturan politik. Kemanusiaan, adalah ”politik kebangsaan” yang potensial melahirkan para pemimpin. Kemanusiaan perlu sokongan kekuatan filantropi negara dan filantropi masyarakat sipil. Kesuksesan filantropi suatu negara akan datang saat filantropi sipilnya juga matang. 

Ukuran kemapanan ekonomi, politik (stabilitas), dan sosial bisa dilihat dari seberapa kuat filantropi masyarakat sipilnya. Gerakan kemanusiaan masyarakat sipil, bukan pesaing negara melainkan mitra negara menuju negara/ bangsa terbaik dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar