Bersyukur,
saya bisa hadir di tengah komunitas terpelajar dunia: kongres Perhimpunan
Pelajar Indonesia (PPI) Dunia, di Bangkok, Thailand, 28 November sampai 1
Desember 2013.
Pada forum itu, mewakili elemen masyarakat
sipil, Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan pandangannya. Dari butir-butir
pandangan di forum ini, poin mengenai filantropi, menarik dikemukakan untuk
publik di dalam negeri. Filantropi/kedermawanan merupakan kekuatan sebuah
bangsa juga negara dalam menjalani peran kemanusiaan global. Secara
kategori, ada dua jenis filantropi yaitu filantropi negara, ada filantropi
masyarakat sipil.
Bentuk filantropi ini bisa bermacam-macam
sesuai kebutuhan subyek yang akan dibantu. Sempat muncul pertanyaan juga,
apakah bantuan militer sebuah negara untuk entitas bangsa atau negara lain
itu kedermawanan? Bukan! Militer dan aksi kekuasaan semacam itu pada banyak
kasus malah mengalami penolakan rakyat dari mana bantuan militer itu
diberikan.
Selama sebuah ”bantuan” dipandang mengoyak
kemanusiaan dalam makna luas, pasti mengundang resistensi nurani anak-anak
bangsa. Kemanusiaan mengatasi kebangsaan dalam makna konvensionalnya.
Menjadi manusiawi jauh lebih penting dibanding menjadi nasionalis yang buta
dari rasa kemanusiaan.
Pada masa awal kemerdekaan, saat Indonesia
belum semakmur saat ini, Indonesia memiliki empati tinggi dan bisa mengirim
bantuan pangan ke negara-negara yang kesulitan pangan. Sementara itu,
berapa banyak anggota militer yang diperintahkan menyerang sebuah bangsa,
memilih desersi, menolak meledakkan senjatanya karena kemanusiaannya masih
kuat.
Kemanusiaan, sekali lagi, adalah elemen bahkan
senjata terbaik perdamaian, bukan kesiapan perangnya. Kita mudah menjawab
pertanyaan, negara mana paling makmur? Begitu juga ketika ditanya negara
mana terkuat? Tapi mana di antara negara-negara di dunia yang paling baik?
Tak mudah mengedepankan ukuran kebaikan. Kebaikan negara, bukan semata ke
dalam tapi juga ke luar, kepada dunia.
Menjadi baik, saatnya menjadi isu bersama.
Genderang integrasi komunitas bangsabangsa terus dikumandangkan. Bersama
elemen masyarakat sipil lintas bangsa, perdamaian dunia lebih jelas
prospeknya. Saatnya menggeser pertarungan meraih cita-cita dari menjadi
negara adidaya menjadi negara baik. Tidak ada tujuan puncak yang layak
dicapai sebuah negara—sebuah bangsa, kecuali menjadi negara/ bangsa yang
baik.
Hebat saja, tidak sampai ke dasar kepuasan
puncak manusia. Kuat, kaya, mapan, menjadi ukuran-ukuran semu dan segera
sirna ketika ketidakbaikan berserakan lantaran proses mencapainya. Kebaikan
negara adalah kebaikan bangsanya. Masyarakat sipil bangsabangsa itu
bertebaran ke penjuru dunia mewakili kebaikan bangsa. Maka dari sanalah
citacita integritas antarbangsa di dunia terwujud. Kisruh antarnegara
terjadi karena ”baik” belum menjadi tujuan puncaknya.
Seharusnya peradaban berdiri di atas tiga
pilar: humanityphilanthropy- volunteerism. Humanity (kemanusiaan) menjadi
dasar berbuat baik antarmanusia yang merekatkan dan mengintegrasikan umat
manusia lepas dari state boundaries, sekatsekat negara. Philanthropy
(kedermawanan) menjadi bahan bakar kiprah kemanusiaannya.
Serta volunteerism (kerelawanan) menjadi
penggeraknya sehingga niat, dukungan material dan gagasan kemanusiaan bisa
terwujud. Kerelawanan adalah universal, sebagaimana kemanusiaan dan
kedermawanan. Terkait impact filantropi negara, perkenankan saya
menyampaikan contoh nyata kedermawanan di level internasional. Kita mungkin
jadi bertanyatanya rakyat mana paling dermawan di dunia?
Berdasarkan pengalaman, kami temukan, Turki
terdepan. Satu LSM-nya saja bisa melayani lebih dari 100 negara. Dan LSM
sekelas ini banyak di Turki. Di mana pun kami beraksi, kami hampir selalu
bertemu orang Turki. Mereka kekuatan masyarakat sipil, bukan aparat negara,
lalu-lalang di negara-negara yang dilanda krisis kemanusiaan, dengan
memberi bantuan signifikan.
Hebatnya, filantropi masyarakat Turki didukung
negara. Negara berjalan seiring dengan rakyat mengatasi krisis kemanusiaan
di mana-mana. Pemerintah Turki memberi kemudahan LSM-LSM Turki berkiprah di
mana pun. Hasilnya, pemerintah negara yang ditolong membuka diri melibatkan
Turki merekonstruksi negerinya. Pada fase kebangkitan ekonomi, Turki akan
menjadi mitra terdepan negara-negara itu.
Sebagai contoh, ini terjadi di Somalia, di
mana Turki dan rakyat Turki melakukan aksi konkret mengatasi kelaparan.
Pembangunan Somalia menjadi proyek berkelanjutan Turki yang memberi dampak
strategis pembangunan global Turki.
Kembali ke semangat kongres PPI yang baru saja
usai, kemanusiaan dengan demikian menjadi platform ”Kebangsaan Babak Baru
Indonesia” yang menjadi pilihan strategis PPI. Dari kemanusiaan yang
diwujudkan di tataran konkret, di tanah air dan global, menguatlah
kepemimpinan kaum muda Indonesia, sebuah harapan yang nyaris pupus jika
semata-mata mengandalkan ”kaderisasi” politik.
Leadership tidak lahir dari kampanye spanduk
atau pengerahan massa melainkan dari peran nyata jauh sebelum para kandidat
itu masuk dalam percaturan politik. Kemanusiaan, adalah ”politik
kebangsaan” yang potensial melahirkan para pemimpin. Kemanusiaan perlu
sokongan kekuatan filantropi negara dan filantropi masyarakat sipil.
Kesuksesan filantropi suatu negara akan datang saat filantropi sipilnya
juga matang.
Ukuran kemapanan ekonomi, politik
(stabilitas), dan sosial bisa dilihat dari seberapa kuat filantropi
masyarakat sipilnya. Gerakan kemanusiaan masyarakat sipil, bukan pesaing
negara melainkan mitra negara menuju negara/ bangsa terbaik dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar