Jumat, 06 Desember 2013

Konstitusi Terkapar di Bali

Konstitusi Terkapar di Bali
Margarito Kamis  ;   Doktor Hukum Tata Negara, Dosen FH
Universitas Khairun, Ternate
MEDIA INDONESIA,  05 Desember 2013
  


PADA 3-6 Desember besok, Indonesia kembali menyelenggarakan satu pertemuan berskala internasional di Bali. Kali ini, isu yang dibicarakan ialah soal-soal ekonomi. Sebagaimana diketahui umum, isu-isu itu diorganisasi oleh World Trade Organization (WTO), sebuah organ internasional yang berambisi membebaskan segala macam restriksi nasional dalam bidang perdagangan. Dalam pandangan organ ini, persis seperti pandangan para pemrakarsanya, negara adalah pasar.

Pasar dalam perspektif ini harus bagus, dan untuk memperoleh pasar yang bagus itu diperlukan sejumlah tindakan hukum yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang. Siapa semua orang itu? Mereka ialah apa yang dalam terminologi hukum perdata, termasuk perdata internasional, meliputi dan tak sebatas atau semata natural person, tetapi juga rechtperson, korporasi. Terasa indah.

Memahami hakikat konstitusi

Masalahnya, bagaimana pemerintah memastikan perintah-perintah konstitusional yang termaktub dalam UUD 1945 mekar bersama atau mekar di tengah penetrasi WTO itu? Sepintas pada titik ini, pemerintah seolah berada dalam dilema moral yang pelik. Tunduk dan taat pada klaimklaim pasar bebas itu, atau membelakangi klaim-klaim itu, sambil memegang erat, dan menapasi pemerintahan ini dengan klaim-klaim moral konstitusi yang termaktub, sekali lagi, pada UUD 1945.

Bila pemerintah memilih sikap membelakangi, tampaknya tipis kemungkinannya, mau tak mau pemerintah mesti memilih sikap moral tertentu. Moralitas yang tersedia, absah dan imperatif adalah moralitas Pasal 33 UUD 1945. Masalahnya ialah apakah pemerintah mau, dan bila mau, apakah mereka sungguh-sungguh mau memeras otak untuk mengenali, merumuskan, dan mendemonstrasikannya secara nyata?

Pada titik itu diperlukan ketepatan membaca dan memaknai kenyataan adanya puluhan juta rakyat miskin, dan puluhan juta lagi, yang bisa segera berstatus miskin, bila kriteria kemiskinan itu sedikit diubah. Mengambil sikap memproteksi manusia-manusia bertipe ini, atau membiarkannya, tentu disertai argumen, selain senapas dengan nilai filosofis konstitusional, juga harus masuk akal, pasti tak akan melahirkan kontraksi moralitas.

Akan tetapi, andai ada kontradiksi moral, ada baiknya pemerintah menyelami lagi makna konstitusi, yang dinukilkan oleh Charles Beard, penulis An Economic Interpretation of the Constitution of United States.

Kata Charles, konstitusi, tentu yang dimaksud ialah konstitusi United States, dibuat dan diperuntukkan untuk seluruh rakyat. Mereka, rakyat, adalah sumber kekuasaan, dan pemerintah, atau dalam bahasa Charles semua pemegang otoritas politik, memperoleh kekuasaan dari rakyat. Kepada mereka, rakyat, kekuasaan itu diperuntukkan. Kekuasaan itu digunakan untuk memastikan bahwa mereka, rakyat, diperlakukan secara adil, dengan cara memastikan bahwa kebebasan individual terjamin.

Berbeda dengan atmosfer filosofis dalam perdebatan pembentukan konstitusi Amerika Serikat di Constitutional Convention Philadelphia yang tidak secara langsung diwarnai dengan perspektif ekonomi, misalnya perspektif kepemilikan harta benda, apalagi menjadikan kepemi likan harta benda sebagai tujuan utamanya, konstitusi Indonesia justru sebaliknya. Para pembentuk konstitusi Indonesia justru menjadikan soal-soal ekonomi sebagai salah satu isu sentral dalam kerangka kesejahteraan rakyat pada saat UUD 1945 dibentuk. Gagasan ini lah yang menjiwai dan melahirkan Pasa 33 UUD 1945.

Jiwa konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945 itulah yang harus dimaknai, sekaligus menjiwai dan menapasi kerangka kerja ekonomi pemerintahan yang kini tengah berpesta dan membiarkan negara ini terkepung pasar bebas yang diidamkan kapitalis-kapitalis, tuannya WTO. Dunia memang telah tidak memiliki batas dalam dimensi ekonomi, tetapi justru di situlah letak pentingnya pemerintah mengenali jiwa konstitusi Republik tercinta ini.

Pemerintahan berkarakter

Menyadari bahwa WTO adalah akumulasi, bahkan merupakan puncak idaman, individualisme dalam bidang ekonomi ialah penting. Sama pentingnya dengan menyadari bahwa ada perintah konstitusi, UUD 1945, mela lui Pasal 33 untuk memastikan bahwa sumber daya ekonomi, salah satunya sumber daya alam, wajib digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Tidak mudah memang, tetapi konstitusi tidak menyediakan pilihan lain, apalagi pilihan yang berjiwa liberalis dan kapitalistik untuk dijadikan jalan menuju kesejahteraan rakyat. Sekalipun harus diakui bahwa dunia, apalagi dalam kehidupan ekonomi, telah jalin-menjalin sedemikian rupa hingga negara seolah tidak lebih dari sekadar sebuah pasar, yang siapa pun, tanpa status nasionalitasnya bebas sebebas itik berenang di danau biru, tanpa restriksi.
Kapitalisme yang tentu saja mewakili moralitas individual tak antihukum. Tetapi hukum kapitalistik jelas bukan hukum yang sejiwa dengan konstitusi Indonesia. 

Seperti semua moralitas yang ada, kapitalisme juga menjadikan keadilan sebagai induk hukum. Tetapi dalam moralitas ini, hukum tak selalu adil. Bagi kapitalis, hukum yang bersemangat restriksi, atau proteksi kepada seseorang atau sekelompok orang, dengan alasan dan untuk tujuan apa pun, tidak saja jahat dalam haki atnya, tetapi juga tidak adil dalam hakikatnya.

Hukum jenis itu akan dilihat, am bil misalnya oleh Frederik Bastiat, seorang ekonom Prancis abad ke-19 yang terkenal gigih membela perdagangan bebas, sebagai hukum yang menghalalkan perampasan. Restriksi dalam pasar dan proteksi terhadap barang tertentu, dalam pandangan Bastiat, akan mengakibatkan kelangkaan barang di pasar. Kelangkaan akan mengakibatkan harga melambung, dan ada orang yang tidak mampu menjangkaunya. Ini salah secara moralitas, dan jahat dalam dirinya.

Dalam batas tertentu, restriksi dan proteksi dinilai sebagai cara, bukan tak menghormati, melainkan cerminan penghargaan parsial atas kedirian atau eksistensi otonom setiap orang. Akan sulit menilai tindakan seperti itu sebagai tindakan yang adil, yang menjadi pemicu penghormatan terhadap pemerintahan itu. Sulit juga untuk menilai bahwa tindakan seperti itu tidak mengandung konfl ik dalam dirinya.

Namun, soalnya bukan di situ. Soalnya terletak pada pemerintahan ini didasarkan pada UUD 1945, dan rakyat yang dimaksud dalam UUD 1945 ialah rakyat Indonesia, bukan rakyat sedunia. Moralitas konstitusional yang lahir dari UUD 1945 mengharuskan pemerintahan ini menempatkan kepentingan bangsa ini di atas segalanya. Dalam moralitas ini, hukum, dalam arti sebagai kendali atau pengarah, memang harus digunakan untuk memastikan terciptanya kebebasan secara seimbang dalam kehidupan bernegara.

Menggunakan hukum untuk memaksa setiap individu Indonesia bertarung dengan individu yang lebih kuat, baik di dalam negeri maupun yang datang dari luar, ialah jalan pikiran yang tidak mungkin dikatakan tidak sesat dalam perspektif konstitusionalisme Indonesia. Memaksa petani dan peternak kecil di kampung menghasilkan barang berkualitas tinggi, dengan harga bersaing dengan barang luar dengan kualitas hebat, misalnya, tentu atas nama kebebasan individu berbasis kapitalisme, adalah tindakan yang, sejujurnya, sesat menurut moralitas konstitusionalisme Indonesia.

Terlalu sulit untuk tidak menakar ekspansi pasar yang didesak secara sistimatis oleh WTO sebagai tindakan yang tidak bercita rasa imperialis. Pemerintahan yang tak berkarakter memiliki kecenderungan membiarkan moralitas konstitusional tercabik-cabik demi performanya dalam pergaulan internasional. Padahal tidak ada keadilan konstitusional berbasis Pasal 33 UUD 1945, sekecil apa pun, yang bisa ditarik dari tindakan sejenis.

Tidak mungkin tidak menimbang ekspansi pasar itu sebagai tindakan yang tidak merefleksikan kecenderungan mematikan dari kapitalisme.
Pemerintahan berkarakter, bukan hanya harus mengenalinya, melainkan harus mengambil langkah, tentu tak populer untuk menjinakkan kecenderungan mematikan itu. Berinduk pada individualisme di bidang ekonomi, maka pasar bebas yang diidam-idamkan WTO, yang dirangsang secara hebat oleh pemerintahan, mematikan negara-negara sejenis Indonesia.

Proteksi konstitusional terhadap petani dan peternak kecil Indonesia niscaya dalam dirinya, dan itulah yang harus dilakukan oleh sebuah pemerintahan berkarakter. Pemerintahan ini mesti menyadari bahwa tindakan pemerintah-pemerintah yang mengidolakan pa sar bebas ialah refleksi ketaatan mereka pada konstitusi mereka. Amerika yang begitu hebat mengidamkan pasar bebas tetap saja mengidolakan petani mereka. Mereka tidak bicara proteksi untuk petaninya, tetapi proteksi diletakkan dalam kerangka kerja dan perintah konstitusi, dari mana mereka memperoleh otoritas memerintah.

Pemerintahan kita harus memiliki nyali konstitusional sehebat itu. Pemerintahan berkarakter bukan terletak pada keakraban pemerintahan itu dengan bangsa-bangsa lain di tengah pergaulan internasional, melainkan terletak pada seberapa tingginya tingkat kemakmuran rakyatnya. Karena telah menghamba pada WTO maka mimpi Indonesia melunakkan ganasnya gagasan liberalisasi tak lebih sekadar pemanis bibir dalam pergaulan internasional. Konstitusi kita pasti terkapar di Bali, dan bangsa ini akan tenggelam pada saatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar