PADA 3-6 Desember
besok, Indonesia kembali menyelenggarakan satu pertemuan berskala
internasional di Bali. Kali ini, isu yang dibicarakan ialah soal-soal
ekonomi. Sebagaimana diketahui umum, isu-isu itu diorganisasi oleh World Trade Organization (WTO),
sebuah organ internasional yang berambisi membebaskan segala macam
restriksi nasional dalam bidang perdagangan. Dalam pandangan organ ini,
persis seperti pandangan para pemrakarsanya, negara adalah pasar.
Pasar dalam
perspektif ini harus bagus, dan untuk memperoleh pasar yang bagus itu
diperlukan sejumlah tindakan hukum yang menjamin perlakuan yang sama
terhadap semua orang. Siapa semua orang itu? Mereka ialah apa yang dalam
terminologi hukum perdata, termasuk perdata internasional, meliputi dan tak
sebatas atau semata natural person, tetapi juga rechtperson, korporasi.
Terasa indah.
Memahami hakikat konstitusi
Masalahnya,
bagaimana pemerintah memastikan perintah-perintah konstitusional yang
termaktub dalam UUD 1945 mekar bersama atau mekar di tengah penetrasi WTO
itu? Sepintas pada titik ini, pemerintah seolah berada dalam dilema moral
yang pelik. Tunduk dan taat pada klaimklaim pasar bebas itu, atau
membelakangi klaim-klaim itu, sambil memegang erat, dan menapasi
pemerintahan ini dengan klaim-klaim moral konstitusi yang termaktub, sekali
lagi, pada UUD 1945.
Bila pemerintah
memilih sikap membelakangi, tampaknya tipis kemungkinannya, mau tak mau
pemerintah mesti memilih sikap moral tertentu. Moralitas yang tersedia,
absah dan imperatif adalah moralitas Pasal 33 UUD 1945. Masalahnya ialah
apakah pemerintah mau, dan bila mau, apakah mereka sungguh-sungguh mau
memeras otak untuk mengenali, merumuskan, dan mendemonstrasikannya secara
nyata?
Pada titik itu
diperlukan ketepatan membaca dan memaknai kenyataan adanya puluhan juta
rakyat miskin, dan puluhan juta lagi, yang bisa segera berstatus miskin,
bila kriteria kemiskinan itu sedikit diubah. Mengambil sikap memproteksi
manusia-manusia bertipe ini, atau membiarkannya, tentu disertai argumen,
selain senapas dengan nilai filosofis konstitusional, juga harus masuk
akal, pasti tak akan melahirkan kontraksi moralitas.
Akan tetapi, andai
ada kontradiksi moral, ada baiknya pemerintah menyelami lagi makna
konstitusi, yang dinukilkan oleh Charles Beard, penulis An Economic
Interpretation of the Constitution of United States.
Kata Charles, konstitusi, tentu yang dimaksud ialah konstitusi United
States, dibuat dan diperuntukkan untuk seluruh rakyat. Mereka, rakyat,
adalah sumber kekuasaan, dan pemerintah, atau dalam bahasa Charles semua
pemegang otoritas politik, memperoleh kekuasaan dari rakyat. Kepada mereka,
rakyat, kekuasaan itu diperuntukkan. Kekuasaan itu digunakan untuk
memastikan bahwa mereka, rakyat, diperlakukan secara adil, dengan cara
memastikan bahwa kebebasan individual terjamin.
Berbeda dengan
atmosfer filosofis dalam perdebatan pembentukan konstitusi Amerika Serikat
di Constitutional Convention
Philadelphia yang tidak secara langsung diwarnai dengan perspektif
ekonomi, misalnya perspektif kepemilikan harta benda, apalagi menjadikan
kepemi likan harta benda sebagai tujuan utamanya, konstitusi Indonesia
justru sebaliknya. Para pembentuk konstitusi Indonesia justru menjadikan
soal-soal ekonomi sebagai salah satu isu sentral dalam kerangka kesejahteraan
rakyat pada saat UUD 1945 dibentuk. Gagasan ini lah yang menjiwai dan
melahirkan Pasa 33 UUD 1945.
Jiwa konstitusi,
khususnya Pasal 33 UUD 1945 itulah yang harus dimaknai, sekaligus menjiwai
dan menapasi kerangka kerja ekonomi pemerintahan yang kini tengah berpesta
dan membiarkan negara ini terkepung pasar bebas yang diidamkan
kapitalis-kapitalis, tuannya WTO. Dunia memang telah tidak memiliki batas
dalam dimensi ekonomi, tetapi justru di situlah letak pentingnya pemerintah
mengenali jiwa konstitusi Republik tercinta ini.
Pemerintahan berkarakter
Menyadari bahwa WTO
adalah akumulasi, bahkan merupakan puncak idaman, individualisme dalam
bidang ekonomi ialah penting. Sama pentingnya dengan menyadari bahwa ada
perintah konstitusi, UUD 1945, mela lui Pasal 33 untuk memastikan bahwa
sumber daya ekonomi, salah satunya sumber daya alam, wajib digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Tidak mudah memang,
tetapi konstitusi tidak menyediakan pilihan lain, apalagi pilihan yang
berjiwa liberalis dan kapitalistik untuk dijadikan jalan menuju
kesejahteraan rakyat. Sekalipun harus diakui bahwa dunia, apalagi dalam kehidupan
ekonomi, telah jalin-menjalin sedemikian rupa hingga negara seolah tidak
lebih dari sekadar sebuah pasar, yang siapa pun, tanpa status
nasionalitasnya bebas sebebas itik berenang di danau biru, tanpa restriksi.
Kapitalisme yang
tentu saja mewakili moralitas individual tak antihukum. Tetapi hukum
kapitalistik jelas bukan hukum yang sejiwa dengan konstitusi Indonesia.
Seperti semua moralitas yang ada, kapitalisme juga menjadikan keadilan
sebagai induk hukum. Tetapi dalam moralitas ini, hukum tak selalu adil.
Bagi kapitalis, hukum yang bersemangat restriksi, atau proteksi kepada
seseorang atau sekelompok orang, dengan alasan dan untuk tujuan apa pun,
tidak saja jahat dalam haki atnya, tetapi juga tidak adil dalam hakikatnya.
Hukum jenis itu akan
dilihat, am bil misalnya oleh Frederik Bastiat, seorang ekonom Prancis abad
ke-19 yang terkenal gigih membela perdagangan bebas, sebagai hukum yang
menghalalkan perampasan. Restriksi dalam pasar dan proteksi terhadap barang
tertentu, dalam pandangan Bastiat, akan mengakibatkan kelangkaan barang di
pasar. Kelangkaan akan mengakibatkan harga melambung, dan ada orang yang
tidak mampu menjangkaunya. Ini salah secara moralitas, dan jahat dalam
dirinya.
Dalam batas
tertentu, restriksi dan proteksi dinilai sebagai cara, bukan tak
menghormati, melainkan cerminan penghargaan parsial atas kedirian atau
eksistensi otonom setiap orang. Akan sulit menilai tindakan seperti itu
sebagai tindakan yang adil, yang menjadi pemicu penghormatan terhadap
pemerintahan itu. Sulit juga untuk menilai bahwa tindakan seperti itu tidak
mengandung konfl ik dalam dirinya.
Namun, soalnya bukan
di situ. Soalnya terletak pada pemerintahan ini didasarkan pada UUD 1945,
dan rakyat yang dimaksud dalam UUD 1945 ialah rakyat Indonesia, bukan rakyat
sedunia. Moralitas konstitusional yang lahir dari UUD 1945 mengharuskan
pemerintahan ini menempatkan kepentingan bangsa ini di atas segalanya.
Dalam moralitas ini, hukum, dalam arti sebagai kendali atau pengarah,
memang harus digunakan untuk memastikan terciptanya kebebasan secara
seimbang dalam kehidupan bernegara.
Menggunakan hukum
untuk memaksa setiap individu Indonesia bertarung dengan individu yang
lebih kuat, baik di dalam negeri maupun yang datang dari luar, ialah jalan
pikiran yang tidak mungkin dikatakan tidak sesat dalam perspektif
konstitusionalisme Indonesia. Memaksa petani dan peternak kecil di kampung
menghasilkan barang berkualitas tinggi, dengan harga bersaing dengan barang
luar dengan kualitas hebat, misalnya, tentu atas nama kebebasan individu
berbasis kapitalisme, adalah tindakan yang, sejujurnya, sesat menurut
moralitas konstitusionalisme Indonesia.
Terlalu sulit untuk
tidak menakar ekspansi pasar yang didesak secara sistimatis oleh WTO
sebagai tindakan yang tidak bercita rasa imperialis. Pemerintahan yang tak
berkarakter memiliki kecenderungan membiarkan moralitas konstitusional
tercabik-cabik demi performanya dalam pergaulan internasional. Padahal
tidak ada keadilan konstitusional berbasis Pasal 33 UUD 1945, sekecil apa
pun, yang bisa ditarik dari tindakan sejenis.
Tidak mungkin tidak
menimbang ekspansi pasar itu sebagai tindakan yang tidak merefleksikan
kecenderungan mematikan dari kapitalisme.
Pemerintahan berkarakter, bukan hanya harus mengenalinya, melainkan harus
mengambil langkah, tentu tak populer untuk menjinakkan kecenderungan
mematikan itu. Berinduk pada individualisme di bidang ekonomi, maka pasar
bebas yang diidam-idamkan WTO, yang dirangsang secara hebat oleh
pemerintahan, mematikan negara-negara sejenis Indonesia.
Proteksi konstitusional
terhadap petani dan peternak kecil Indonesia niscaya dalam dirinya, dan
itulah yang harus dilakukan oleh sebuah pemerintahan berkarakter. Pemerintahan
ini mesti menyadari bahwa tindakan pemerintah-pemerintah yang mengidolakan
pa sar bebas ialah refleksi ketaatan mereka pada konstitusi mereka. Amerika
yang begitu hebat mengidamkan pasar bebas tetap saja mengidolakan petani
mereka. Mereka tidak bicara proteksi untuk petaninya, tetapi proteksi
diletakkan dalam kerangka kerja dan perintah konstitusi, dari mana mereka
memperoleh otoritas memerintah.
Pemerintahan kita
harus memiliki nyali konstitusional sehebat itu. Pemerintahan berkarakter
bukan terletak pada keakraban pemerintahan itu dengan bangsa-bangsa lain di
tengah pergaulan internasional, melainkan terletak pada seberapa tingginya
tingkat kemakmuran rakyatnya. Karena telah menghamba pada WTO maka mimpi
Indonesia melunakkan ganasnya gagasan liberalisasi tak lebih sekadar
pemanis bibir dalam pergaulan internasional. Konstitusi kita pasti terkapar
di Bali, dan bangsa ini akan tenggelam pada saatnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar