TAK kurang dari lima kementerian
intensif bekerja sama mendesain otonomi di bidang pendidikan ke depan.
Namun, dalam pelaksanaannya masih terjadi tarik ulur. Animo daerah untuk
menjadi otonom dalam urusan pendidikan begitu berlebih sehingga ingin
mengatur dan mengurus pendidikan bahkan sampai ke pendidikan tinggi. Daerah
otonom sebagai badan hukum publik memang boleh memiliki sebuah universitas,
meski soal manajemen pendidikan tetap diatur dan diurus pusat.
Sebaliknya, pemerintah pusat
ternyata belum rela melepas semua. Dalam urusan pendidikan dasar dan
menengah, pemerintah pusat masih ikut campur dan bahkan melebihi batas.
Terbukti, dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan di bidang ini masih sangat tinggi. Meski instansi
vertikalnya sudah dihapus, mereka masih mengakali karena tidak ingin
mengalihkan urusan ke daerah.
Sebetulnya instansi vertikal
dibenarkan tetap ada, sepanjang mengurusi hal-hal yang menjadi domainnya.
Namun, hal ini merupakan urusan
pelik yang mampu mengurangi derajat kinerja Pemerintah RI dan kental berbau
politik-birokrasi.
Desentralisasi pendidikan
Urusan pendidikan bergradasi
mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Secara sederhana otonomi
pendidikan mengikuti gradasi tersebut.
Pendidikan dasar dan menengah
didesentralisasikan sehingga terdapat otonomi dalam hal pengelolaan
pendidikan.
Pendidikan tinggi tetap menjadi
urusan pemerintah pusat karena tidak ada otonomi dalam urusan pendidikan
tinggi.
Penyelenggaraan pendidikan dasar
dan menengah dalam kacamata normatif otonomi Indonesia seharusnya diatur
dan diurus oleh provinsi, kabupaten/kota.
Provinsi mengatur dan mengurusi
pendidikan menengah, sedangkan kabupaten/kota mengatur dan mengurus
pendidikan dasar.
Dalam praktik, tidak satu pun
provinsi, kabupaten/kota di Indonesia yang mampu mengatur pendidikan dasar
dan menengah dengan baik.
Hanya sebagian kecil daerah
otonom yang mampu mengaturnya untuk hal-hal kecil dalam penyelenggaraan pendidikan
dasar dan menengah yang sudah didesentralisasikan. Termasuk di antaranya
Provinsi DKI Jakarta, yang berhasil menggratiskan belajar di tingkat SD dan
meningkatkan kesejahteraan para guru.
Rintisan ini yang kemudian
dicoba diikuti daerah lain. Namun, dalam materi urusan lainnya, daerah
otonom nyaris belum mampu mengaturnya dengan baik.
Anehnya, semua urusan pendidikan
dasar dan menengah dapat diselenggarakan oleh daerah otonom.
Walau begitu, adanya dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan membuat pemerintah pusat masih
campur tangan dan berhubungan langsung ke sekolah-sekolah di seluruh
Indonesia.
Meskipun secara normatif,
sebagian besar urusan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sudah
didesentralisasikan, tetapi dalam praktik, pengaturan mengenai urusan
tersebut masih dipegang pusat.
Dalam hal ini, pemerintah
mengembangkan school-based management (SBM), tetapi tanpa
memperhatikan liku-liku struktur pemerintahan yang dikembangkan.
Ternyata kepala sekolah sangat
berkuasa menentukan roda pendidikan dasar, bukan pemangku kepentingan dalam
struktur SBM. Akibatnya, kedudukan kepala sekolah menjadi rebutan era
sekarang.
Jadi, praktik hubungan langsung
pemerintah pusat ke sekolah-sekolah ini tidak ada dasar teorinya sama
sekali. Terjadilah kerancuan manajemen pendidikan dasar dan menengah.
Beberapa daerah yang elite
birokrasi ataupun elite politiknya berasal dari dunia pendidikan dapat
melakukan terobosan pengaturan.
Yang mengherankan adalah jajaran
birokrasi lokal di bidang tersebut seolah membiarkan hal ini terjadi.
Seakan mereka tidak ”mau” untuk
diatur oleh elite politik lokal yang notabene ”tetangga”-nya sendiri.
Mereka merasa lebih nyaman diatur oleh koleganya di Jakarta.
Desain ulang
Dengan demikian, otonomi
pendidikan dasar dan menengah yang terjadi di Indonesia secara kelembagaan
berwajah sentralisasi.
Sebagian urusan yang bersifat
sensitif, yang disukai politisi dan gampang terlihat oleh publik saja yang
diambil untuk diurusi, contohnya mengangkat kepala sekolah.
Aturan teknisnya pun datang dari
pusat, daerah tidak sadar. Elemen pusat menyadari bahwa hal ini yang paling
disukai oleh daerah otonom selain masalah uang penyelenggaraan pendidikan,
sedangkan terhadap wewenang substansialnya, daerah tidak menyukai.
Dalam mengatasi soal ini, desentralisasi
urusan pendidikan harus dibenahi. Desentralisasi pendidikan dalam tubuh
NKRI tidak mengenal otonomi langsung ke sekolah kecuali kita
menganut desentralisasi fungsional. Lebih kuat lagi jika ada dalam UUD.
Catatannya adalah peraturan
perundangan tersebut harus dibuat harmonis. Bahkan, sekolah swasta pun
harus berbasis otonomi daerah.
Sekolah dasar dan menengah
swasta ada dalam domain pengaturan daerah otonom. Pemerintah pusat menyusun
kode perilaku dan mengawasinya.
Di sini letak concurrent-function dalam
urusan pendidikan dasar dan menengah yang dikerjakan pusat.
Instrumen sentralisasi,
dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan harus jelas.
Jajaran birokrasi pusat dan
daerah harus konsisten mengembangkan penyelenggaraan pendidikan dasar dan
menengah yang menjadi domain daerah otonom.
Mereka tidak boleh mendiamkan
dan langsung mengambil alih jika daerah otonom tidak mampu mengatur dan
mengurus urusan pendidikan yang didesentralisasikan.
Instansi vertikal dibutuhkan
sesuai desain ini, khususnya untuk memastikan kode perilaku pendidikan
nasional berjalan di seluruh pelosok NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar