Rabu, 04 Desember 2013

Otonomi Pendidikan

Otonomi Pendidikan
Irfan Ridwan Maksum  ;   Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI
KOMPAS,  03 Desember 2013



TAK kurang dari lima kementerian intensif bekerja sama mendesain otonomi di bidang pendidikan ke depan. Namun, dalam pelaksanaannya masih terjadi tarik ulur. Animo daerah untuk menjadi otonom dalam urusan pendidikan begitu berlebih sehingga ingin mengatur dan mengurus pendidikan bahkan sampai ke pendidikan tinggi. Daerah otonom sebagai badan hukum publik memang boleh memiliki sebuah universitas, meski soal manajemen pendidikan tetap diatur dan diurus pusat.

Sebaliknya, pemerintah pusat ternyata belum rela melepas semua. Dalam urusan pendidikan dasar dan menengah, pemerintah pusat masih ikut campur dan bahkan melebihi batas.

Terbukti, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan di bidang ini masih sangat tinggi. Meski instansi vertikalnya sudah dihapus, mereka masih mengakali karena tidak ingin mengalihkan urusan ke daerah.

Sebetulnya instansi vertikal dibenarkan tetap ada, sepanjang mengurusi hal-hal yang menjadi domainnya.

Namun, hal ini merupakan urusan pelik yang mampu mengurangi derajat kinerja Pemerintah RI dan kental berbau politik-birokrasi.

Desentralisasi pendidikan

Urusan pendidikan bergradasi mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Secara sederhana otonomi pendidikan mengikuti gradasi tersebut.
Pendidikan dasar dan menengah didesentralisasikan sehingga terdapat otonomi dalam hal pengelolaan pendidikan.

Pendidikan tinggi tetap menjadi urusan pemerintah pusat karena tidak ada otonomi dalam urusan pendidikan tinggi.

Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah dalam kacamata normatif otonomi Indonesia seharusnya diatur dan diurus oleh provinsi, kabupaten/kota.
Provinsi mengatur dan mengurusi pendidikan menengah, sedangkan kabupaten/kota mengatur dan mengurus pendidikan dasar.

Dalam praktik, tidak satu pun provinsi, kabupaten/kota di Indonesia yang mampu mengatur pendidikan dasar dan menengah dengan baik.

Hanya sebagian kecil daerah otonom yang mampu mengaturnya untuk hal-hal kecil dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang sudah didesentralisasikan. Termasuk di antaranya Provinsi DKI Jakarta, yang berhasil menggratiskan belajar di tingkat SD dan meningkatkan kesejahteraan para guru.

Rintisan ini yang kemudian dicoba diikuti daerah lain. Namun, dalam materi urusan lainnya, daerah otonom nyaris belum mampu mengaturnya dengan baik.
Anehnya, semua urusan pendidikan dasar dan menengah dapat diselenggarakan oleh daerah otonom.

Walau begitu, adanya dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan membuat pemerintah pusat masih campur tangan dan berhubungan langsung ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.

Meskipun secara normatif, sebagian besar urusan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sudah didesentralisasikan, tetapi dalam praktik, pengaturan mengenai urusan tersebut masih dipegang pusat.

Dalam hal ini, pemerintah mengembangkan school-based management (SBM), tetapi tanpa memperhatikan liku-liku struktur pemerintahan yang dikembangkan.
Ternyata kepala sekolah sangat berkuasa menentukan roda pendidikan dasar, bukan pemangku kepentingan dalam struktur SBM. Akibatnya, kedudukan kepala sekolah menjadi rebutan era sekarang.

Jadi, praktik hubungan langsung pemerintah pusat ke sekolah-sekolah ini tidak ada dasar teorinya sama sekali. Terjadilah kerancuan manajemen pendidikan dasar dan menengah.

Beberapa daerah yang elite birokrasi ataupun elite politiknya berasal dari dunia pendidikan dapat melakukan terobosan pengaturan.

Yang mengherankan adalah jajaran birokrasi lokal di bidang tersebut seolah membiarkan hal ini terjadi.

Seakan mereka tidak ”mau” untuk diatur oleh elite politik lokal yang notabene ”tetangga”-nya sendiri. Mereka merasa lebih nyaman diatur oleh koleganya di Jakarta.

Desain ulang

Dengan demikian, otonomi pendidikan dasar dan menengah yang terjadi di Indonesia secara kelembagaan berwajah sentralisasi.

Sebagian urusan yang bersifat sensitif, yang disukai politisi dan gampang terlihat oleh publik saja yang diambil untuk diurusi, contohnya mengangkat kepala sekolah.

Aturan teknisnya pun datang dari pusat, daerah tidak sadar. Elemen pusat menyadari bahwa hal ini yang paling disukai oleh daerah otonom selain masalah uang penyelenggaraan pendidikan, sedangkan terhadap wewenang substansialnya, daerah tidak menyukai.

Dalam mengatasi soal ini, desentralisasi urusan pendidikan harus dibenahi. Desentralisasi pendidikan dalam tubuh NKRI tidak mengenal otonomi langsung ke sekolah kecuali kita menganut desentralisasi fungsional. Lebih kuat lagi jika ada dalam UUD.

Catatannya adalah peraturan perundangan tersebut harus dibuat harmonis. Bahkan, sekolah swasta pun harus berbasis otonomi daerah.

Sekolah dasar dan menengah swasta ada dalam domain pengaturan daerah otonom. Pemerintah pusat menyusun kode perilaku dan mengawasinya.
Di sini letak concurrent-function dalam urusan pendidikan dasar dan menengah yang dikerjakan pusat.

Instrumen sentralisasi, dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan harus jelas.

Jajaran birokrasi pusat dan daerah harus konsisten mengembangkan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang menjadi domain daerah otonom.

Mereka tidak boleh mendiamkan dan langsung mengambil alih jika daerah otonom tidak mampu mengatur dan mengurus urusan pendidikan yang didesentralisasikan.

Instansi vertikal dibutuhkan sesuai desain ini, khususnya untuk memastikan kode perilaku pendidikan nasional berjalan di seluruh pelosok NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar