Sabtu, 07 Desember 2013

Kenali Diri Sendiri

Kenali Diri Sendiri
Toeti Prahas Adhitama ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  06 Desember 2013

  

DALAM pidato pembukaan Rakernas I Partai Politik Nas Dem, pada 1 Desember yang lalu, dihadiri lebih 2.200 orang terdiri dari para pengurus dan caleg dari seluruh Indonesia, Ketua Umum Surya Paloh menganjurkan agar kita secara jujur mengenali diri. Dalam suasana sosial-politik penuh penantian menjelang Pemilu 2014, seruan itu mengena karena membuat kita sadar betapa ketidakjujuran bisa menyesatkan perjalanan bangsa ini.

Aksioma bahwa Tanah Air kita subur makmur loh jinawi memang benar, tetapi zaman baru menuntut pengelolaan yang sesuai zaman pula. Seperti kata Ketua DPD Irman Gusman, belum lama ini, tidak ada negara miskin. Negara menjadi miskin karena salah pengelolaan.

Itu mendasari tekad untuk mengadakan perubahan. Namun, perubahan mencakup bidang luas. Pertanyaannya, dari mana kita memulainya?
Bila mempertimbangkan yang kita hadapi sekarang rasanya paling gawat, masalah korupsi yang demikian luas jaringannya tampak menonjol karena dia merongrong kekuatan dan martabat kita sebagai bangsa. Akan tetapi, usaha mengatasinya rasanya tidak akan selesai bahkan setelah berakhirnya masa jabatan pertama pemerintahan presiden baru.

Yang gawat lainnya adalah masalah ekonomi, salah satu pilar penting yang mengusung penghidupan rakyat. Belum lama ini kita masih bertepuk dada karena pertumbuhannya yang tinggi dan lancar, sedangkan negara lain banyak yang terhambat. Namun, akhirnya kita pun terjebak oleh gejala negatif yang melanda dunia. Itu ditandai dengan makin merosotnya harga rupiah vis a vis dolar Amerika; suatu keadaan yang berpotensi memiskinkan bangsa ini. Maka dari mana program perubahan yang menjadi cita-cita Partai NasDem bisa dimulai?

Berubah dari akarnya

“Pada awalnya, politik itu mulia. Baik politik sebagai ilmu, seni, aktivitas maupun institusi pada mulanya dimaksudkan untuk mengatur dan mengendalikan kekuasaan sebuah pemerintahan untuk melindungi dan menyejahterakan warganya.“ Kata-kata itu pernah disampaikan Komaruddin Hidayat, Rektor UIN.

Memang konsekuensi dan implikasi sosial politik penting sekali bagi perjalanan bangsa. Kebijakan dan kekuasaan pemerintahan akan menentukan kehidupan dan penghidupan bangsa. Di sinilah pentingnya peran pemimpin dan ke pemimpinannya, serta kebijakan-kebijakan yang dipilihnya. Karena itu, salahsalah memilih pemimpin, kita ibaratnya terjun bebas ke dalam malapetaka. 

Sejarah Republik ini mengisahkan sejak awal bagaimana sepak terjang para pemimpin dan rangkaian kebijakan mereka yang pada akhirnya, setelah hampir tujuh dasawarsa, menjadikan bangsa dengan warna masyarakat seperti yang kita kenal sekarang.

Ada baiknya kalau kita mulai dengan menelaah situasi ekonomi yang sekarang mulai mencemaskan. Kalau perlu ada perubahan, mungkin pemikiran di bidang ini bisa menjadi titik tolaknya.

Perubahan sikap di bidang ekonomi

Memang lebih mudah membangun negara yang memiliki tanah luas dan subur, bahan-bahan mineral yang memiliki nilai ekonomi, dan tenaga kerja yang berlimpah, daripada negara yang miskin sumber. Namun, banyak negara yang diberkahi kekayaan alam hanya mampu memberikan taraf hidup rendah kepada mayoritas rakyatnya. Indonesia contohnya. Sebaliknya negara-negara seperti Swiss, Holland dan Denmark sekarang tergolong negara-negara kaya dunia. 

Walaupun bila ditilik dari sumber alamnya, negara-negara itu tergolong miskin.
Tesis itu pernah ditulis Stanislaw Wellisz, ekonom Amerika kelahiran Polandia (1925) PhD, tamatan Universitas Harvard pada 1954. Ahli ekonomi pembangunan itu pernah mengajar ilmu ekonomi di berbagai universitas terkemuka di dunia, termasuk bertahun-tahun di Universitas Warsawa. Menurut pendapatnya, masalahnya antara lain terletak pada teknologi modern. Dengan teknologi modern, negara-negara yang miskin sumber dapat mengatasi kekurangannya. Malahan negara-negara yang kaya sumber mungkin pada akhirnya menjadi korban karena kemajuan teknologi negaranegara lain.

Topik tersebut dipersoalkan menjelang pertemuan WTO di Bali pekan ini. Misalnya, eksportir karet alam sudah terpukul karena penemuan bahan sintetis. Begitu pula akibat penemuan-penemuan baru terhadap hasilhasil lain. Selain itu, antara lain, karena kebijakan WTO yang menganjurkan perdagangan bebas dan terbuka, akhirnya akan mengorbankan negara-negara yang kalah maju dan membuat mereka lebih sebagai pasar produkproduk negara-negara maju. Kebijakan itu tidak bersifat fifty-fifty.

Namun, walaupun kemajuan teknologi memang menjadi penggerak kemajuan pembangunan ekonomi, tetapi bukan obat mujarab. Demi kelancaran pembangunan, negara-negara yang ketinggalan memerlukan sikap baru. Bukan hanya dengan mengandalkan modal asing yang membawa teknik baru atau technical know-how. Yang tidak bisa diimpor adalah sikap modern yang siap mengikuti modernisasi. Itulah satu-satunya landasan institusional untuk kemajuan. Baru setelah itu dibangun, dicari teknik-teknik baru yang dapat mempercepat perubahan hasil.

Perekonomian yang dapat memanfaatkan pengetahuan pada segenap tingkat, dari pengetahuan perajin sederhana sampai pengetahuan raja jaringan pengangkutan nasional, dapat memperlancar kemajuan. Dalam analisis terakhir, kemajuan terdiri dari penemuan cara-cara baru yang lebih baik, yang mampu mengombinasikan unsurunsur yang ada di tangan, dan ini memerlukan sikap modern. Namun, sikap modern hendaknya tetap bertolak dari kepentingan nasional, walaupun tidak harus bersifat chauvinistic dan prejudice.

Kalau perubahan bidang ekonomi itu terwujud, berarti kita mewujudkan salah satu perubahan penting. Pasalnya, kita hanya membohongi diri sendiri bila mengira pemilu, yang hanya tinggal empat bulan lagi, semata-mata gawenya orang-orang politik, tanpa berpengaruh pada bidang kehidupan lain, termasuk bidang yang mengusung penghidupan masa depan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar