DALAM pidato pembukaan
Rakernas I Partai Politik Nas Dem, pada 1 Desember yang lalu, dihadiri
lebih 2.200 orang terdiri dari para pengurus dan caleg dari seluruh
Indonesia, Ketua Umum Surya Paloh menganjurkan agar kita secara jujur
mengenali diri. Dalam suasana sosial-politik penuh penantian menjelang
Pemilu 2014, seruan itu mengena karena membuat kita sadar betapa
ketidakjujuran bisa menyesatkan perjalanan bangsa ini.
Aksioma bahwa Tanah Air kita subur makmur loh jinawi memang benar, tetapi
zaman baru menuntut pengelolaan yang sesuai zaman pula. Seperti kata Ketua
DPD Irman Gusman, belum lama ini, tidak ada negara miskin. Negara menjadi
miskin karena salah pengelolaan.
Itu mendasari tekad
untuk mengadakan perubahan. Namun, perubahan mencakup bidang luas.
Pertanyaannya, dari mana kita memulainya?
Bila mempertimbangkan yang kita hadapi sekarang rasanya paling gawat,
masalah korupsi yang demikian luas jaringannya tampak menonjol karena dia
merongrong kekuatan dan martabat kita sebagai bangsa. Akan tetapi, usaha
mengatasinya rasanya tidak akan selesai bahkan setelah berakhirnya masa
jabatan pertama pemerintahan presiden baru.
Yang gawat lainnya
adalah masalah ekonomi, salah satu pilar penting yang mengusung penghidupan
rakyat. Belum lama ini kita masih bertepuk dada karena pertumbuhannya yang
tinggi dan lancar, sedangkan negara lain banyak yang terhambat. Namun,
akhirnya kita pun terjebak oleh gejala negatif yang melanda dunia. Itu
ditandai dengan makin merosotnya harga rupiah vis a vis dolar Amerika; suatu keadaan yang berpotensi
memiskinkan bangsa ini. Maka dari mana program perubahan yang menjadi
cita-cita Partai NasDem bisa dimulai?
Berubah dari akarnya
“Pada awalnya, politik itu mulia. Baik
politik sebagai ilmu, seni, aktivitas maupun institusi pada mulanya
dimaksudkan untuk mengatur dan mengendalikan kekuasaan sebuah pemerintahan
untuk melindungi dan menyejahterakan warganya.“ Kata-kata itu
pernah disampaikan Komaruddin Hidayat, Rektor UIN.
Memang konsekuensi
dan implikasi sosial politik penting sekali bagi perjalanan bangsa. Kebijakan
dan kekuasaan pemerintahan akan menentukan kehidupan dan penghidupan
bangsa. Di sinilah pentingnya peran pemimpin dan ke pemimpinannya, serta
kebijakan-kebijakan yang dipilihnya. Karena itu, salahsalah memilih
pemimpin, kita ibaratnya terjun bebas ke dalam malapetaka.
Sejarah Republik
ini mengisahkan sejak awal bagaimana sepak terjang para pemimpin dan
rangkaian kebijakan mereka yang pada akhirnya, setelah hampir tujuh
dasawarsa, menjadikan bangsa dengan warna masyarakat seperti yang kita
kenal sekarang.
Ada baiknya kalau
kita mulai dengan menelaah situasi ekonomi yang sekarang mulai mencemaskan.
Kalau perlu ada perubahan, mungkin pemikiran di bidang ini bisa menjadi
titik tolaknya.
Perubahan sikap di bidang ekonomi
Memang lebih mudah
membangun negara yang memiliki tanah luas dan subur, bahan-bahan mineral
yang memiliki nilai ekonomi, dan tenaga kerja yang berlimpah, daripada
negara yang miskin sumber. Namun, banyak negara yang diberkahi kekayaan
alam hanya mampu memberikan taraf hidup rendah kepada mayoritas rakyatnya.
Indonesia contohnya. Sebaliknya negara-negara seperti Swiss, Holland dan
Denmark sekarang tergolong negara-negara kaya dunia.
Walaupun bila ditilik
dari sumber alamnya, negara-negara itu tergolong miskin.
Tesis itu pernah
ditulis Stanislaw Wellisz, ekonom Amerika kelahiran Polandia (1925) PhD,
tamatan Universitas Harvard pada 1954. Ahli ekonomi pembangunan itu pernah
mengajar ilmu ekonomi di berbagai universitas terkemuka di dunia, termasuk
bertahun-tahun di Universitas Warsawa. Menurut pendapatnya, masalahnya
antara lain terletak pada teknologi modern. Dengan teknologi modern,
negara-negara yang miskin sumber dapat mengatasi kekurangannya. Malahan
negara-negara yang kaya sumber mungkin pada akhirnya menjadi korban karena
kemajuan teknologi negaranegara lain.
Topik tersebut dipersoalkan
menjelang pertemuan WTO di Bali pekan ini. Misalnya, eksportir karet alam
sudah terpukul karena penemuan bahan sintetis. Begitu pula akibat
penemuan-penemuan baru terhadap hasilhasil lain. Selain itu, antara lain,
karena kebijakan WTO yang menganjurkan perdagangan bebas dan terbuka,
akhirnya akan mengorbankan negara-negara yang kalah maju dan membuat mereka
lebih sebagai pasar produkproduk negara-negara maju. Kebijakan itu tidak
bersifat fifty-fifty.
Namun, walaupun
kemajuan teknologi memang menjadi penggerak kemajuan pembangunan ekonomi,
tetapi bukan obat mujarab. Demi kelancaran pembangunan, negara-negara yang
ketinggalan memerlukan sikap baru. Bukan hanya dengan mengandalkan modal
asing yang membawa teknik baru atau technical
know-how. Yang tidak bisa diimpor adalah sikap modern yang siap
mengikuti modernisasi. Itulah satu-satunya landasan institusional untuk
kemajuan. Baru setelah itu dibangun, dicari teknik-teknik baru yang dapat
mempercepat perubahan hasil.
Perekonomian yang
dapat memanfaatkan pengetahuan pada segenap tingkat, dari pengetahuan
perajin sederhana sampai pengetahuan raja jaringan pengangkutan nasional,
dapat memperlancar kemajuan. Dalam analisis terakhir, kemajuan terdiri dari
penemuan cara-cara baru yang lebih baik, yang mampu mengombinasikan
unsurunsur yang ada di tangan, dan ini memerlukan sikap modern. Namun,
sikap modern hendaknya tetap bertolak dari kepentingan nasional, walaupun
tidak harus bersifat chauvinistic
dan prejudice.
Kalau perubahan
bidang ekonomi itu terwujud, berarti kita mewujudkan salah satu perubahan
penting. Pasalnya, kita hanya membohongi diri sendiri bila mengira pemilu,
yang hanya tinggal empat bulan lagi, semata-mata gawenya orang-orang
politik, tanpa berpengaruh pada bidang kehidupan lain, termasuk bidang yang
mengusung penghidupan masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar