KONFERENSI Tingkat Menteri (KTM)
ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Nusa Dua, Bali, sudah dibuka
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Nusa Dua, Bali, pada 3 Desember dan
berjalan sampai 6 Desember hari ini.
Sebagaimana yang diketahui, WTO
adalah satu-satunya lembaga dunia yang dihadirkan secara khusus mengatur
perdagangan antarnegara.
Didirikan pada 1 Januari 1995, lembaga ini bertujuan utama membantu para
produsen barang dan jasa, eksportir, dan importir dalam kegiatan
perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendirinya bahkan
persetujuan terhadap keberadaan WTO diratifikasi menjadi produk hukum
Indonesia melalui Undang-undang No 7 tahun 1994.
Secara ideal keberadaan WTO
dikatakan bermanfaat karena WTO dibentuk untuk menghadirkan prinsip-prinsip
perdagangan multilateral yang akan menguntungkan semua pihak. Tiga prinsip
tersebut adalah: pertama, most favoured nation (MFN), yakni prinsip
perlakuan yang sama terhadap negara mitra dagang, kedua, national
treatment, perlakuan yang sama atas barang impor dan lokal dan ketiga,
transparency, kebijakan perdagangan yang transparan.
Akan tetapi, dalam realitas
tentulah tidak sedemikian adanya. Yang banyak menikmati kehadiran WTO
adalah negara maju. Negara-negara majulah yang menikmati akses pasar dan
peningkatan perdagangan melalui pemotongan tarif impor yang dinegosiasikan
melalui WTO. Sejak 1995 kesepakatan-kesepakatan WTO telah berhasil
menurunkan rata-rata tarif impor 24% pada negara-negara berkembang dan 36%
pada negara-negara maju.
Negara-negara berkembang apalagi
terbelakang tidak bisa menikmati tren penurunan tarif tersebut karena
negara maju secara terselubung tetap melakukan proteksi p terhadap produk d
pelaku ekonomi mereka dan melalui kebijakan export competition. Export
compe tition adalah subsidi yang diberikan pemerintah kepada produk
pertanian yang akan diekspor sehingga harganya lebih murah di negara tujuan
ekspor. Hal tersebut mengakibatkan negara berkembang sulit bersaing dengan
produk yang sama.
Seperti diketahui, melalui
mekanisme agreement on agriculture (AoA) pada 1994 di Uruguay, dibahas
tentang mekanisme pemberian subsidi pertanian bagi negara maju dan
berkembang. Subsidi negara maju disepakati sebesar 5% dari total nilai
produksi pertanian, sedangkan negara berkembang sebesar 10%.
Namun,
sejumlah negara maju masih melakukan subsidi domestik, seperti AS dengan
Farm Bill-nya dengan nilai US$ 180 miliar per tahun, dan Eropa yang
mengucurkan subsidi sedikitnya 80 miliar euro tiap tahunnya.
Lalu apa arti WTO bagi
Indonesia? Secara umum dapat kita katakan seperti umumnya negara berkembang,
WTO telah menjadikan Indonesia pasar dari industri negara-negara maju. Dari
sisi demand, WTO memang bermanfaat bagi Indonesia karena masyarakat bisa
mendapatkan komoditas yang lebih bermutu dan murah.
Namun, dari sisi suplai kita
tidak bisa memanfaatkannya karena kekuatan ekspor kita yang tergantung
komoditas-komoditas primer bernilai tambah rendah dan sulit bersaing dengan
produk sejenis negara maju yang masih diproteksi oleh negaranya. Defisit
neraca transaksi berjalan yang terjadi dalam 2 tahun terakhir adalah bukti
kuat bahwa Indonesia tidak lebih menjadi konsumen (pasar), bukan produsen
dan pemasok pasar dunia.
Secara umum, strategi Indonesia
sama dengan negaranegara berkembang lainnya dalam memperjuangkan kepentingannya
di WTO, yakni pertama, bersifat ofensif dengan tujuan meningkatkan akses
pasar di negara-negara tujuan ekspor dengan jalan menuntut penghapusan
subsidi ekspor di ne gara-negara maju agar produk Indonesia dapat lebih
bersaing. Kedua, strategi yang bersifat defensif dengan tujuan melindungi
industri dalam negeri khususnya di sektor pertanian. Titik tekannya adalah
agar kesepakatan perdagangan yang diratifikasi WTO tidak mengganggu
kepentingan ketahanan pangan dan proteksi petani dan subsidi untuk ekonomi
rakyat.
Ada kritik penting yang perlu
kita sampaikan sehubungan dengan arti keberadaan WTO ini bagi negara kita,
yakni Indonesia itu terkesan hanya menjadi objek dari
kesepakatan-kesepakatan WTO. Kita bukan subjek yang mampu memanfaatkan
forum WTO untuk memperjuangkan kepentingan nasional kita.
Kita bisa belajar dari India
tentang bagaimana menggunakan forum WTO memperjuangkan kepentingan
nasionalnya. Saat ini India punya kepentingan nasional untuk
mengimplementasikan program makanan murah bagi 800 juta orang pada tahun
depan.
Kebijakan India itu kalau
dilaksanakan bertentangan dengan peraturan WTO yang membatasi subsidi
pertanian hanya 10% dari produksi.
India memperjuangkan kepentingan nasional bahkan melobi negara-negara
berkembang yang bergabung dalam G-33 untuk menolak kesepakatan bahwa negara
berkembang yang telah melakukan program subsidi lebih dari 10% dituduh
melakukan pelanggaran.
Bahkan India berhasil menggalang
titik temu kepentingannya dengan kepentingan negara-negara berkembang lain
sehingga negara-negara berkembang sepakat mengajukan proposal untuk
menambah batas cadangan pangan negara dari 10% menjadi 15% untuk
diperjuangkan dalam forum WTO. Proposal itu merupakan proposal penting yang
ditawarkan negara berkembang G-33 dalam pertemuan KTM ke-9 WTO di Bali saat
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar