Beberapa waktu lalu, Tempo menurunkan laporan
yang memperlihatkan bagaimana Gubernur Banten Atut Chosiyah bisa
menghabiskan uang ratusan juta rupiah untuk membeli pakaian dan aksesori.
Atut pernah membelanjakan uang Rp 430 juta di butik Hermes di Tokyo,
Jepang, pada Februari 2012. Pada kesempatan yang sama, Atut juga berbelanja
senilai Rp 100 juta di toko Daikokuya.
Tentu saja yang dibeli Atut tak sekadar
pakaian, tapi citra (imaji) dari pakaian itu. Ia tidak sedang berhadapan
dengan kebutuhan (need), melainkan keinginan (desire). Jika kebutuhan
dibatasi oleh fungsi, keinginan akan dibatasi oleh uang. Jadi,
fashion-pakaian, busana, aksesori, hingga kendaraan tunggangan-tak sekadar
benda mati. Lebih dari itu, fashion merupakan pernyataan diri. Berpakaian
adalah cara menyampaikan identitas diri kepada orang lain,
yakni statement kelas dan status.
Umberto Eco, filsuf dan novelis
berkebangsaan Italia, menyatakan busana adalah mesin komunikasi. Dengan
kata lain, busana adalah sistem simbol. Ia mengatakan lebih banyak hal yang
terlihat daripada benda itu sendiri. Dalam konteks kekuasaan, ia menjadi pembatas
antara "kalian" (kawula dan bawahan) dan "aku"
(penguasa). "Kalian" tidak boleh lebih tinggi atau hebat daripada
"aku".
Atut sadar betul bahwa sebagai gubernur, ia
harus berbeda dengan rakyat biasa melalui pakaiannya. Dengan berpakaian
serba wah dan mahal, ia tampak mendominasi dalam setiap penampilannya. Dan
orang-orang yang didominasi pun memaklumi posisinya. Atut adalah penguasa,
maka ia pantas mengenakan busana mewah, mahal, dan wah.
Fashion pun menjadi alat untuk mendongkrak
citra dan mempertegas posisinya di depan khalayak ramai. Fashion sendiri
berkaitan erat dengan kekuasaan. Berasal dari bahasa latin, factio, yang
artinya membuat atau melakukan. Dari kata factio inilah diperoleh kata
faksi, yang bermakna politik. Karena itu, arti asli atau akar dari kata
fashion adalah kegiatan seseorang dalam "membuat sesuatu" atau
"melakukan sesuatu".
Malcomn Barnard (2009:59) mengatakan fashion
bukan hanya cara mengkomunikasikan identitas, tapi juga sebuah upaya
mendominasi dalam suatu tatanan sosial. Jadi, menurut dosen di Universitas
Derby, Inggris, ini, fashion adalah bagian dari proses yang dilakukan
seseorang atau kelompok sosial dalam membangun, menopang, dan memproduksi
posisi kekuasaan.
Meski dalam hubungan ini busana sesungguhnya
menunjukkan kelas pendapatan, dalam konteks seorang birokrat, hal ini
menjadi serba samar untuk didefinisikan. Orang susah membedakan mana
fasilitas kebirokrasian dan mana properti pribadi. Apalagi, pejabat
mendapat kemudahan-kemudahan lantaran jabatannya, seperti pakaian, rumah,
mobil, dan berbagai fasilitas lainnya.
Karena itu, fashion bagi seorang elite
kekuasaan sulit digolongkan dalam produksi citra kekayaan atau pendapatan.
Ia lebih tepat sebagai pembeda identitas antara rakyat, bawahan, dan
pimpinan. Apalagi, dalam konteks Atut, ia memang tidak lagi membutuhkan
penegasan citra kaya karena ia datang dari keluarga kaya. Jadi, yang lebih
muncul adalah simbol kepercayaan diri dan perangkat untuk mendominasi orang
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar