Akhir-akhir ini masyarakat
Indonesia dihadapkan pada gonjang-ganjing dunia kedokteran.
Gonjang-ganjing ini akibat
putusan kasasi Mahkamah Agung, 18 September 2012, yang membatalkan
putusan bebas Pengadilan Negeri Manado dan memidana dokter Ayu
Susiary Prawarni dan dua dokter lainnya dengan pidana 10 bulan penjara.
Mereka dianggap terbukti melakukan malapraktik, yaitu
karena kealpan mereka menimbulkan kematian pasien Julia
Fransiska Makatey pada saat melahirkan melalui operasi caesar. Ribuan
dokter di sejumlah wilayah Nusantara melakukan demonstrasi
atas dasar solidaritas menentang putusan MA, yang dianggap
tindakan kriminalisasi profesi dokter.
Hal yang menarik adalah bahwa
sebelumnya PN Manado menyatakan tiga dokter tersebut divonis bebas. Putusan
itu antara lain atas dasar testimoni Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Sulut, yang
menyimpulkan bahwa ketiga dokter tersebut tidak terbukti melanggar etik dan
prosedur profesi kedokteran. Hal ini membuktikan bahwa persoalan
malapraktik bukan masalah sederhana dalam pembuktian.
Malapraktik dokter merupakan
kelalaian atau kealpaan profesional (professional negligence), baik dengan cara berbuat atau
tidak berbuat sesuatu, yang dilakukan seorang dokter. Perbuatan dokter
tersebut dinilai berada di bawah standar praktik yang diterima
masyarakat medis dalam kondisi yang sama, mengakibatkan
kerugian atau cedera. Dalam kasus ini mengakibatkan kematian.
Jaksa penuntut umum—atas dasar
laporan keluarga pasien— lalu menuntut tim dokter itu karena dianggap
melakukan kelalaian, kecerobohan, atau kesemberonoan yang relatif
berat, yang menimbulkan kematian (Pasal 359 KUHP). Tidak mustahil tuntutan
semacam ini juga dapat diajukan terhadap penyelenggara kesehatan
lain , seperti perawat, rumah sakit, dan klinik jika terlibat
dalam penyertaan.
Elemen malapraktik
Untuk suksesnya laporan telah
terjadinya malapraktik dokter atas dasar kealpaan (negligence), jaksa penuntut umum harus dapat membuktikan empat
elemen berikut. Pertama, pembuktian adanya elemen kewajiban hukum (legal duty) atau semacam kontrak
dalam hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien.
Dalam hal ini pasien mengharapkan pelayanan kesehatan yang
didasarkan norma dan standar pelayanan yang telah digariskan
profesinya. Dalam kerangka ini kesaksian atau testimoni ahli yang kredibel
dari kedua belah pihak dapat diajukan. Kedua, pembuktian adanya
pelanggaran terhadap hubungan kewajiban hukum itu (breach of duty) oleh
dokter. Dokter dianggap gagal memenuhi standar pelayanan
yang ditentukan profesinya.
Ketiga, pembuktian bahwa
pelanggaran itu telah menyebabkan terjadinya cedera (causation). Hubungan
sebab-akibat ini harus nyata dan layak dapat diduga seorang
dokter, baik dalam bentuk berbuat atau tidak berbuat, yang sering disebut
sebagai kausa yang bernilai hukum (legal
cause atau proximate
cause). Keempat, pembuktian mutlak adanya kerugian (damage) aktual terhadap
kepentingan pasien akibat pelanggaran standar pelayanan yang mengakibatkan
kerugian akibat cedera itu, baik ekonomis dan non-ekonomis (cedera
fisik mulai cacat sampai dengan kematian) (American College of Legal Medicine, The Medical Malpractice
Survival Handbook, Mosby, Elsevier, 2007).
Di sejumlah negara maju,
persoalan malapraktik ini sangat menghantui dokter sehingga
mengakibatkan berkembangnya pengaturan tentang pembatasan gugatan ekonomis;
waktu kedaluwarsa yang lebih pendek; keberadaan pengadilan khusus
malapraktik; asuransi malapraktik; dan praktik medis
defensif (defensive medical
practice) berupa tindakan dokter yang berkelebihan yang
mengharuskan berbagai tes diagnostik yang sebenarnya tidak
perlu untuk menghindari kemungkinan gugatan atau tuntutan malapraktik.
Hal
ini mengakibatkan meroketnya biaya pelayanan kesehatan.
Untuk membantu hakim agar dapat
menyimpulkan secara normatif apakah dokter telah melanggar standar
pelayanan medis, kesaksian ahli yang
kredibel sangat perlu dalam memutuskan perkara. Apabila terjadi
keragu- raguan dalam deskripsi para saksi ahli yang diajukan kedua
pihak, hakim dapat memberlakukan prinsip in dubio pro reo. Artinya, apabila terjadi
keragu-raguan hakim harus memihak terdakwa atas dasar asas praduga tak
bersalah. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran yang diatur dalam
Pasal 55 hingga Pasal 64 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran hanya berwenang menangani kasus-kasus pelanggaran disiplin
dokter. Dalam kasus dokter Ayu, jika diyakini ada keadaan baru (novum) atau pernyataan hakim yang
bertentangan atau ternyata ada kekhilafan hakim, peninjauan kembali dapat
diajukan. Namun, PK tak menangguhkan atau menghentikan eksekusi
(Pasal 268 Ayat 1 KUHAP).
Agenda ke depan
Kementerian Kesehatan
diharapkan segera merumuskan dengan jelas apa yang dinamakan standar
pelayanan kesehatan (standard
of care) yang masing-masing berlaku secara nasional untuk
semua penyelenggara kesehatan, seperti dokter, perawat, rumah
sakit, dan klinik. Di samping itu, perlu dikembangkan suatu lembaga semacam
forum konsultasi antara para penyelenggara pelayanan kesehatan,
profesional kesehatan, penegak hukum, pengacara, administrator, pendidikan
hukum dan kedokteran, serta peminat lain untuk dapat
menghayati bersama secara interdisipliner masalah-masalah hukum
kesehatan agar dapat ditegakkan secara tepat dan profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar