Jumat, 06 Desember 2013

Anatomi Malapraktik Dokter

Anatomi Malapraktik Dokter
Muladi  ;   Guru Besar Hukum Pidana Emeritus Universitas Diponegoro;
Mantan Hakim Agung
KOMPAS,  06 Desember 2013

  

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia  dihadapkan pada gonjang-ganjing dunia kedokteran.

Gonjang-ganjing ini akibat putusan kasasi  Mahkamah Agung, 18 September 2012, yang membatalkan putusan bebas Pengadilan Negeri Manado  dan memidana dokter Ayu Susiary Prawarni dan dua dokter lainnya dengan pidana 10 bulan penjara. Mereka  dianggap terbukti  melakukan malapraktik, yaitu karena  kealpan mereka menimbulkan kematian   pasien Julia Fransiska Makatey pada saat melahirkan melalui operasi caesar. Ribuan dokter di sejumlah  wilayah  Nusantara  melakukan demonstrasi atas dasar solidaritas menentang putusan MA,  yang dianggap tindakan kriminalisasi profesi dokter.

Hal yang menarik adalah bahwa sebelumnya PN Manado menyatakan tiga dokter tersebut divonis bebas. Putusan itu  antara lain atas dasar testimoni  Majelis  Kehormatan  Disiplin Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Sulut, yang menyimpulkan bahwa ketiga dokter tersebut tidak terbukti melanggar etik dan prosedur profesi kedokteran. Hal ini membuktikan bahwa persoalan malapraktik bukan masalah sederhana dalam pembuktian. 

Malapraktik dokter merupakan  kelalaian atau kealpaan profesional (professional negligence), baik  dengan cara berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang dilakukan seorang dokter. Perbuatan dokter  tersebut dinilai berada di bawah standar  praktik yang diterima masyarakat  medis  dalam kondisi yang sama, mengakibatkan kerugian  atau cedera. Dalam kasus ini mengakibatkan kematian.

Jaksa penuntut umum—atas dasar laporan keluarga pasien—  lalu menuntut tim dokter itu karena dianggap melakukan  kelalaian, kecerobohan, atau kesemberonoan yang relatif berat, yang menimbulkan kematian (Pasal 359 KUHP). Tidak mustahil tuntutan semacam ini juga  dapat diajukan terhadap penyelenggara kesehatan lain  , seperti perawat, rumah sakit, dan klinik jika terlibat dalam penyertaan.

Elemen malapraktik

Untuk suksesnya laporan telah terjadinya malapraktik dokter atas dasar kealpaan (negligence), jaksa penuntut umum harus dapat membuktikan empat elemen berikut. Pertama, pembuktian adanya elemen kewajiban hukum (legal duty) atau semacam kontrak  dalam hubungan  kepercayaan antara  dokter dan pasien. 

Dalam hal ini pasien mengharapkan  pelayanan kesehatan yang  didasarkan norma dan standar pelayanan  yang telah digariskan profesinya. Dalam kerangka ini kesaksian atau testimoni ahli yang kredibel dari kedua belah pihak dapat  diajukan. Kedua, pembuktian adanya pelanggaran terhadap hubungan kewajiban hukum itu (breach of duty) oleh dokter. Dokter dianggap  gagal memenuhi   standar pelayanan  yang ditentukan profesinya.

Ketiga, pembuktian  bahwa  pelanggaran itu telah menyebabkan terjadinya cedera  (causation). Hubungan  sebab-akibat ini harus nyata   dan layak dapat diduga seorang dokter, baik dalam bentuk berbuat atau tidak berbuat, yang sering disebut sebagai kausa yang bernilai hukum (legal cause atau proximate cause). Keempat, pembuktian mutlak  adanya kerugian  (damage)  aktual terhadap kepentingan pasien akibat pelanggaran standar pelayanan yang mengakibatkan kerugian  akibat cedera itu, baik ekonomis dan non-ekonomis (cedera fisik mulai cacat sampai dengan kematian)  (American College of Legal Medicine, The Medical Malpractice Survival Handbook, Mosby, Elsevier, 2007).

Di sejumlah negara maju, persoalan malapraktik ini sangat  menghantui  dokter sehingga mengakibatkan berkembangnya pengaturan tentang pembatasan gugatan ekonomis; waktu kedaluwarsa yang lebih pendek; keberadaan pengadilan khusus malapraktik;   asuransi malapraktik; dan  praktik medis defensif  (defensive medical practice) berupa tindakan dokter yang berkelebihan yang  mengharuskan berbagai tes diagnostik  yang sebenarnya tidak perlu untuk menghindari kemungkinan gugatan atau tuntutan malapraktik. 

Hal ini mengakibatkan meroketnya biaya pelayanan kesehatan.
Untuk membantu hakim agar dapat menyimpulkan secara normatif apakah  dokter telah melanggar standar pelayanan medis,   kesaksian ahli yang    kredibel   sangat perlu dalam memutuskan perkara. Apabila terjadi keragu- raguan dalam deskripsi para saksi ahli yang diajukan kedua pihak,  hakim dapat memberlakukan  prinsip in dubio pro reo. Artinya, apabila terjadi keragu-raguan hakim harus memihak terdakwa atas dasar asas praduga tak bersalah.  Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran yang diatur dalam Pasal 55 hingga Pasal 64 UU No 29 Tahun 2004  tentang Praktik Kedokteran hanya berwenang menangani kasus-kasus pelanggaran disiplin dokter. Dalam kasus dokter Ayu, jika diyakini ada keadaan baru (novum) atau pernyataan hakim yang bertentangan atau ternyata ada kekhilafan hakim, peninjauan kembali dapat diajukan. Namun, PK tak menangguhkan atau menghentikan  eksekusi (Pasal 268  Ayat 1 KUHAP).

Agenda ke depan

Kementerian  Kesehatan diharapkan segera  merumuskan dengan jelas apa yang dinamakan standar pelayanan kesehatan  (standard of care)  yang masing-masing berlaku secara nasional  untuk semua penyelenggara kesehatan,  seperti  dokter, perawat, rumah sakit, dan klinik. Di samping itu, perlu dikembangkan suatu lembaga semacam forum konsultasi antara para penyelenggara pelayanan  kesehatan, profesional kesehatan, penegak hukum, pengacara, administrator, pendidikan hukum dan kedokteran,  serta peminat lain  untuk dapat menghayati  bersama secara interdisipliner masalah-masalah hukum kesehatan agar dapat ditegakkan secara tepat dan profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar