TAHUN berganti tak lebih dari
setengah bulan lagi. Lalu, kenangan indah apa yang lekat apabila bicara
lingkungan di Tanah Air? Mungkin butuh waktu menyebut hal-hal positif,
berbeda jika menyebut sebaliknya: lahan terbakar, ”ekspor” kabut asap, dan
bencana alam.
Tahun berganti tahun,
kejadian-kejadian itu masih menemani khalayak, seperti tak beranjak. Dan,
benar adanya, itulah sebagian wajah Indonesia apabila memandang lingkungan.
Hal-hal negatif lebih mudah diingat karena menancap dalam ketimbang hal-hal
positif yang sebenarnya juga ada.
Awal 2013, banjir bandang, tanah
longsor, rumah dan sawah terendam, melanda sejumlah daerah. Hujan hingga
pertengahan tahun lalu sempat mengundang kekhawatiran dan akhir tahun ini
tanpa buah-buahan akibat basah sepanjang tahun.
Awal Desember ini hujan masih
menimbulkan banjir di sejumlah daerah, mulai dari Sumatera, Jawa, dan
Sulawesi. Saat ini, Bengawan Solo sedang meluap saat musim hujan belum pada
puncaknya. Di Jakarta, warga di bantaran sungai sudah mulai mencicipi ”tamu
tak diundang” luapan Sungai Ciliwung. Lagi-lagi, ini belum puncaknya musim
hujan.
Contoh kecil dan besar
Kejadian berulang yang mendera
kelompok manusia di tempat sama secara berulang sebenarnya mengirimkan
pesan.
Pesan itu jelas: tak ada cukup upaya berarti untuk memperbaiki situasi.
Bahkan, dampak yang ada kadang jauh lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Bayangkan, bertahun-tahun selalu
tergenang saat hujan, tak ada aksi sekalipun aksi yang dibutuhkan itu
mungkin sebatas mengeruk saluran air! Atau, yang patut dijadikan contoh,
mengembalikan saluran air pada fungsinya semula yang diokupasi bangunan
komersial.
Mengeruk saluran air terbuka
merupakan salah satu contoh kecil yang sering diremehkan. Namun, hampir tak
pernah dilakukan. Kota Jakarta mulai melakukannya hingga mengeruk sungai
dan menormalisasi waduk-waduk dalam arti sesungguhnya dengan ongkos sosial
dan ekonomi yang relatif mahal.
Salah satu contoh besar yang
bertahun-tahun ditunggu adalah pembongkaran vila-vila atau bangunan
permanen di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bertahun-tahun
dituding sebagai ”biang” kerusakan lingkungan di kawasan hulu yang bermuara
di hilir (Jakarta), akhirnya pembongkaran sungguh-sungguh dilakukan. Tak
mudah karena lagi-lagi ada perlawanan fisik dari sekelompok orang yang
terang-terangan mengaku memperoleh penghidupan dari keberadaan vila-vila
milik pejabat dan pesohor itu.
Di Sumatera Utara, penerima anugerah
Kalpataru dan penghargaan tingkat provinsi mengembalikan penghargaan yang
diterima hingga ke Jakarta. Itu merupakan bentuk protes terhadap perusakan
hutan yang mengganggu masa depan Danau Toba, yang tak juga diatasi.
Katanya, ”Pohon yang tak punya kaki bisa berjalan lebih cepat ke kota
daripada aparat”.
Tentu itu sindiran bagi penegak
hukum. Kementerian Lingkungan Hidup segera mengirim ”tim pencari
fakta” ke lokasi.
Entah, apa hasil tim itu.
Setidaknya, ada gerakan melawan perusakan lingkungan. Gerakan itu mulai
perorangan, kelompok, hingga birokrasi. Kementerian Lingkungan Hidup pun
mulai berani menyidik kasus kebakaran lahan gambut di Rawa Tripa, Aceh.
Selain ancaman pidana, perusahaan perkebunan kelapa sawit terancam denda Rp
300 miliar: besaran nominal yang tak sedikit.
Efek jera, itulah salah satu
terapi yang diharapkan mujarab melindungi lingkungan dari perusakan.
Tujuannya, jasa lingkungan yang berkelanjutan.
”Eco-economy”
Lingkungan dan ekonomi
sesungguhnya tak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama mengenal jasa. Air dan
udara bersih merupakan contoh sederhana jasa yang diberikan lingkungan.
Artinya, menjaga keberlanjutan lingkungan sama dengan menjaga masa depan
bisnis yang berkait erat dengan sumber daya alam (SDA).
Akhir tahun ini, setidaknya ada
dua kegiatan besar yang membahas keterkaitan keberlanjutan lingkungan dan
bisnis. Pertama, forum bisnis yang bertanggung jawab bagi pembangunan
berkelanjutan berlangsung di Singapura. Kedua, forum sejenis di Indonesia.
Forum itu ajang kampanye
pentingnya bisnis, khususnya yang berbasis SDA, terus menjaga modal alam.
Caranya, menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan sosial. Dua
korporasi multinasional turut mensponsori forum di Singapura, masing-masing
raksasa bisnis pertanian Monsanto dan pemegang konsesi besar kebun kelapa
sawit, Wilmar. Kiprah keduanya disorot, termasuk di Indonesia.
Kiriman kabut asap yang disoal
negeri tetangga Singapura dan Malaysia, Juni 2013 lalu, di antaranya
berasal dari pembakaran lahan gambut perkebunan kelapa sawit. Meskipun
sudah menjadi perhatian regional,
lalu lintas kabut asap tetap terjadi.
Dampaknya tak sebatas protes
negeri tetangga. Pada skala global, muncul kesadaran konsumen produk-produk
turunan
kelapa sawit—termasuk produk kayu—yang hanya akan membeli produk yang
rantai produksinya ramah lingkungan dan sosial.
Untuk memberi perspektif bisnis,
The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) for Coalition—lembaga
multisektor yang menghitung modal alam untuk kepentingan
bisnis—menyebutkan, besaran kerugian akibat praktik bisnis yang tak
bertanggung jawab mencapai 4,7 triliun dollar AS per tahun. Itu hanya dari
ongkos sosial dan lingkungan yang harus ditanggung akibat hilangnya jasa
ekosistem dan polusi. Itu pun belum menghitung seluruh faktor.
Keterkaitan bisnis dengan
keberlanjutan lingkungan (sumber daya alam) dibahas Lester R Brown dalam ”Eco-economy: Building an Economy for
the Earth” (2001). Disebutkan, eksploitasi tanpa batas terhadap SDA
mungkin pada awalnya memberi keuntungan besar. Namun, dampak yang
ditimbulkan bisa tak terpulihkan bagi masa depan.
Cakrawala tahun 2014 dalam
hitungan hari, meninggalkan jejak: cara pandang bisnis di Tanah Air masih
berpotensi melahirkan bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar