Rabu, 18 Desember 2013

Bencana dan Bisnis Berkelanjutan

Bencana dan Bisnis Berkelanjutan
Gesit Ariyanto  ;    Wartawan Kompas
KOMPAS,  18 Desember 2013

  

TAHUN berganti tak lebih dari setengah bulan lagi. Lalu, kenangan indah apa yang lekat apabila bicara lingkungan di Tanah Air? Mungkin butuh waktu menyebut hal-hal positif, berbeda jika menyebut sebaliknya: lahan terbakar, ”ekspor” kabut asap, dan bencana alam.

Tahun berganti tahun, kejadian-kejadian itu masih menemani khalayak, seperti tak beranjak. Dan, benar adanya, itulah sebagian wajah Indonesia apabila memandang lingkungan. Hal-hal negatif lebih mudah diingat karena menancap dalam ketimbang hal-hal positif yang sebenarnya juga ada.

Awal 2013, banjir bandang, tanah longsor, rumah dan sawah terendam, melanda sejumlah daerah. Hujan hingga pertengahan tahun lalu sempat mengundang kekhawatiran dan akhir tahun ini tanpa buah-buahan akibat basah sepanjang tahun.

Awal Desember ini hujan masih menimbulkan banjir di sejumlah daerah, mulai dari Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Saat ini, Bengawan Solo sedang meluap saat musim hujan belum pada puncaknya. Di Jakarta, warga di bantaran sungai sudah mulai mencicipi ”tamu tak diundang” luapan Sungai Ciliwung. Lagi-lagi, ini belum puncaknya musim hujan.

Contoh kecil dan besar

Kejadian berulang yang mendera kelompok manusia di tempat sama secara berulang sebenarnya mengirimkan pesan.

Pesan itu jelas: tak ada cukup upaya berarti untuk memperbaiki situasi. Bahkan, dampak yang ada kadang jauh lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya.
Bayangkan, bertahun-tahun selalu tergenang saat hujan, tak ada aksi sekalipun aksi yang dibutuhkan itu mungkin sebatas mengeruk saluran air! Atau, yang patut dijadikan contoh, mengembalikan saluran air pada fungsinya semula yang diokupasi bangunan komersial.

Mengeruk saluran air terbuka merupakan salah satu contoh kecil yang sering diremehkan. Namun, hampir tak pernah dilakukan. Kota Jakarta mulai melakukannya hingga mengeruk sungai dan menormalisasi waduk-waduk dalam arti sesungguhnya dengan ongkos sosial dan ekonomi yang relatif mahal.

Salah satu contoh besar yang bertahun-tahun ditunggu adalah pembongkaran vila-vila atau bangunan permanen di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bertahun-tahun dituding sebagai ”biang” kerusakan lingkungan di kawasan hulu yang bermuara di hilir (Jakarta), akhirnya pembongkaran sungguh-sungguh dilakukan. Tak mudah karena lagi-lagi ada perlawanan fisik dari sekelompok orang yang terang-terangan mengaku memperoleh penghidupan dari keberadaan vila-vila milik pejabat dan pesohor itu.

Di Sumatera Utara, penerima anugerah Kalpataru dan penghargaan tingkat provinsi mengembalikan penghargaan yang diterima hingga ke Jakarta. Itu merupakan bentuk protes terhadap perusakan hutan yang mengganggu masa depan Danau Toba, yang tak juga diatasi. Katanya, ”Pohon yang tak punya kaki bisa berjalan lebih cepat ke kota daripada aparat”.

Tentu itu sindiran bagi penegak hukum. Kementerian Lingkungan Hidup segera mengirim ”tim pencari fakta” ke lokasi.

Entah, apa hasil tim itu. Setidaknya, ada gerakan melawan perusakan lingkungan. Gerakan itu mulai perorangan, kelompok, hingga birokrasi. Kementerian Lingkungan Hidup pun mulai berani menyidik kasus kebakaran lahan gambut di Rawa Tripa, Aceh. Selain ancaman pidana, perusahaan perkebunan kelapa sawit terancam denda Rp 300 miliar: besaran nominal yang tak sedikit.

Efek jera, itulah salah satu terapi yang diharapkan mujarab melindungi lingkungan dari perusakan. Tujuannya, jasa lingkungan yang berkelanjutan.

”Eco-economy”

Lingkungan dan ekonomi sesungguhnya tak bisa dipisahkan. Keduanya sama-sama mengenal jasa. Air dan udara bersih merupakan contoh sederhana jasa yang diberikan lingkungan. Artinya, menjaga keberlanjutan lingkungan sama dengan menjaga masa depan bisnis yang berkait erat dengan sumber daya alam (SDA).

Akhir tahun ini, setidaknya ada dua kegiatan besar yang membahas keterkaitan keberlanjutan lingkungan dan bisnis. Pertama, forum bisnis yang bertanggung jawab bagi pembangunan berkelanjutan berlangsung di Singapura. Kedua, forum sejenis di Indonesia.

Forum itu ajang kampanye pentingnya bisnis, khususnya yang berbasis SDA, terus menjaga modal alam. Caranya, menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan sosial. Dua korporasi multinasional turut mensponsori forum di Singapura, masing-masing raksasa bisnis pertanian Monsanto dan pemegang konsesi besar kebun kelapa sawit, Wilmar. Kiprah keduanya disorot, termasuk di Indonesia.

Kiriman kabut asap yang disoal negeri tetangga Singapura dan Malaysia, Juni 2013 lalu, di antaranya berasal dari pembakaran lahan gambut perkebunan kelapa sawit. Meskipun sudah menjadi perhatian regional,
lalu lintas kabut asap tetap terjadi.

Dampaknya tak sebatas protes negeri tetangga. Pada skala global, muncul kesadaran konsumen produk-produk turunan
kelapa sawit—termasuk produk kayu—yang hanya akan membeli produk yang rantai produksinya ramah lingkungan dan sosial.

Untuk memberi perspektif bisnis, The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) for Coalition—lembaga multisektor yang menghitung modal alam untuk kepentingan bisnis—menyebutkan, besaran kerugian akibat praktik bisnis yang tak bertanggung jawab mencapai 4,7 triliun dollar AS per tahun. Itu hanya dari ongkos sosial dan lingkungan yang harus ditanggung akibat hilangnya jasa ekosistem dan polusi. Itu pun belum menghitung seluruh faktor.

Keterkaitan bisnis dengan keberlanjutan lingkungan (sumber daya alam) dibahas Lester R Brown dalam ”Eco-economy: Building an Economy for the Earth” (2001). Disebutkan, eksploitasi tanpa batas terhadap SDA mungkin pada awalnya memberi keuntungan besar. Namun, dampak yang ditimbulkan bisa tak terpulihkan bagi masa depan.

Cakrawala tahun 2014 dalam hitungan hari, meninggalkan jejak: cara pandang bisnis di Tanah Air masih berpotensi melahirkan bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar