Kamis, 12 Desember 2013

Badan Pelaksana Pemasyarakatan

Badan Pelaksana Pemasyarakatan
Adrianus Meliala  ;   Kriminolog FISIP UI;
Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham
KOMPAS,  11 Desember 2013

  

DEWASA ini, terdapat tiga kategori permasalahan yang terkait rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Seringkali dalam persepsi kita ataupun dalam perbincangan sehari-hari hanya satu kategori masalah yang terlihat dan, oleh karena itu, banyak dibicarakan. Kategori pertama terkait situasi sehari-hari di setiap rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas). Permasalahan tersebut sebagian di antaranya telah masuk ranah kriminal ataupun tidak, bisa juga melibatkan penghuni (napi), petugas, atau bahkan keduanya sekaligus.

Ada 1.001 permasalahan terkait kategori ini. Mulai dari upaya penyelundupan narkoba atau senjata ke dalam rutan dan lapas, menyuap petugas, perkelahian, eksploitasi seksual, jual-beli sel, tidur berdesakan dalam sel, penyakit kulit dan kelamin, hingga munculnya kasus pembuatan narkoba dan pengaturan bisnis narkoba dari dalam sel.

Walau menarik sekaligus menyebalkan (karena terus-menerus terjadi), jangan lupa: masalah-masalah itu sebenarnya terletak di hilir. Masalah hilir pada umumnya merupakan akibat saja dari kategori masalah lain yang letaknya agak ke hulu. Walau bentuknya juga 1.001 macam, ada satu nama yang bisa menggambarkan kategori kedua ini, yakni ”permasalahan terkait salah urus rutan dan lapas”.

Contoh kategori kedua terkait salah urus tersebut sebagai berikut: rutan dan lapas hanya dijaga belasan orang, padahal penghuni ribuan orang. Jika dikaitkan dengan kesenjataan dan aneka kelengkapan selaku petugas pengaman, situasi salah urus semakin kelihatan.

Ada lagi rutan dan lapas yang anggaran untuk bahan makanan penghuni ternyata tak mencukupi dibandingkan dengan jumlah penghuni. Juga kerap terjadi pencatatan yang tak akurat soal napi siapa berada di mana, soal kapan seorang napi sudah seharusnya memperoleh remisi, soal pasokan logistik yang sering kali tidak cocok dengan kebutuhan setempat, dan sebagainya.

Masih banyak lagi contoh salah urus yang bisa dikemukakan. Semua itu menyumbang secara langsung atau tidak terhadap kemunculan masalah kategori pertama. Mengapa ini disebut salah urus oleh jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bukannya oleh jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengingat ditjen sebenarnya tak punya tangan atau komando langsung terkait permasalahan rutan dan lapas selaku unit pelaksana teknis. Ditjen dalam hal ini hanya jadi pembina fungsi, dengan tugas membuat kebijakan dan aturan, yang pelaksanaannya sepenuhnya dilakukan Sekretariat Jenderal Kemenkumham.

Mengikuti prinsip tata kelola, pembagian peran antara setjen dan ditjen memang ada benarnya. Jika, katakanlah, ditjen memiliki akses pada pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan diakhiri evaluasi, dapat dipastikan aroma korupsi, kolusi dan nepotisme akan merebak. Jadi, tentu ada yang salah jika skema yang awalnya benar secara tata kelola itu dalam praktik malah menimbulkan masalah baru.

Tata kelola

Permasalahan kategori ketiga, atau juga bisa dikatakan lintas kementerian, mengacu pada masalah hulu. Ini terkait hubungan fungsi pemasyarakatan dengan fungsi-fungsi lain dalam sistem peradilan pidana. Sebagai elemen terakhir dari peradilan pidana, fungsi pemasyarakatan amat bergantung pada kinerja yang dilakukan elemen di depannya.

Jika kepolisian rajin menangkap, jaksa rajin menuntut, dan pengadilan rajin menghukum, deraslah arus masuk napi ke rutan yang sudah sesak. Jajaran lapas akan amat terbantu jika lembaga-lembaga itu melakukan proses pelambatan yang secara teknis dapat berbentuk aktivitas sebagai berikut.

Pertama, pengaktifan diskresi atau pengesampingan hukum oleh polisi terhadap pelanggar hukum ringan. Kedua, diversi atau pengalihan sehingga tersangka tidak seluruhnya berakhir di lapas, tetapi dapat menjalani berbagai bentuk penghukuman non-penal. Ketiga, melakukan restorative justice atau pemulihan hubungan dengan korban, di mana kasus tidak sampai ke pengadilan mengingat telah terdapat komunikasi antara pelaku dan korban.

Walaupun tiga hal itu tak bisa diterapkan untuk semua kasus, jika terjadi pengoptimalan, akan menyumbang terhadap pengurangan sekitar 10 persen dari totalintake lapas. Masalahnya, karena dikerangkeng strukturnya, seorang dirjen pemasyarakatan hanya bisa mengimbau kepada Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung terkait pelambatan tersebut.

Guna menyelesaikan masalah kategori ketiga ini diperlukan kerja sama lintas kementerian dan koordinasi dengan instansi perencana, seperti Bappenas dan Kementerian Keuangan, bahkan dengan DPR. Dengan kata lain, tidak cukup lagi hanya berkutat di lingkungan Kemenkumham.

Argumen di atas pada intinya menyatakan: permasalahan yang bergradasi dari kategori 1-3 tersebut hanya bisa dipecahkan jika dilakukan perombakan struktur. Jika tetap seperti sekarang, langkah yang bisa dilakukan umumnya hanya sampai pada kategori satu saja. Itu pun tidak akan menyelesaikan masalah mengingat masalah hulunya ada pada masalah kategori dua dan tiga.

Perombakan struktur yang dimaksud bertujuan agar jajaran ditjen pemasyarakatan bisa lebih mandiri menjalankan tugas pokok dan fungsinya, tanpa menyalahi ketentuan tata kelola lembaga publik yang baik. Untuk itu, kesediaan pemerintah mengeluarkan ditjen pemasyarakatan dari lingkungan Kemenkumham dan jadi badan tersendiri dianggap sebagai langkah terbaik.

Dengan menjadikan pemasyarakatan sebagai lembaga pemerintah non-departemen, beban Kemenkumham selama ini juga jadi lebih ringan. Harap diingat, tiga perempat pegawai Kemenkumham sebenarnya pegawai ditjen pemasyarakatan. Di pihak lain, ditjen pemasyarakatan pun terlepas dari beban harus ikut serta dengan nomenklatur di mana dirinya tak memiliki akses langsung terhadap unit pelaksana teknis di seluruh Indonesia.

Penulis berpendapat, kompleksitas tugas pokok dan fungsi serta masalah yang ada selama ini telah amat layak menjadikannya badan tersendiri. Terkait kedudukannya dalam sistem peradilan pidana, Badan Pelaksana Pemasyarakatan (demikian usulan namanya) ini akan sejajar dengan fungsi kepolisian, kejaksaan, dan juga peradilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar