DEWASA
ini, terdapat tiga kategori permasalahan yang terkait rumah tahanan dan
lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Seringkali dalam persepsi kita
ataupun dalam perbincangan sehari-hari hanya satu kategori masalah yang
terlihat dan, oleh karena itu, banyak dibicarakan. Kategori pertama terkait
situasi sehari-hari di setiap rumah tahanan (rutan) dan lembaga
pemasyarakatan (lapas). Permasalahan tersebut sebagian di antaranya telah
masuk ranah kriminal ataupun tidak, bisa juga melibatkan penghuni (napi),
petugas, atau bahkan keduanya sekaligus.
Ada 1.001 permasalahan terkait
kategori ini. Mulai dari upaya penyelundupan narkoba atau senjata ke dalam
rutan dan lapas, menyuap petugas, perkelahian, eksploitasi seksual,
jual-beli sel, tidur berdesakan dalam sel, penyakit kulit dan kelamin, hingga
munculnya kasus pembuatan narkoba dan pengaturan bisnis narkoba dari dalam
sel.
Walau menarik sekaligus
menyebalkan (karena terus-menerus terjadi), jangan lupa: masalah-masalah
itu sebenarnya terletak di hilir. Masalah hilir pada umumnya merupakan akibat
saja dari kategori masalah lain yang letaknya agak ke hulu. Walau bentuknya
juga 1.001 macam, ada satu nama yang bisa menggambarkan kategori kedua ini,
yakni ”permasalahan terkait salah urus rutan dan lapas”.
Contoh kategori kedua terkait
salah urus tersebut sebagai berikut: rutan dan lapas hanya dijaga belasan
orang, padahal penghuni ribuan orang. Jika dikaitkan dengan kesenjataan dan
aneka kelengkapan selaku petugas pengaman, situasi salah urus semakin
kelihatan.
Ada lagi rutan dan lapas yang
anggaran untuk bahan makanan penghuni ternyata tak mencukupi dibandingkan
dengan jumlah penghuni. Juga kerap terjadi pencatatan yang tak akurat soal
napi siapa berada di mana, soal kapan seorang napi sudah seharusnya
memperoleh remisi, soal pasokan logistik yang sering kali tidak cocok
dengan kebutuhan setempat, dan sebagainya.
Masih banyak lagi contoh salah
urus yang bisa dikemukakan. Semua itu menyumbang secara langsung atau tidak
terhadap kemunculan masalah kategori pertama. Mengapa ini disebut salah
urus oleh jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bukannya oleh
jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengingat ditjen sebenarnya tak
punya tangan atau komando langsung terkait permasalahan rutan dan lapas
selaku unit pelaksana teknis. Ditjen dalam hal ini hanya jadi pembina
fungsi, dengan tugas membuat kebijakan dan aturan, yang pelaksanaannya
sepenuhnya dilakukan Sekretariat Jenderal Kemenkumham.
Mengikuti prinsip tata kelola,
pembagian peran antara setjen dan ditjen memang ada benarnya. Jika, katakanlah,
ditjen memiliki akses pada pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan
diakhiri evaluasi, dapat dipastikan aroma korupsi, kolusi dan nepotisme
akan merebak. Jadi, tentu ada yang salah jika skema yang awalnya benar
secara tata kelola itu dalam praktik malah menimbulkan masalah baru.
Tata kelola
Permasalahan kategori ketiga,
atau juga bisa dikatakan lintas kementerian, mengacu pada masalah hulu. Ini
terkait hubungan fungsi pemasyarakatan dengan fungsi-fungsi lain dalam
sistem peradilan pidana. Sebagai elemen terakhir dari peradilan pidana,
fungsi pemasyarakatan amat bergantung pada kinerja yang dilakukan elemen di
depannya.
Jika kepolisian rajin menangkap,
jaksa rajin menuntut, dan pengadilan rajin menghukum, deraslah arus masuk
napi ke rutan yang sudah sesak. Jajaran lapas akan amat terbantu jika
lembaga-lembaga itu melakukan proses pelambatan yang secara teknis dapat
berbentuk aktivitas sebagai berikut.
Pertama, pengaktifan diskresi
atau pengesampingan hukum oleh polisi terhadap pelanggar hukum ringan.
Kedua, diversi atau pengalihan sehingga tersangka tidak seluruhnya berakhir
di lapas, tetapi dapat menjalani berbagai bentuk penghukuman non-penal.
Ketiga, melakukan restorative justice atau pemulihan hubungan
dengan korban, di mana kasus tidak sampai ke pengadilan mengingat telah
terdapat komunikasi antara pelaku dan korban.
Walaupun tiga hal itu tak bisa
diterapkan untuk semua kasus, jika terjadi pengoptimalan, akan menyumbang
terhadap pengurangan sekitar 10 persen dari totalintake lapas.
Masalahnya, karena dikerangkeng strukturnya, seorang dirjen pemasyarakatan
hanya bisa mengimbau kepada Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung
terkait pelambatan tersebut.
Guna menyelesaikan masalah
kategori ketiga ini diperlukan kerja sama lintas kementerian dan koordinasi
dengan instansi perencana, seperti Bappenas dan Kementerian Keuangan,
bahkan dengan DPR. Dengan kata lain, tidak cukup lagi hanya berkutat di
lingkungan Kemenkumham.
Argumen di atas pada intinya
menyatakan: permasalahan yang bergradasi dari kategori 1-3 tersebut hanya
bisa dipecahkan jika dilakukan perombakan struktur. Jika tetap seperti
sekarang, langkah yang bisa dilakukan umumnya hanya sampai pada kategori
satu saja. Itu pun tidak akan menyelesaikan masalah mengingat masalah
hulunya ada pada masalah kategori dua dan tiga.
Perombakan struktur yang
dimaksud bertujuan agar jajaran ditjen pemasyarakatan bisa lebih mandiri
menjalankan tugas pokok dan fungsinya, tanpa menyalahi ketentuan tata
kelola lembaga publik yang baik. Untuk itu, kesediaan pemerintah
mengeluarkan ditjen pemasyarakatan dari lingkungan Kemenkumham dan jadi
badan tersendiri dianggap sebagai langkah terbaik.
Dengan menjadikan pemasyarakatan
sebagai lembaga pemerintah non-departemen, beban Kemenkumham selama ini
juga jadi lebih ringan. Harap diingat, tiga perempat pegawai Kemenkumham
sebenarnya pegawai ditjen pemasyarakatan. Di pihak lain, ditjen
pemasyarakatan pun terlepas dari beban harus ikut serta dengan nomenklatur
di mana dirinya tak memiliki akses langsung terhadap unit pelaksana teknis
di seluruh Indonesia.
Penulis berpendapat,
kompleksitas tugas pokok dan fungsi serta masalah yang ada selama ini telah
amat layak menjadikannya badan tersendiri. Terkait kedudukannya dalam
sistem peradilan pidana, Badan Pelaksana Pemasyarakatan (demikian usulan
namanya) ini akan sejajar dengan fungsi kepolisian, kejaksaan, dan juga
peradilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar