Penegakan
Hukum yang Menjerakan Koruptor
Jamal Wiwoho ; Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret,
Pembantu Rektor II Universitas Sebelas Maret Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Desember 2013
DUNIA hukum di Indonesia
begitu cepat mengalami perubahan. Berbagai kasus yang ditangani aparat
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) menunjukkan dinamika yang
menarik untuk terus dicermati.
Pada penanganan korupsi, misalnya, setidak-tidaknya ada tiga putusan hakim
dalam dua bulan ini yang memberangus para pengambil uang negara itu yang
ditetapkan pengadilan dengan hukuman berat.
Terpidana Angelina
Sondakh (Angie), misalnya. Mantan Putri Indonesia, politikus, dan anggota DPR
dari Partai Demokrat itu telah divonis kasasi oleh Mahkamah Agung dengan
pidana penjara 12 tahun dan denda untuk mengembalikan uang ke negara sekitar
Rp39,9 miliar, ditambah 5 tahun penjara jika denda tidak dibayar.
Setelah itu, putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memberikan `kado' terhadap Luthfi
Hasan Ishaaq (LHI). Mantan Presiden PKS dan anggota DPR itu dijatuhi hukuman
penjara 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan/ penjara oleh
majelis hakim yang diketuai oleh Gusrizal Lubis (9/12/13).
Di ujung akhir 2013
ini, tepatnya Rabu (18/12), lagilagi Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi
DKI Jakarta dengan putusan banding memberikan `kejutan' dalam putusan. Hakim
ketua Roki Pandjaitan, serta hakim anggota Humuntal Pane, M Djoko, Sudiro,
dan Amiek S telah menjatuhkan putusan yang memperberat hukuman untuk Irjen
Djoko Susilo dari 10 tahun menjadi 18 tahun penjara plus denda Rp1 miliar.
Dampak putusan pemberatan
Tiga putusan
pengadilan yang telah penulis uraikan tersebut menunjukkan kecenderungan
pemberatan, baik dari segi lamanya hukuman maupun besarnya denda yang harus
dibayar terpidana/koruptor kepada negara. Putusan tersebut memberikan
beberapa dampak terutama dalam penegakan hukum di Indonesia antara lain:
Putusan Mahkamah
Agung, putusan pengadilan tinggi dan pengadilan tipikor, sudah tampak
progresif dan aspiratif dalam perspektif publik (terutama dalam lama hukuman
dan besaran dendanya) jika dibandingkan dengan putusanputusan pengadilan
sebelumnya. Putusan terhadap ketiga koruptor (Angie, Luthfi, dan Djoko
Susilo) tersebut juga harus diambil sebagai pelajaran bagi para hakim
pengadilan negeri agar berani memutus perkara-perkara korupsi dengan mengacu
pada dinamika dan tren kekinian.
Yakni, untuk semakin berani memutus perkara korupsi dengan hukuman yang lama
dan denda yang harus dibayar.
Selain itu, lamanya
penjatuhan pidana dan besarnya denda yang harus dibayar serta tambahan
hukuman selain hukuman penjara jika denda tidak dibayar menimbulkan efek jera
dan efek psikologis yang sangat mendalam. Hukuman penjeraan dan pemiskinan
tersebut dapat membuat para koruptor dan `calon' koruptor kapok untuk
mencoba-coba ataupun melakukan tindak pidana yang termasuk extraordinary crime tersebut.
Pun bagi polisi
sebagai aparat penegak hukum, hukuman yang dijatuhkan untuk tiga kasus
tersebut akan memberikan efek yang positif. Sesuai dengan KUHAP, Kepolisian
Republik Indonesia sebagai instansi yang lebih menekankan pada aspek
pelayanan masyarakat untuk tercapainya tertib hidup di tengah masyarakat
ditantang untuk meningkatkan profesionalisme dalam proses penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Hal lainnya, pihak
yang harus bersama da lam penegakan hukum ini tentu ialah kejaksaan. Lembaga
yang berorientasi pada UU No 16 Tahun 2004 itu diberi otoritas untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan mengajukan dakwaan serta penuntutan
itu dituntut lebih progresif dalam mengajukan dakwaan sekaligus tuntutan
tanpa mengesampingkan profesionalisme korps.
Tentu saja, lembaga
yang perlu mendapat perhatian serta apresiasi pada putusan untuk menjerakan
serta memiskinkan para koruptor ialah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK, yang lahir dan berkembang berdasar UU No 30 Tahun 2002, sejak
kelahirannya sudah banyak diapresiasi publik dalam membongkar perkara-perkara
korupsi yang dilakukan banyak lapisan masyarakat, baik dari sipil, militer,
birokrasi, pelaku bisnis, politisi, maupun pejabat publik. Dalam catatan
penulis, setidak-tidaknya sudah 305 pelaku korupsi berdasarkan jabatan sejak
2004-2012 telah diselesaikan oleh KPK. `Kehebatan' KPK sudah tidak diragukan
lagi dalam penangan korupsi jika dibandingkan dengan kepolisian dan
kejaksaan.
Penanganan perkara
korupsi pada lembaga antirasywah itu cukup transparan, akuntabel, dan kredibel.
Para koruptor akan merasa lebih `panas-dingin dan mendadak sakit' jika
ditangani KPK daripada ketika ditangani dua lembaga lainnya. Penetapan status
tersangka dan penahanan segera Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah pada `Jumat
keramat' menambah poin tersendiri bagaimana cara lembaga yang dipimpin
Abraham M Samad itu tidak mau berkompromi dengan para koruptor.
Lembaga superbodi
tersebut juga cukup banyak melakukan tuntutan kepada terdakwa korupsi dengan
masa hukuman yang lama dan dengan pembayaran denda yang banyak. Langkah itu
tentu akan mencegah tumbuh dan berkembangnya perkara korupsi di negeri yang
amat kita cintai ini. Usulan dari Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto agar
para koruptor dijatuhi hukuman penjeraan dan pemiskinan berupa sanksi sosial
seperti membersihkan gorong-gorong di Jalan Su dirman, Jakarta, dapat
dipertimbangkan sebagai upaya progresivitas hakim yang tidak hanya memberikan
secara normatif. Ide untuk menambah hukuman kerja sosial itu merupakan
gagasan yang harus diapresiasi dan memberikan pelajaran agar orang tidak
korupsi.
Moralitas aparat
Banyaknya aparat
penegak hukum yang terjerat kasus korupsi menandakan adanya permasalahan
internal dari setiap aparat penegak hukum. Misalnya pola rekrutmen yang belum
melembaga dan pola pengawasan internal kelembagaan harus diperketat sehingga
dapat menciptakan aparat penegak hukum yang berkarakter dan berintegritas
dengan bingkai moralitas tinggi. Sistem penegakan hukum sebenarnya sudah
tertata dengan baik, kekurangan-kekurangan yang ada justru dimanfaatkan oknum
penegak hukum sendiri secara perorangan.
Sebagian masyarakat
menilai bahwa para hakim, jaksa, dan polisi memiliki kewenangan luas dalam
proses penegakan hukum. Namun, untuk menguji dedikasi seorang aparat penegak
hukum tersebut, kode etik dan moralitas yang tinggi disertai dengan pola
pengembangan karier yang tertata baik disertai dengan reward and punishment akan mampu menghadirkan aparatur penegak
hukum yang bersih dan berwibawa.
Lonceng pemberantasan
korupsi dengan hukuman yang berat dan denda yang besar untuk menjerakan dan
memiskinkan para koruptor sudah ditabuh oleh para hakim tingkat pertama,
tingkat banding, dan tingkat kasasi. Agar konser aparat penegak hukum
tersebut menjadi kompak dan seragam, harus diikuti aparat penegak hukum lainnya.
Yakni, polisi, jaksa, dan pengacara yang berkarakter, berintegritas tinggi,
dan bermoral untuk bersama sama memerangi penyakit yang banyak menyengsarakan
rakyat dan menyebabkan keterpurukan bangsa ini. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar