Kamis, 12 Desember 2013

Balada (Larangan) Polwan Berjilbab

Balada (Larangan) Polwan Berjilbab
Abd Hannan  ;   Anggota Tim Riset dan Pustakawan Mahasiswa (PusMa) Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Budaya Universitas Trunojoyo Madura
OKEZONENEWS,  10 Desember 2013

  

Lagi-lagi, pihak kepolisian kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasinya mengungkap pelanggaran hukum, namun kali ini karena polemik jilbab bagi polisi wanita (polwan) yang tidak kunjung usai. Kontoversi ini kembali mencuat setelah Wakapolri Komjen Pol Oegroseno mengedarkan Telegram Rahasia (TR) ke Polda-polda di seluruh Indonesia perihal penundaan pengenaan jilbab bagi polwan seluruh Indonesia.

Polemik penundaan jilbab bagi polwan semakin memanas ketika jawaban resmi Polri melalui Wakapolri Komjen Oegroseno menyampaikan penundaan jilbab lantaran kebijkan jilbab bagi polwan membutuhkan anggaran khusus, anggaran tersebut bertujuan menyeragamkan jilbab polwan supaya jilbab diberlakukan dalam satu model dan satu warna.  

Sebagai respons atas peraturan yang terkesan plin-plan ini banyak kalangan menilai penundaan jilbab polwan sebagai bentuk pengebirian hak dasar kebebasan. Berbagai kritik pun datang. Salah satunya datang dari Komisi III DPR, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Almuzzammil Yusuf menilai penundaan jilbab Polwan oleh Mabes Polri semakin tidak jelas dan keliru, dan pernyataan Wakapolri mengenai penggunaan jilbab harus sesuai visi dan misi adalah urusan internal Polri tidaklah dapat dibenarkan. Menurutnya, Penggunaan jilbab oleh Polwan adalah masalah HAM dan dilindungi konstitusi Pasal 28E ayat 1.

Quo Vadis Polri?

Sebagai lembaga penegak hukum mestinya Polri memberi contoh baik bagaimana bangsa ini diajari mematuhi segala bentuk perundang-undangan yang termuat dala konstitusi negara. Kebijakan perihal pelarangan jilbal terhadap polwan sudah barang tentu menyalahi semangat konstitusi. Dan jelas sekali tidak sesuai dengan semangat pancasila yang sejatinya memiliki semangat prinsip pluralisme yang terbuka terhadap segala bentuk budaya. Lebih-lebih jika menyangkut prinsip ajaran agama. Masalah agama adalah masalah aqidah yang ada diwilayah kredo keagamaan. Dengan alasan apapun Polri tidak memiliki hak dan wewenang untuk mengintervensi, apalagi melarang penggunaan jilbab pada polwan. Padahal sampai sekarang ini belum ada konstitusi yang mengatur pelarangan itu, baik itu terulis maupun tidak.

Polri sebagai representasi negara seharusnya menjujung tinggi nilai-nilai HAM. Tidak hanya itu, konsisten dengan UUD 1945 yang secara jelas mengatur tentang wewenang individu. Sepanjang tidak berseberangan dengan konstitusi negara, maka tidak selayaknya Polri memperlakukan kebijakan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan kepentingan kolektif masayarakat. Penulis yakin masalah polwan berjilbab bukanlah persoalan urgen yang harus dibesar-besarkan. Buktinya, sampai detik ini belum ada satu pun masyarakat mengeluh perihal itu. Paling rentan kita dapati adalah keluhan mengenai kinerja Polri yang mlempem. Polri tidak bijak, Polri adalah maling yang teriak maling, Polri kerjanya cuma nilang tog! 

Aneh memang negeri ini, ketika bangsa kita dihadapkan pada persoalan kriminalitas yang tengah akut, Polri malah sibuk-sibuknya mengurusi pelarangan Polwan berjilbab. Penulis tidak habis pikir logika macam apa yang mereka gunakan sampai-sampai persoalan pelarangan jilbab begitu diperhatikan. 

Sampai di sini, terdapat satu petanyaan yang sedikit membuat penulis menggelitik, Polri, Quo Vadis? Pertanyaan demikian penulis rasa patut kita ungkapkan mengingat apa yang dilakukan Polri terkait penundaan jilbab Polwan sangat jauh melenceng dari logika sehat. Padahal jika mau jujur dilain tempat masih banyak persoalan kebangsaan menumpuk tak terurus. Premanisme, teror, pembunuhan, problem internal, serta aksi-aksi anarkis yang kian menggejolak. Jika memang tidak ada kerjaan mendingan diam saja, penulis rasa itu lebih baik ketimbang mengusik ketenangan masyarakat.

Kebijakan Diskriminatif
    
Diakui atau tidak peraturan perihal larangan berjilbab terhadap Polwan berimbas pada pembatasan penyebaran nilai-nilai agama Islam. Sebagaimana kita tahun jilbab dalam konteks islam merupakan satu tuntutan syar’i yang diajarkan pada setiap muslimah. Tidak bisa dibenarkan manakala ada intervensi dari pihak manapun yang bermaksud membatasi, apalgi jika yang demikian termasuk pada sauatu yang prinsipil. Persoalan agama adalah wilayah keyakinan yang tidak dapat diganggu atau diintervensi oleh pihak siapapun. Pejabat sekalipun!
    
Dalam dunia yang (katanya) demokratis negara menjamin penuh terhadap kebebasan warga negeranya untuk menganuti dan menjalankan ajaran keyakinan masing-masing, sepanjang itu tidak menyalahi prinsip pancasila serta konstitusi negara. Prinsip seperti demikian harus diberlakukan pada segenab lapisan masyarakat tanpa terkecuali, sekalipun itu adalah kaum minoritas. Harus dilindungi dan diperhatikan. Oleh karenanya semangat toleransi dalam rangka hidup rukun bersama di tengah keberagaman sosial perlu ditumbuhkembangkan agar nantinya tidak ada kekacauan dan pertentangan di tengah lingkup masyarakat.
    
Berangkat atas penjelasan di atas tentu kita akan selalu bertanya-tanya, jika memang demokrasi kita mengedepankan prinsip toleran dan kebabasan menjalankan ajaran  agama masing-masing, lantas bagaimana dengan pelarangan jilbab yang diberlakukan terhadap anggota polwan? Apakah demikian sesuai dengan amanah undang-undang, atau lebih tepatnya relevan dengan semangat demokrasi yang selama ini digemakan? Penulis rasa tak butuh lama menjawab persoalan ini, apapun bentuk jawabannya penulis yakin persoalan demikian adalah satu persoalan yang benar-benar parsial. Mengebirikan konteks demokratis, menyalahi pancasila, dan berbau diskriminatif yang tak sepatutnya dijadikan bahan bincangan, apalagi diberlakukan.
Jilbab dan Buah Streotip
    
Harus diakui streotipsasi yang selama inni digembar-gemborkan oknum tak bertanggung jawab telah banyak menimbulkan perbagai perspektif dan opini miring. Membangun citra-citra negatif yang menimbulkan simbol-simbol keislaman kian dipandang buruk. Bahkan ekstrim sekalipun!
    
Bukan rahasia umum lagi jika kebanyakan masyarakat memandang islam adalah agama yang identik dengan jargon-jargon kekerasan. Setiap kali ada teror setiap itulah nama-nama berbau islam disebutkan. Nampaknya islam dinegri ini betul-betul telah dianggab sebagai momok hantu menakutkan. Tak pelak, kektika ada warga yang memiliki nama berbau islam (misal; Abu, Abdul) maka banyak orang akan melirik sinis. Lantaran kentalnya aksi terorisme dengan pelaku yang memiliki kemiripan degan nama-nama tesebut.    
    
Islam kini diidentikkan dengan pria berjenggot dengan gamis dan celana komprang. Perempuannya berjilbab besar dengan busana muslim panjang, bahkan bercadar. Lebih menyeramkan lagi, siapa dia yang berjenggot maka siap-siaplah akan dijustis sebagai kelompok garis keras. Dan siapa dia yang bercadar, maka siap-siaplah jika nantinya banyak mata yang akan memadang.

Jika mau bersikap ideal, sebenarnya Polri tak perlu merepotkan diri mengurusi persoalan jilbab Polwan. Masih banyak persoalan lain yang lebih vital diurusi. Karena yang demikian hanya akan semakin mencoreng kinerja Pori di mata masyarakat, dan semakin menyebabkan namanya dibenci. Bahkan tak menutup kemungkinan dicurigai sebagai antek-antek kepentingan oknum tertentu yang hendak mengusik dan mengorek-ngorek ketenangan kaum muslim Indonesia. Semoga saja tidak!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar