Lagi-lagi,
pihak kepolisian kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasinya
mengungkap pelanggaran hukum, namun kali ini karena polemik jilbab bagi
polisi wanita (polwan) yang tidak kunjung usai. Kontoversi ini kembali
mencuat setelah Wakapolri Komjen Pol Oegroseno mengedarkan Telegram Rahasia
(TR) ke Polda-polda di seluruh Indonesia perihal penundaan pengenaan jilbab
bagi polwan seluruh Indonesia.
Polemik penundaan jilbab bagi polwan semakin
memanas ketika jawaban resmi Polri melalui Wakapolri Komjen Oegroseno
menyampaikan penundaan jilbab lantaran kebijkan jilbab bagi polwan
membutuhkan anggaran khusus, anggaran tersebut bertujuan menyeragamkan
jilbab polwan supaya jilbab diberlakukan dalam satu model dan satu warna.
Sebagai respons atas peraturan yang terkesan
plin-plan ini banyak kalangan menilai penundaan jilbab polwan sebagai
bentuk pengebirian hak dasar kebebasan. Berbagai kritik pun datang. Salah
satunya datang dari Komisi III DPR, Wakil Ketua Komisi III DPR RI,
Almuzzammil Yusuf menilai penundaan jilbab Polwan oleh Mabes Polri semakin
tidak jelas dan keliru, dan pernyataan Wakapolri mengenai penggunaan jilbab
harus sesuai visi dan misi adalah urusan internal Polri tidaklah dapat
dibenarkan. Menurutnya, Penggunaan jilbab oleh Polwan adalah masalah HAM
dan dilindungi konstitusi Pasal 28E ayat 1.
Quo Vadis
Polri?
Sebagai lembaga penegak hukum mestinya Polri
memberi contoh baik bagaimana bangsa ini diajari mematuhi segala bentuk
perundang-undangan yang termuat dala konstitusi negara. Kebijakan perihal
pelarangan jilbal terhadap polwan sudah barang tentu menyalahi semangat
konstitusi. Dan jelas sekali tidak sesuai dengan semangat pancasila yang
sejatinya memiliki semangat prinsip pluralisme yang terbuka terhadap segala
bentuk budaya. Lebih-lebih jika menyangkut prinsip ajaran agama. Masalah
agama adalah masalah aqidah yang ada diwilayah kredo keagamaan. Dengan
alasan apapun Polri tidak memiliki hak dan wewenang untuk mengintervensi,
apalagi melarang penggunaan jilbab pada polwan. Padahal sampai sekarang ini
belum ada konstitusi yang mengatur pelarangan itu, baik itu terulis maupun
tidak.
Polri sebagai representasi negara seharusnya
menjujung tinggi nilai-nilai HAM. Tidak hanya itu, konsisten dengan UUD
1945 yang secara jelas mengatur tentang wewenang individu. Sepanjang tidak
berseberangan dengan konstitusi negara, maka tidak selayaknya Polri
memperlakukan kebijakan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan kepentingan
kolektif masayarakat. Penulis yakin masalah polwan berjilbab bukanlah
persoalan urgen yang harus dibesar-besarkan. Buktinya, sampai detik ini
belum ada satu pun masyarakat mengeluh perihal itu. Paling rentan kita
dapati adalah keluhan mengenai kinerja Polri yang mlempem. Polri tidak
bijak, Polri adalah maling yang teriak maling, Polri kerjanya cuma nilang
tog!
Aneh memang negeri ini, ketika bangsa kita
dihadapkan pada persoalan kriminalitas yang tengah akut, Polri malah
sibuk-sibuknya mengurusi pelarangan Polwan berjilbab. Penulis tidak habis
pikir logika macam apa yang mereka gunakan sampai-sampai persoalan
pelarangan jilbab begitu diperhatikan.
Sampai di sini, terdapat satu petanyaan yang
sedikit membuat penulis menggelitik, Polri, Quo Vadis? Pertanyaan demikian
penulis rasa patut kita ungkapkan mengingat apa yang dilakukan Polri
terkait penundaan jilbab Polwan sangat jauh melenceng dari logika sehat.
Padahal jika mau jujur dilain tempat masih banyak persoalan kebangsaan
menumpuk tak terurus. Premanisme, teror, pembunuhan, problem internal, serta
aksi-aksi anarkis yang kian menggejolak. Jika memang tidak ada kerjaan
mendingan diam saja, penulis rasa itu lebih baik ketimbang mengusik
ketenangan masyarakat.
Kebijakan
Diskriminatif
Diakui atau tidak peraturan perihal larangan
berjilbab terhadap Polwan berimbas pada pembatasan penyebaran nilai-nilai
agama Islam. Sebagaimana kita tahun jilbab dalam konteks islam merupakan
satu tuntutan syar’i yang diajarkan pada setiap muslimah. Tidak bisa
dibenarkan manakala ada intervensi dari pihak manapun yang bermaksud
membatasi, apalgi jika yang demikian termasuk pada sauatu yang prinsipil.
Persoalan agama adalah wilayah keyakinan yang tidak dapat diganggu atau
diintervensi oleh pihak siapapun. Pejabat sekalipun!
Dalam dunia yang (katanya) demokratis negara
menjamin penuh terhadap kebebasan warga negeranya untuk menganuti dan
menjalankan ajaran keyakinan masing-masing, sepanjang itu tidak menyalahi
prinsip pancasila serta konstitusi negara. Prinsip seperti demikian harus
diberlakukan pada segenab lapisan masyarakat tanpa terkecuali, sekalipun
itu adalah kaum minoritas. Harus dilindungi dan diperhatikan. Oleh
karenanya semangat toleransi dalam rangka hidup rukun bersama di tengah
keberagaman sosial perlu ditumbuhkembangkan agar nantinya tidak ada
kekacauan dan pertentangan di tengah lingkup masyarakat.
Berangkat atas penjelasan di atas tentu kita
akan selalu bertanya-tanya, jika memang demokrasi kita mengedepankan
prinsip toleran dan kebabasan menjalankan ajaran agama masing-masing,
lantas bagaimana dengan pelarangan jilbab yang diberlakukan terhadap
anggota polwan? Apakah demikian sesuai dengan amanah undang-undang, atau
lebih tepatnya relevan dengan semangat demokrasi yang selama ini digemakan?
Penulis rasa tak butuh lama menjawab persoalan ini, apapun bentuk
jawabannya penulis yakin persoalan demikian adalah satu persoalan yang
benar-benar parsial. Mengebirikan konteks demokratis, menyalahi pancasila,
dan berbau diskriminatif yang tak sepatutnya dijadikan bahan bincangan,
apalagi diberlakukan.
Jilbab dan Buah Streotip
Harus diakui streotipsasi yang selama inni
digembar-gemborkan oknum tak bertanggung jawab telah banyak menimbulkan
perbagai perspektif dan opini miring. Membangun citra-citra negatif yang
menimbulkan simbol-simbol keislaman kian dipandang buruk. Bahkan ekstrim
sekalipun!
Bukan rahasia umum lagi jika kebanyakan
masyarakat memandang islam adalah agama yang identik dengan jargon-jargon
kekerasan. Setiap kali ada teror setiap itulah nama-nama berbau islam
disebutkan. Nampaknya islam dinegri ini betul-betul telah dianggab sebagai
momok hantu menakutkan. Tak pelak, kektika ada warga yang memiliki nama
berbau islam (misal; Abu, Abdul) maka banyak orang akan melirik sinis.
Lantaran kentalnya aksi terorisme dengan pelaku yang memiliki kemiripan
degan nama-nama tesebut.
Islam kini diidentikkan dengan pria
berjenggot dengan gamis dan celana komprang. Perempuannya berjilbab besar
dengan busana muslim panjang, bahkan bercadar. Lebih menyeramkan lagi,
siapa dia yang berjenggot maka siap-siaplah akan dijustis sebagai kelompok
garis keras. Dan siapa dia yang bercadar, maka siap-siaplah jika nantinya
banyak mata yang akan memadang.
Jika mau bersikap ideal, sebenarnya Polri
tak perlu merepotkan diri mengurusi persoalan jilbab Polwan. Masih banyak
persoalan lain yang lebih vital diurusi. Karena yang demikian hanya akan
semakin mencoreng kinerja Pori di mata masyarakat, dan semakin menyebabkan
namanya dibenci. Bahkan tak menutup kemungkinan dicurigai sebagai
antek-antek kepentingan oknum tertentu yang hendak mengusik dan
mengorek-ngorek ketenangan kaum muslim Indonesia. Semoga saja tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar