Jumat, 06 Desember 2013

Indonesia Rawan Spionase

Indonesia Rawan Spionase
Jaka Setiawan  ;   Direktur Pengkajian dan Kebijakan Publik
Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (Pushami)
KOMPAS,  05 Desember 2013

  

SEMUA negara melakukan spionase. Mereka memiliki alasan historis dan strategis untuk melakukannya. Amerika Serikat, misalnya, memiliki ketergantung- an terhadap informasi-informasi strategis baik di kawasan Asia maupun Pasifik. Dalam operasi klandestain ini, National Security Agency milik Amerika bekerja sama dengan Defence Signals Directorate Australia.

Amerika sangat berkepentingan untuk memiliki informasi yang tersebar di kedutaan berbagai negara, dan juga memerlukan informasi tambahan yang didapat dari Australia, semacam pembagian kerja dari negara ke negara.
Fokus utama pengawasan tim penyadap di Kedutaan Besar Australia di Jakarta adalah masalah politik, diplomatik, dan ekonomi.

Deklarasi ”America’s Pacific Century”, Kolaborasi Spionase Amerika dan Australia di Asia Pasifik, terbukti memicu ketegangan di kawasan yang sebelumnya merupakan zona damai.

Pada kasus ini, Amerika memanfaatkan pertumbuhan Asia sebagai pusat ekonomi strategis Obama untuk mengembalikan stabilitas ekonomi Amerika.
Pasar terbuka di Asia memberikan Amerika yang tengah kesulitan ekonomi peluang investasi dan akses perdagangan. Ekonomi Amerika sangat bergantung pada ekspor dan kemampuan perusahaan Amerika memasuki basis konsumen yang besar di Asia.

Oleh karena itu, Asia Pasifik menjadi wilayah strategis untuk kepentingan Amerika, termasuk untuk melawan proliferasi Korea Utara ataupun memastikan transparansi China dalam kegiatan militernya.

Bagaimana dengan Indonesia terkait spionase Amerika dan Australia? Paling tidak ada dua hal yang menjadi perhatian.

Pertama, eskalasi politik dan keamanan serta pembangunan Papua. Kedua, kekuatan pertahanan Indonesia dalam tiga aspek utama, yakni kemampuan (capability), kekuatan (force), dan gelar (deployment).

Diplomasi Papua

Pasang surut hubungan diplomatik Indonesia-Australia yang paling dominan adalah keterlibatan elemen-elemen masyarakat Australia dalam mendukung kemerdekaan Papua.

Pangkalan militer di Darwin menjadi salah satu tolok ukurnya. Ada adagium dalam percaturan politik dunia, di mana ada kepentingan ekonomi, di sana hadir militer.

Papua yang selalu menjadi perhatian khusus dunia internasional bisa menjadi titik pangkal untuk melakukan intervensi atas nama kemanusiaan. Apalagi, ada pangkalan militer Amerika di Darwin-Australia sebagai gugus tugas reaksi cepat operasi nonmiliter jika terjadi bencana alam di Australia dan sekitarnya.

Ada dua momen yang bisa menjadi tolok ukur stabilitas di Papua. Pertama, pergerakan bersenjata organisasi separatisme yang menginginkan Papua merdeka.

Kedua, upaya-upaya dan manuver diplomasi dari negara-negara di sekitar termasuk Australia dan Amerika.

Semua hal ini mudah sekali dipicu, apalagi kontrol atas informasi tentang HAM dan pembangunan di Papua tidak terpublikasi dengan baik. Momentum pertama sudah sering terjadi, pergerakan bersenjata organisasi separatisme.

Momentum kedua berupa manuver diplomasi yang belakangan cukup masif. Misalnya, upaya internasionalisasi kemerdekaan Papua pada pertemuan Melanesia Spearhead Group (MSG) Leaders Summit Ke-19. West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), dengan upaya meloloskan proposal menjadi anggota MSG.

Gerakan separatis juga menggalang solidaritas masyarakat sipil internasional lewat pelayaran kapal ”Freedom Flotilla” dari Australia menuju Papua Barat.
Perkembangan terakhir adalah pembentukan kembali All Party Parliamentary Group for West Papua yang dihadiri sembilan anggota parlemen lintas partai.
Mereka membahas dukungan lebih lanjut bagi perjuangan rakyat Papua Barat, yang dianggap masih ditolak hak-hak dasarnya oleh Indonesia, khususnya terkait hak untuk menentukan ”nasib sendiri”.

Mereka juga menghadirkan Benny Wenda, salah satu inisiator Papua Merdeka dan International Parliament for West Papua.

Membaca aspek TNI

Pengakuan mantan agen intelijen Australia di harian Sydney Morning Herald pada Jumat (1/11/2013) memberikan informasi yang berharga bahwa Defence Signals Directorate (DSD) mengawasi maritim dan militer, khususnya Angkatan Laut Indonesia (TNI AL), Angkatan Udara (TNI AU), dan komunikasi militer.

Bahkan, pangkalan Australia di Cocos Islands kini disiapkan sebagai pangkalan potensial untuk pesawat intai tanpa awak (drone) Amerika dan pesawat tempur karena berdekatan dengan jalur pelayaran strategis di Asia Tenggara.
Spionase oleh Australia ini tentu saja meliputi informasi seluruh aspek pertahanan TNI: kemampuan, kekuatan, dan gelar.

Mulai dari elemen-elemen tempur dari keseluruhan struktur pertahanan (the fighting elements of all defence structure) hingga tata sebar dari kekuatan.
Ketiga aspek tersebut, melalui suatu sinergi, ditujukan untuk mendukung strategi dalam mencapai tujuan pertahanan negara.

Inilah yang coba dibaca oleh spionase Australia selain menyerap informasi-informasi resmi seperti dalam latihan gabungan ”Picth Black 12” pada tahun 2012 di Pangkalan Royal Australia Air Force (RAAF) Darwin, Australia.

Spionase oleh Amerika dan Australia seharusnya dapat mereposisi hubungan diplomatik dengan Amerika dan Australia. Indonesia bisa memulai reposisi hubungan diplomatik dengan meninjau ulang kerja sama antiterorisme dan penyelundupan manusia (people smuggling) dengan Australia dan Amerika.

Pertanyaannya, mampukah paradigma ”Thousand friends- zero enemy” yang dianut politik luar negeri Indonesia menjaga kedaulatan wilayah dan wibawa NKRI? Semoga.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar