SEMUA
negara melakukan spionase. Mereka memiliki alasan historis dan strategis
untuk melakukannya. Amerika Serikat, misalnya, memiliki ketergantung- an
terhadap informasi-informasi strategis baik di kawasan Asia maupun Pasifik.
Dalam operasi klandestain ini, National Security Agency milik Amerika
bekerja sama dengan Defence Signals Directorate Australia.
Amerika sangat berkepentingan
untuk memiliki informasi yang tersebar di kedutaan berbagai negara, dan
juga memerlukan informasi tambahan yang didapat dari Australia, semacam pembagian
kerja dari negara ke negara.
Fokus utama pengawasan tim
penyadap di Kedutaan Besar Australia di Jakarta adalah masalah politik,
diplomatik, dan ekonomi.
Deklarasi ”America’s Pacific
Century”, Kolaborasi Spionase Amerika dan Australia di Asia Pasifik,
terbukti memicu ketegangan di kawasan yang sebelumnya merupakan zona damai.
Pada kasus ini, Amerika
memanfaatkan pertumbuhan Asia sebagai pusat ekonomi strategis Obama untuk
mengembalikan stabilitas ekonomi Amerika.
Pasar terbuka di Asia memberikan
Amerika yang tengah kesulitan ekonomi peluang investasi dan akses
perdagangan. Ekonomi Amerika sangat bergantung pada ekspor dan kemampuan
perusahaan Amerika memasuki basis konsumen yang besar di Asia.
Oleh karena itu, Asia Pasifik
menjadi wilayah strategis untuk kepentingan Amerika, termasuk untuk melawan
proliferasi Korea Utara ataupun memastikan transparansi China dalam
kegiatan militernya.
Bagaimana dengan Indonesia
terkait spionase Amerika dan Australia? Paling tidak ada dua hal yang
menjadi perhatian.
Pertama, eskalasi politik dan
keamanan serta pembangunan Papua. Kedua, kekuatan pertahanan Indonesia
dalam tiga aspek utama, yakni kemampuan (capability), kekuatan (force), dan
gelar (deployment).
Diplomasi Papua
Pasang surut hubungan diplomatik
Indonesia-Australia yang paling dominan adalah keterlibatan elemen-elemen
masyarakat Australia dalam mendukung kemerdekaan Papua.
Pangkalan militer di Darwin
menjadi salah satu tolok ukurnya. Ada adagium dalam percaturan politik
dunia, di mana ada kepentingan ekonomi, di sana hadir militer.
Papua yang selalu menjadi
perhatian khusus dunia internasional bisa menjadi titik pangkal untuk
melakukan intervensi atas nama kemanusiaan. Apalagi, ada pangkalan militer
Amerika di Darwin-Australia sebagai gugus tugas reaksi cepat operasi
nonmiliter jika terjadi bencana alam di Australia dan sekitarnya.
Ada dua momen yang bisa menjadi
tolok ukur stabilitas di Papua. Pertama, pergerakan bersenjata organisasi
separatisme yang menginginkan Papua merdeka.
Kedua, upaya-upaya dan manuver
diplomasi dari negara-negara di sekitar termasuk Australia dan Amerika.
Semua hal ini mudah sekali
dipicu, apalagi kontrol atas informasi tentang HAM dan pembangunan di Papua
tidak terpublikasi dengan baik. Momentum pertama sudah sering terjadi,
pergerakan bersenjata organisasi separatisme.
Momentum kedua berupa manuver
diplomasi yang belakangan cukup masif. Misalnya, upaya internasionalisasi
kemerdekaan Papua pada pertemuan Melanesia Spearhead Group (MSG) Leaders
Summit Ke-19. West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), dengan
upaya meloloskan proposal menjadi anggota MSG.
Gerakan separatis juga
menggalang solidaritas masyarakat sipil internasional lewat pelayaran kapal
”Freedom Flotilla” dari Australia menuju Papua Barat.
Perkembangan terakhir adalah
pembentukan kembali All Party Parliamentary Group for West Papua yang
dihadiri sembilan anggota parlemen lintas partai.
Mereka membahas dukungan lebih
lanjut bagi perjuangan rakyat Papua Barat, yang dianggap masih ditolak
hak-hak dasarnya oleh Indonesia, khususnya terkait hak untuk menentukan
”nasib sendiri”.
Mereka juga menghadirkan Benny
Wenda, salah satu inisiator Papua Merdeka dan International Parliament for
West Papua.
Membaca aspek TNI
Pengakuan mantan agen intelijen
Australia di harian Sydney Morning Herald pada Jumat (1/11/2013)
memberikan informasi yang berharga bahwa Defence Signals Directorate (DSD)
mengawasi maritim dan militer, khususnya Angkatan Laut Indonesia (TNI AL),
Angkatan Udara (TNI AU), dan komunikasi militer.
Bahkan, pangkalan Australia di
Cocos Islands kini disiapkan sebagai pangkalan potensial untuk pesawat
intai tanpa awak (drone) Amerika dan pesawat tempur karena berdekatan
dengan jalur pelayaran strategis di Asia Tenggara.
Spionase oleh Australia ini
tentu saja meliputi informasi seluruh aspek pertahanan TNI: kemampuan,
kekuatan, dan gelar.
Mulai dari elemen-elemen tempur
dari keseluruhan struktur pertahanan (the
fighting elements of all defence structure) hingga tata sebar dari
kekuatan.
Ketiga aspek tersebut, melalui
suatu sinergi, ditujukan untuk mendukung strategi dalam mencapai tujuan
pertahanan negara.
Inilah yang coba dibaca oleh
spionase Australia selain menyerap informasi-informasi resmi seperti dalam
latihan gabungan ”Picth Black 12” pada tahun 2012 di Pangkalan Royal
Australia Air Force (RAAF) Darwin, Australia.
Spionase oleh Amerika dan
Australia seharusnya dapat mereposisi hubungan diplomatik dengan Amerika
dan Australia. Indonesia bisa memulai reposisi hubungan diplomatik dengan
meninjau ulang kerja sama antiterorisme dan penyelundupan manusia (people smuggling) dengan Australia
dan Amerika.
Pertanyaannya, mampukah
paradigma ”Thousand friends- zero
enemy” yang dianut politik luar negeri Indonesia menjaga kedaulatan
wilayah dan wibawa NKRI? Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar