Depresiasi
Rupiah dan Krisis
Andi Irawan ;
Peminat Telaah Ekonomi Politik
|
TEMPO.CO,
05 Desember 2013
Hari-hari ke depan, ancaman bahwa rupiah di kantong Anda
semakin tergerus nilainya akan makin terasa. Daya beli rupiah yang semakin
lemah itulah makna riil yang kita rasakan dari depresiasi rupiah.
Depresiasi dan inflasi itu adalah dua sisi dari satu koin mata uang. Ketika
depresiasi nilai tukar terjadi, inflasi (kenaikan harga-harga secara umum)
juga terjadi.
Depresiasi
menyebabkan harga-harga mahal karena harga-harga barang yang dibeli dari
luar negeri menjadi lebih mahal. Ketika barang itu adalah barang modal atau
bahan baku, kenaikan harganya menyebabkan kenaikan biaya produksi. Ketika
biaya produksi naik, tentu saja harga jual akan naik. Fenomena ini dalam
literatur ekonomi dinamakan import inflation. Dan untuk kita, fenomena ini
menjadi sangat terasa mengingat 70 persen lebih dari komoditas impor tergolong
bahan baku atau barang modal industri.
Jika
yang diimpor adalah barang langsung konsumsi, kenaikan harga terjadi ketika
harga barang impor itu dikonversikan menjadi rupiah saat barang tersebut
dijual di dalam negeri.
Angka
kurs yang sempat menembus Rp 12 ribu per dolar AS memang cukup
mengkhawatirkan banyak pihak akan kemungkinan masuknya Indonesia dalam
krisis ekonomi. Sebab, peluang untuk terjadi krisis tentu saja tidak
mustahil terjadi jika inflasi sebagai mudarat dari depresiasi rupiah diiringi
oleh dua dampak negatif lainnya, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi dan
meningkatnya angka pengangguran.
Hal
tersebut terjadi ketika keuntungan perusahaan yang didapat tidak lagi bisa
menutupi biaya yang semakin mahal akibat kenaikan harga bahan baku impor.
Ini bisa menyebabkan sebagian industri kolaps yang berimplikasi pada
menurunnya pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran meningkat karena
industri yang kolaps terpaksa memecat karyawannya atau industri yang masih
eksis terpaksa menekan biaya produksi dengan memangkas jumlah tenaga kerja
yang dipekerjakannya.
Krisis
ekonomi terjadi ketika besaran (magnitude) dari dampak negatif itu besar
dan berdurasi lama. Sebagai contoh, dampak negatif dari apresiasi dolar AS
yang melanda kawasan Asia-Pasifik pada pertengahan 1997 telah menimbulkan
krisis ekonomi bagi negara kita. Pelemahan rupiah yang terjadi saat itu
dalam magnitude yang besar berupa pertumbuhan ekonomi yang negatif (pernah
-13 persen pada 1998) dan hiperinflasi (kenaikan harga umum di atas 70 persen
pada 1998). Sedangkan durasi dari semua ketidaknyamanan ekonomi itu kita
alami dalam waktu yang cukup panjang, yakni 2-3 tahun.
Dan
krisis ekonomi bisa berimplikasi pada delegitimasi reformasi dan demokrasi.
Hal itu harus dicermati oleh para elite politik dan negara. Kita bisa
mengetahui itu secara empiris dari pengalaman Eropa ketika diterpa krisis
euro beberapa tahun lalu, seperti yang dikemukakan Paul Krugman di The New York Times (13 Desember
2011) dalam opininya yang berjudul Depression
and Democracy.
Krisis
ekonomi Eropa saat itu berdampak negatif, yakni hilangnya kepercayaannya
masyarakat terhadap demokrasi. Krisis euro telah menimbulkan munculnya
kekuatan politik yang ademokratis di Eropa. Hal itu tampak dari
kekuatan-kekuatan yang berideologi fasis dan neo-Nazi bisa memenangkan dan
mendapatkan penerimaan yang tinggi di sejumlah negara Eropa, seperti
Austria, Finlandia, dan Hungaria. Kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi
ini terjadi pada negara-negara yang paling buruk mengalami kemerosotan
ekonomi.
Pemerintah
harus berani mengambil kebijakan tegas berkaitan dengan penyebab defisit
neraca transaksi berjalan yang sudah terjadi hampir dua tahun terakhir
tersebut. BBM, misalnya, adalah komponen yang signifikan menciptakan
defisit neraca transaksi berjalan karena subsidi BBM yang besar dan harus
diimpor. Program diversifikasi energi adalah solusi signifikan untuk
menekan konsumsi BBM dan menekan impornya. Sayang sekali, program
diversifikasi energi hanya menjadi macan kertas kebijakan pemerintah, tidak
ada progres sejak awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I
hingga menjelang akhir KIB II sekarang ini. Padahal, di sisi lain,
pemerintah tidak punya keberanian mengurangi angka subsidi BBM secara
signifikan karena pertimbangan aspek politik.
Kesungguhan
untuk meningkatkan produksi pangan dan membangun industri penyedia bahan
baku industri juga tidak tampak nyata. Sedangkan syahwat untuk impor sangat
tinggi sehubungan dengan insentif perburuan rente yang ada di dalamnya.
Di
sisi lain, kekuatan sisi suplai valuta asing kita juga belum hadir karena
keunggulan ekspor kita terhambat masalah klasik, seperti faktor inefisiensi
kelembagaan ekonomi pasar yang berbiaya tinggi. Hal itu akibat
infrastruktur dan SDM dengan kualitas yang lemah dan diperparah dengan
kehadiran perilaku perburuan rente.
Abai
mengatasi masalah defisit neraca transaksi berjalan menyebabkan depresiasi
rupiah terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan menghadirkan krisis
ekonomi.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar