Selasa, 03 Desember 2013

BPJS dan Pasar Kesehatan

BPJS dan Pasar Kesehatan
Nurul Inayah  ;   Dokter Klinik Pusvetma (Kementan) Surabaya
SUARA KARYA,  29 November 2013



Memasuki 2014, sistem layanan kesehatan nasional kita akan berganti wajah baru. Kita tak akan lagi pusing begitu sakit tiba. Karena, tidak jarang sakit menghabiskan anggaran dalam jumlah yang tak terduga. Besok, kita tak perlu lagi merogoh kocek saat itu juga. Begitupun negara. Tak akan dibuat pusing lagi, mengeluarkan anggaran 15% APBN, misalnya, untuk tiap tahunnya. Akan ada kas khusus yang dikelola untuk dana kesehatan. Ini di luar pajak. Kita semua akan patungan. Menabung di awal, diasuransikan.

Bagi yang tak mampu, iuran akan ditalangi dari kas negara. Diperkirakan ada 86,4 juta jiwa, atau sepertiga dari keseluruhan penduduk Indonesia. Jika setiap jiwa tertanggung itu disubsidi 22.000 tiap bulan, maka setahun menghabiskan anggaran 264.000 per orang. Jadi, keseluruhan anggaran yang terpakai 22,7 triliun rupiah. Jika APBN sebesar 1.400 triliun rupiah, maka ini sama dengan 1,6 persen saja.

Bagi pekerja di sektor formal, iuran ditarik 5% dari gaji (kira-kira Rp 19.000 - Rp 27.000). 3%-nya ditanggung perusahaan/pemberi kerja. Sejauh ini, baik perusahaan maupun pekerja sudah tidak lagi menyoalkan. Ini termasuk PNS, TNI, ABRI dan polisi (?)

Kelompok berikutnya, pekerja non formal. Pada kelompok ini terdapat pilihan, besar iuran tergantung pada kelas layanan yang diingini. Iuran Rp 25.500/bulan untuk layanan rawat inap kelas III; Rp 42.500/bulan untuk kelas II; dan Rp 59.500/bulan untuk layanan kelas I.

Akhir-akhir ini pertumbuhan sektor kesehatan memang cukup signifikan. Pertumbuhan jum lah rumah sakit begitu besar. Hal ini bisa terjadi sebagian terkait dengan kebijakan liberalisasi di atas, yakni sikap pemerintah yang terlalu membuka diri terhadap pihak asing. UU No 25/2007 memberikan keleluasaan bagi investor asing menanamkan modal di Indonesia setara dengan investor domestik, nyaris tanpa perkecualian. Setelah itu, persoalan yang dari dulu tak pernah menghasilkan kemajuan yang berarti adalah perbaikan infrastruktur.

Ahmad Erani Yustika, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya menyebut dalam salah satu tulisaanya; APBN sebagai sumber terpenting pemerintah untuk mengurus hajat publik kian sempoyongan karena terkuras untuk belanja birokrasi, pembayaran utang, dan misalokasi yang parah. 

Akibatnya, proporsi belanja untuk kesejahteraan rakyat terus mengecil dan keseimbangan primer menjadi terganggu (defisit).

Mata pebisnis - diakui - memang selalu kreatif. Termasuk soal mencari peluang bisnis, investasi. Dan seperti kita tahu, di era turbo kapitalisme ini, sektor-sektor strategis menjadi incaran, salah satunya kesehatan. Kita sebut saja, industri kesehatan. Dari hulu hingga ke hilir dalam kuasa pasar.

Di hulu, pendidikan profesi tenaga medis kini tumbuh menjamur, prodi/fakultas kedokteran mulai banyak dibuka, karena dianggap sumber pemasukan kas kampusnya. Industri farmasi dan alat kesehatan berada di tengah. Dan, di hilir, industri pelayanan medis banyak berkembang rumah sakit, praktek swasta dokter, klinik, apotek dan laboratorium.

Komentar tersebut adalah perkara yang lumrah. Karena, saat ini kita tinggal menghitung hari menuju era pasar bebas, AFTA 2015. Di era yang serba mencari untung itu, para investor (dan para tenaga kesehatan asing) secara resmi dan legal, diberi ijin untuk berebut pasar kesehatan. Tentu saja, pasar premium yang menjadi bidikan. Di Indonesia, peluang pasar itu mencapai XXX. Menurut Hannah Nawi, Associate Director, Health Care Practice, Asia Pacific Frost & Sullivan, pada 2018, belanja kesehatan di Indonesia akan mencapai 60.6 miliar dolar AS, tumbuh 14,9% CAGR selama periode 2012 - 2018. (the-marketeeers.com)

Karena hampir bisa dipastikan bahwa tak ada satu pun orang di dunia ini betah berlama-lama dalam kesakitan, apalagi ditambah gairah hidup sehat masyarakat kelas menengah (dengan daya belinya) yang dinilai bertambah membuat pasar kesehatan ini dipandang menjanjikan. Makin banyak yang ingin berinvestasi.

Berbisnis tetek bengek kesehatan sebetulnya sah-sah saja. Tapi, jika gelombang pasar bebas ini membuat negara abai dengan kesehatan rakyatnya, ini menjadi masalah. Negara seakan tak memiliki kepentingan dan tanggung jawab menyehatkan rakyatnya.

Hal ini tentu berbeda dengan sebelum era liberalisasi perguruan tinggi, negara menjamin bea perkuliahan, termasuk pendidiikan para calon dokter. Para dokter baru lalu dikirim ke daerah-daerah, mengabdikan ilmu sambil mencari pengalaman baru. Inilah saat benar-benar dokter bekerja dengan sepenuh jiwa. Hanya saja, kelahiran dokter -dokter baru kala itu tergolong lambat.

Kuasa Pasar

Pak Dahlan Iskan dalam salah satu artikelnya menceritakan, perusahaan-perusahaan bisnis itu dalam doktrinnya dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Bagaimanapun caranya. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. 

Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan.

Para pebisnis kesehatan saat ini setidaknya punya payung hukum, UU, Perpres, XXX. Bukan hanya pihak swasta yang disilakan berebut pasar, namun juga instansi pemerintah. Perizinan ini setidaknya tercakup dalam UU BLU. Satu per satu RS berplat merah mendaftarkan dirinya memiliki bilik pelayanan sediri yang bersifat komersil. Mereka akan bersaing dengan RS swasta/internasional mentereng lainnya. Siapa yang layanannya lebih unggul, lebih berteknologi akn lebih banyak didatangi customer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar