Selasa, 03 Desember 2013

Quo Vadis Pembaruan Korpri?

Quo Vadis Pembaruan Korpri?
Artisa Jati Handayani  ;   PNS di Magetan, Anggota Korpri
SUARA KARYA,  27 November 2013



Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) jatuh pada 29 November 2013. Sebagai wadah berhimpun bagi jajaran pegawai negeri sipil di Republik ini, Korpri menjadi organisasi yang mengikat dalam prinsip keanggotaan. Bagi siapa saja yang lulus tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan mendapatkan Surat Keputusan (SK) tentang Nomor Induk Pegawai (NIP) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) secara otomatis menjadi anggota Korpri.

Ikatan keanggotaan Korpri dibuktikan dengan kewajiban tanpa hak penolakan untuk dikenakan potongan iuran Korpri pada struktur penerimaan gaji bulanan. Iuran tersebut dikenakan atas dasar keputusan organisasional. Sehingga, diharapkan anggota Korpri memiliki "rasa handarbeni" terhadap wadah berhimpunnya. Para anggota memiliki harapan organisasi menjadi alat perjuangan dan pembelaan hak-hak mereka.

Namun sayangnya, banyak kekecewaan terhadap Korpri yang dirasakan oleh para anggotanya. Keluhan dan kekecewaan mereka bahkan telah merebak dalam bentuk grundelan para anggotanya terhadap organisasi yang dianggap tidak mampu menjadi pelindung dan penyuara kepentingan anggota. Korpri dianggap sebagai sekadar organisasi yang mencatat dan menarik keanggotaan para PNS namun tidak pernah memahami kepentingan dan isi hati anggotanya.

Para anggota Korpri lebih menganggap organisasi sekadar "papan nama" tanpa memiliki kekuatan posisi tawar untuk memperjuangkan kepentingan anggota. Korpri dianggap tidak memiliki kekuatan politik serta eksistensi dibanding organisasi profesi yang juga menjadi wadah berhimpun para PNS fungsional. 

Jauh dibanding kekuatan dan fungsi semacam PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang sangat tangguh dalam memperjuangkan aspirasi guru. Demikian pula jika dibandingkan organisasi etik profesi semacam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan sebagainya.

Rangkuman dari keluhan dan kritik internal anggota terhadap Korpri, antara lain sebagai berikut:

Pertama, Korpri dianggap sekadar sebagai organisasi yang mengikat secara formal ke dalam namun gebrakan sosial ke luar sangat lemah. Tidak mampu memperjuangkan kepentingan anggota dalam berbagai isu-aspirasi yang terkait dengan relasi sosial-kemasyarakatan.

Kedua, Korpri gagal menjadi alat politik bagi PNS untuk memperjuangkan agenda bersama terkait kesejahteraan ekonomi, reformasi kultur birokrasi dan gagasan-gagasan yang inovatif dalam tata kelola pemerintahan.

Ketiga, Korpri hanya menjadi unit legitimasi kekuasaan elite pejabat birokrasi yang mengontrol kepatuhan serta loyalitas para anggotanya. Korpri sesungguhnya bukan wadah "berserikat" yang egaliter serta menjalankan prinsip solidaritas bagi para anggotanya. Namun, hanya wadah sebagai instrumen politis untuk mengikat solidaritas semu para anggotanya.

Kegagapan Korpri dalam membela (mengadvokasi) para anggotanya tampak jelas ketika anggota terkena berbagai perkara hukum, terkait perbuatan pidana dan tipikor yang faktor penyebabnya adalah dorongan dari mereka yang termasuk elite pimpinan birokrasi. Para anggota yang nota bene PNS harus melakukan perbuatan yang diperintah atasan dan untuk kepentingan sang atasan, namun terpeleset oleh "palu hukum" maka Korpri justru membela kepentingan elite pimpinan dan seakan membiarkan anggota KOPRI yang tidak memiliki jabatan untuk menghadapi perkara hukum. Berbeda dengan organisasi profesi semacam guru (PGRI) yang begitu serius dan solid membela kepentingan guru dan berani mengagendakan advokasi bagi guru yang tersandung perkara hukum di ranah ligitasi. PGRI juga konsisten membangun jalinan kesetiakawanan di kalangan guru. PGRI lebih demokratis karena tidak mengambarkan elite secara dominan. Korpri berada dalam kultur ademokratis dan para anggota tidak memiliki hak suara untuk menentukan masa depan Korpri.

Mengapa Korpri tidak mampu menjadi wadah berhimpun bagi PNS - "kuli negara" - yang demokratis dan pro publik? Korpri tidak mampu menjadi media berhimpun yang eksis dan militan bagi PNS disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, kultur relasi dan komunikasi di lingkungan kerja PNS adalah feodal dan patrimornial. Kultur khas birokrasi Mataraman yang tidak mampu digerus oleh arus pembaruan politik yang menyentuh esensi pembaruan birokrasi. Sehingga, kultur tersebut memiliki pengaruh dalam budaya organisasi yang seharusnya netral dan objektif dalam pelaksanaan prinsip, asas dan kinerjanya.

Kedua, sistem dan mekanisme organisasi Korpri tidak mengalami proses transformasi sosial. Di mana sebagai organisasi Korpri seharusnya mengalami dinamika perubahan prinsip dan landasan idiil organisasi, mekanisme regenerasi kepemimpinan, serta keniscayaan tentang apa yang disebut tentang "revolusi" visi dan misi tentang organisasi, birokrasi dan bangsa.

Ketiga, sebagai alat sosial, Korpri idealnya mampu membuat perencanaan program strategis yang memiliki orientasi untuk menyejahterakan kepentingan anggota. Menjadi pelopor bagi penguatan hak dan aspirasi para PNS dalam relasi birokrasi dan kebijakan pemerintahan.

Untuk itulah dibutuhkan semangat baru dan political will (itikad politik) bagi pemangku kuasa dan kepentingan yang "agung" untuk membebaskan organisasi Korpri bukan lagi sebagai alat legitimasi kekuasaan atas para pegawai negeri sipil. Korpri harus menjadikan diri sebagai serikat pekerja bagi PNS yang memiliki target dan program yang bersentuhan dengan kepentingan mereka.

Korpri harus mampu menegaskan perannya sebagai lokomotif reformasi birokrasi dengan mendorong hadirnya budaya birokrasi yang sehat dan akuntabel serta memihak apa yang disebut suara rakyat. Jika tidak maka dipastikan Korpri akan surut ditelan zaman dan semakin ketingalan peran dibanding organisasi profesi/fungsional yang anggota mayoritas juga PNS. Quo vadis Korpri? Selamat ulang tahun!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar