Kamis, 12 Desember 2013

Kisah Walang dan Mental Miskin Masyarakat Kita

Kisah Walang dan Mental Miskin Masyarakat Kita
Ardi Winangun  ;   Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu
OKEZONENEWS,  11 Desember 2013

  

Menjadi pengemis bisa jadi merupakan cara untuk memperoleh uang yang mudah dan cepat meski mengorbankan harga diri. Kisah seorang Walang, pengemis yang didapati menyimpan uang Rp25 juta di gerobaknya saat ia dirazia, merupakan satu dari banyak cerita pengemis yang ditangkap petugas membawa uang yang jumlahnya mencapai jutaan.

Walang memperoleh uang sebanyak itu bisa jadi memang usaha mengemisnya ‘sukses’ sehingga selama tak lebih dari dua minggu, ia bersama rekannya mampu menggalang dana dari masyarakat sebanyak itu, namun bisa jadi, seperti pengakuannya, uang yang dibawanya itu merupakan hasil menjual sapi, dan penghasilan mengemisnya menggenapi bilangan Rp25 juta. 

Entah apapun alasan yang dikemukakan Walang, apa yang dilakukan itu sebuah rusaknya mental masyarakat. Di mana mereka berpikiran lebih baik menjadi pengemis dengan tujuan memperoleh uang dengan cara yang mudah dan cepat daripada bekerja lainnya. Kalau dilihat dari segi fisik, pria seumur dirinya masih terbilang cukup bugar. Banyak petani di desa bentuk tubuh dan usianya sepantaran Walang. Dengan demikian sebenarnya Walang masih cukup kuat kalau untuk mencangkul. Sebenarnya ia mempunyai pekerjaan, yakni sebagai peternak sapi, terbukti ia mempunyai dalih bahwa uang itu adalah hasil menjual ternaknya namun karena seperti paparan di atas bahwa mengemis merupakan cara cepat menjadi kaya, Walang memilih jalan hidup seperti itu. Lalu apakah Walang tidak mempunyai rasa malu? Walang masih mempunyai rasa malu, buktinya ia mengemis jauh dari asalnya, Purwadadi, Subang, Jawa Barat. Bila ia tidak mempunyai malu pastinya ia mengemis di sekitaran daerahnya, terlepas di Jakarta potensi mendapat uang lebih cepat dan banyak.

Selama ini biasanya kita selalu menunjuk kesalahan pemerintah, baik pusat atau daerah, sebagai biang maraknya pengemis dan kemiskinan. Pemerintah dituding tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan daerah pertumbuhan baru sehingga masalah sosial itu muncul. Kritikan itu ada benarnya namun tidak seratus persen hal demikian benar adanya. Pemerintah untuk menciptakan sebuah masyarakat yang sejahtera tentu tidak dilakukan secara sim salabim alias semalam selesai. Butuh proses dan dukungan semua pihak. 

Namun karena masyarakat tidak sabar atau mempunyai mental yang ingin cepat kaya maka berbagai cara dilakukan demi tujuan itu. Entah dari mana asalnya, masyarakat memiliki mental se-cetek itu. Kalau dikatakan bahwa itu budaya kita mungkin akan banyak yang membantah sebab dikatakan bahwa budaya kita adalah budaya adiluhung. Kalau itu bukan dikatakan sebagai budaya kita namun faktanya banyak orang seperti Walang lahir dari proses kehidupan di masyarakat. 

Harus kita akui bahwa di tengah masyarakat kita ada sebuah komunitas yang tidak memandang rendah menjadi pengemis atau peminta-minta. Mereka melakukan yang demikian bisa jadi mereka malas dan tidak mempunyai harga diri. Harga diri bagi mereka tidak menjadi soal, yang penting mendapat uang, apapun yang dituduhkan bagi dirinya tak penting untuk dihiraukan. 

Mental yang ada pada masyarakat seperti demikian bertambah subur ketika nilai-nilai agama yang dianut di masyarakat memberi dorongan agar kita memberi dan mengasihi orang miskin dan fakir (baca pengemis). Ajaran agama yang demikian digunakan oleh para pemalas untuk memperoleh keuntungan. Tak heran bila di saat hari-hari besar agama, entah itu Idul Fitri, Natal, Imlek, dan hari besar agama lainnya, para pengemis menyerbu masjid, gereja, wihara, dan pura. Para pengemis sudah tidak dilandasi lagi bahwa meminta kepada ummat lain haram. Landasan mereka adalah profesionalisme, pengemis yang profesional adalah memperoleh uang sebanyak-banyaknya meski harus meminta kepada ummat yang lain. Dari tempat-tempat ibadah itulah pengemis akan membawa segepok gemiricing duit. 

Selama ini memang belum ada terapi yang mujarab untuk mengubah mental agar tidak meminta-meminta. Terbukti, banyak diantara mereka yang sudah dibina di panti sosial namun mental mereka tidak berubah. Mereka tetap kembali beroperasi setelah dimasyarakatkan oleh panti sosial itu. Dorongan agar masyarakat tidak memberikan uang kepada para pengemis pun susah dibendung, ada perda dan himbauan dari pemerintah daerah dan LSM agar tidak memberi duit kepada pengemis tak efektif. Masyarakat tetap memberi uang kepada pengemis selain masyarakat memiliki jiwa iba juga dikarenakan oleh ajaran agama bahwa memberi kepada kaum miskin adalah sebuah ibadah dan pahalanya akan dilipat gandakan, power giving. Jadi di sini sepertinya ada titik temu antara beramal dan membuat orang malas.

Konstitusi kita memberi amanat bahwa kaum seperti pengemis dipelihara oleh negara. Namun bila konstitusi diimplementasikan bisa jadi negara keberatan karena tidak mempunyai anggaran yang besar. Dan bila konstitusi itu dijabarkan akan semakin banyak orang mengaku-ngaku miskin. Lihat saja ketika ada dana untuk orang dan daerah miskin, banyak orang dan daerah mengaku-ngaku miskin sehingga berhak memperoleh dana itu. Bahkan untuk mengaku miskin, kepala daerah loby-loby ke pusat, dan untuk masyarakat mereka rela membunuh orang. 

Kemiskinan memang harus dientaskan namun menjadi masalah ketika masyarakat bermental miskin. Bermental miskin lebih parah daripada kemiskinan itu sendiri. Bila kemiskinan bisa ditangani namun mental miskin susah disembuhkan. Meski sudah diberikan bantuan sebanyak-banyaknya kalau mental miskin masih menghinggapi seseorang, bantuan itu tetap akan saja dirasa kurang dan akan meminta tambah. Mental miskin ini tak hanya menghinggapi orang miskin namun juga ada pada orang-orang kaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar