Menjadi pengemis bisa jadi merupakan cara untuk memperoleh uang yang
mudah dan cepat meski mengorbankan harga diri. Kisah seorang Walang,
pengemis yang didapati menyimpan uang Rp25 juta di gerobaknya saat ia
dirazia, merupakan satu dari banyak cerita pengemis yang ditangkap petugas
membawa uang yang jumlahnya mencapai jutaan.
Walang memperoleh uang sebanyak itu bisa
jadi memang usaha mengemisnya ‘sukses’ sehingga selama tak lebih dari dua
minggu, ia bersama rekannya mampu menggalang dana dari masyarakat sebanyak
itu, namun bisa jadi, seperti pengakuannya, uang yang dibawanya itu
merupakan hasil menjual sapi, dan penghasilan mengemisnya menggenapi
bilangan Rp25 juta.
Entah apapun alasan yang dikemukakan Walang,
apa yang dilakukan itu sebuah rusaknya mental masyarakat. Di mana mereka
berpikiran lebih baik menjadi pengemis dengan tujuan memperoleh uang dengan
cara yang mudah dan cepat daripada bekerja lainnya. Kalau dilihat dari segi
fisik, pria seumur dirinya masih terbilang cukup bugar. Banyak petani di
desa bentuk tubuh dan usianya sepantaran Walang. Dengan demikian sebenarnya
Walang masih cukup kuat kalau untuk mencangkul. Sebenarnya ia mempunyai
pekerjaan, yakni sebagai peternak sapi, terbukti ia mempunyai dalih bahwa
uang itu adalah hasil menjual ternaknya namun karena seperti paparan di atas
bahwa mengemis merupakan cara cepat menjadi kaya, Walang memilih jalan
hidup seperti itu. Lalu apakah Walang tidak mempunyai rasa malu? Walang
masih mempunyai rasa malu, buktinya ia mengemis jauh dari asalnya,
Purwadadi, Subang, Jawa Barat. Bila ia tidak mempunyai malu pastinya ia
mengemis di sekitaran daerahnya, terlepas di Jakarta potensi mendapat uang
lebih cepat dan banyak.
Selama ini biasanya kita selalu menunjuk
kesalahan pemerintah, baik pusat atau daerah, sebagai biang maraknya
pengemis dan kemiskinan. Pemerintah dituding tidak bisa menciptakan
lapangan pekerjaan dan daerah pertumbuhan baru sehingga masalah sosial itu
muncul. Kritikan itu ada benarnya namun tidak seratus persen hal demikian
benar adanya. Pemerintah untuk menciptakan sebuah masyarakat yang sejahtera
tentu tidak dilakukan secara sim salabim alias semalam selesai. Butuh
proses dan dukungan semua pihak.
Namun karena masyarakat tidak sabar atau
mempunyai mental yang ingin cepat kaya maka berbagai cara dilakukan demi
tujuan itu. Entah dari mana asalnya, masyarakat memiliki mental se-cetek
itu. Kalau dikatakan bahwa itu budaya kita mungkin akan banyak yang
membantah sebab dikatakan bahwa budaya kita adalah budaya adiluhung. Kalau
itu bukan dikatakan sebagai budaya kita namun faktanya banyak orang seperti
Walang lahir dari proses kehidupan di masyarakat.
Harus kita akui bahwa di tengah masyarakat
kita ada sebuah komunitas yang tidak memandang rendah menjadi pengemis atau
peminta-minta. Mereka melakukan yang demikian bisa jadi mereka malas dan
tidak mempunyai harga diri. Harga diri bagi mereka tidak menjadi soal, yang
penting mendapat uang, apapun yang dituduhkan bagi dirinya tak penting
untuk dihiraukan.
Mental yang ada pada masyarakat seperti
demikian bertambah subur ketika nilai-nilai agama yang dianut di masyarakat
memberi dorongan agar kita memberi dan mengasihi orang miskin dan fakir
(baca pengemis). Ajaran agama yang demikian digunakan oleh para pemalas
untuk memperoleh keuntungan. Tak heran bila di saat hari-hari besar agama,
entah itu Idul Fitri, Natal, Imlek, dan hari besar agama lainnya, para
pengemis menyerbu masjid, gereja, wihara, dan pura. Para pengemis sudah
tidak dilandasi lagi bahwa meminta kepada ummat lain haram. Landasan mereka
adalah profesionalisme, pengemis yang profesional adalah memperoleh uang
sebanyak-banyaknya meski harus meminta kepada ummat yang lain. Dari
tempat-tempat ibadah itulah pengemis akan membawa segepok gemiricing duit.
Selama ini memang belum ada terapi yang
mujarab untuk mengubah mental agar tidak meminta-meminta. Terbukti, banyak
diantara mereka yang sudah dibina di panti sosial namun mental mereka tidak
berubah. Mereka tetap kembali beroperasi setelah dimasyarakatkan oleh panti
sosial itu. Dorongan agar masyarakat tidak memberikan uang kepada para
pengemis pun susah dibendung, ada perda dan himbauan dari pemerintah daerah
dan LSM agar tidak memberi duit kepada pengemis tak efektif. Masyarakat
tetap memberi uang kepada pengemis selain masyarakat memiliki jiwa iba juga
dikarenakan oleh ajaran agama bahwa memberi kepada kaum miskin adalah
sebuah ibadah dan pahalanya akan dilipat gandakan, power giving. Jadi di
sini sepertinya ada titik temu antara beramal dan membuat orang malas.
Konstitusi kita memberi amanat bahwa kaum
seperti pengemis dipelihara oleh negara. Namun bila konstitusi
diimplementasikan bisa jadi negara keberatan karena tidak mempunyai
anggaran yang besar. Dan bila konstitusi itu dijabarkan akan semakin banyak
orang mengaku-ngaku miskin. Lihat saja ketika ada dana untuk orang dan daerah
miskin, banyak orang dan daerah mengaku-ngaku miskin sehingga berhak
memperoleh dana itu. Bahkan untuk mengaku miskin, kepala daerah loby-loby
ke pusat, dan untuk masyarakat mereka rela membunuh orang.
Kemiskinan memang harus dientaskan namun
menjadi masalah ketika masyarakat bermental miskin. Bermental miskin lebih
parah daripada kemiskinan itu sendiri. Bila kemiskinan bisa ditangani namun
mental miskin susah disembuhkan. Meski sudah diberikan bantuan
sebanyak-banyaknya kalau mental miskin masih menghinggapi seseorang,
bantuan itu tetap akan saja dirasa kurang dan akan meminta tambah. Mental
miskin ini tak hanya menghinggapi orang miskin namun juga ada pada
orang-orang kaya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar